Khazanah
Beranda » Berita » Pembagian Air Menurut Kitab Fiqih Safinatun Najah

Pembagian Air Menurut Kitab Fiqih Safinatun Najah

Ilustrasi air suci dalam fiqih Safinatun Najah
Lukisan realistik sebuah kendi tanah liat yang menumpahkan air jernih ke dalam baskom di tengah cahaya alami. Simbolisasi air sebagai penyucian jiwa.

Air adalah aanugerah ilahi yang menumbuhkan bumi dan beserta seisinya. Dalam agama Islam sendiri, air bukan hanya sekadar kebutuhan jasmani, tetapi juga sarana utama untuk membersihkan diri dari hadas dan najis. Kitab Safinatun Najah—sebuah kitab fiqih dasar yang banyak dipelajari di pesantren—membahas secara rinci tentang pembagian air. Pemahaman ini penting, karena bersuci adalah pintu masuk bagi sahnya ibadah seperti shalat dan puasa.

Allah ﷻ berfirman:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ
“Dan Allah menurunkan kepadamu air dari langit untuk menyucikan kamu dengan air itu.” (QS. Al-Anfal: 11)

Ayat ini menegaskan bahwa air memiliki kedudukan mulia dalam syariat, bukan sekadar benda cair biasa. Dalam Safinatun Najah, air dibagi menjadi tiga kategori utama: air suci mensucikan, air suci tidak mensucikan, dan air najis. Mari kita telaah lebih dekat.

Air Suci Mensucikan

Jenis pertama adalah air yang suci pada dirinya dan dapat mensucikan selainnya. Inilah air yang digunakan untuk wudhu, mandi wajib, dan menghilangkan najis. Menurut Safinatun Najah, air ini meliputi seluruh air yang masih murni dan tidak berubah dari sifat aslinya.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Air suci mensucikan mencakup:

  1. Air hujan
  2. Air laut
  3. Air sungai
  4. Air sumur
  5. Air embun
  6. Air salju

Semua jenis air di atas masuk dalam sabda Nabi ﷺ:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci mensucikan, dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Hadis ini menjadi dalil bahwa air laut, meskipun asin dan berbeda dari air tawar, tetap tergolong suci mensucikan. Namun, para ulama menegaskan bahwa air murni bisa berubah hukumnya bila bercampur dengan sesuatu yang merusak kemurniannya. Selama perubahan tidak signifikan atau masih dalam batas wajar, air tetap sah digunakan.

Air Suci Tidak Mensucikan

Jenis kedua adalah air yang pada dirinya suci, namun tidak bisa dipakai untuk bersuci. Mengapa demikian? Karena sifat asli air sudah berubah akibat bercampur dengan sesuatu yang suci tetapi dominan, sehingga air kehilangan karakter “thahur” (suci mensucikan).

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Contoh sehari-hari:

  • Air kopi
  • Air teh
  • Air sirup
  • Air mawar atau bunga-bungaan yang pekat

Kitab Safinatun Najah menegaskan bahwa bila air berubah rasa, warna, atau bau karena bercampur dengan benda suci dalam jumlah besar, maka ia tidak lagi dapat digunakan untuk wudhu atau mandi wajib.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan:

“Apabila air bercampur dengan sesuatu yang suci dan dominan hingga menghilangkan nama air mutlak, maka tidak boleh digunakan untuk mengangkat hadas.”

Penjelasan ini sejalan dengan prinsip Safinatun Najah. Bayangkan sebuah gelas air putih yang dituangkan bubuk kopi hingga pekat. Secara zat, kopi itu suci. Namun karena sifat asli air hilang, air tersebut tidak bisa digunakan untuk bersuci.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Air Najis dan Hukumnya

Jenis ketiga adalah air najis. Yakni air yang terkena benda najis sehingga tidak boleh dipakai untuk bersuci, bahkan bisa menularkan najis bila disentuh.

Kitab Safinatun Najah menyebutkan dua keadaan:

  1. Air kurang dari dua qullah (sekitar 270 liter) yang terkena najis, meskipun tidak berubah warna, bau, atau rasa. Maka air ini tetap najis.
  2. Air dua qullah atau lebih yang terkena najis. Hukumnya najis bila ada perubahan pada salah satu sifatnya (warna, bau, rasa).

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Apabila air mencapai dua qullah, maka ia tidak menanggung najis (tidak menjadi najis), kecuali jika berubah sifatnya.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i)

Hadis ini menjadi landasan penting dalam fiqih bersuci. Misalnya, jika seekor kucing jatuh ke dalam ember kecil berisi air, maka air itu najis meski tidak berubah sifat. Tetapi bila kucing jatuh ke dalam kolam besar, air tetap suci selama tidak berubah warna, bau, atau rasa.

Pembahasan air dalam Safinatun Najah mengajarkan kita tentang betapa detailnya Islam mengatur kehidupan. Air tidak hanya melepas dahaga, tetapi juga membersihkan jiwa melalui ibadah. Dengan memahami kategori air—suci mensucikan, suci tidak mensucikan, dan najis—kita bisa lebih berhati-hati menjaga ibadah agar sah di hadapan Allah.

Air adalah simbol kesucian. Ia mengalir, membersihkan, dan menyegarkan. Begitu pula jiwa seorang muslim seharusnya: bening, ikhlas, dan terus mengalir dalam ketaatan. Semoga kita termasuk hamba yang senantiasa menjaga kesucian lahir dan batin.

  • Gerwin Satria N

Pegiat literasi di Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement