Surau.co. Fenomena sehari-hari sering kali menyimpan rahasia ilmiah yang mendalam. Salah satunya adalah saat kita memasukkan sendok ke dalam segelas air, seolah-olah sendok tersebut patah atau bengkok. Inilah yang oleh Ibn al-Haytham dalam Kitāb al-Manāẓir (Buku tentang Optika) disebut sebagai pembiasan cahaya. Dengan memadukan pengamatan sederhana dan analisis matematika, ia berhasil menjelaskan mengapa mata kita melihat sesuatu yang berbeda dari kenyataannya.
Cahaya dan permainan persepsi di kehidupan sehari-hari
Bayangkan sebuah sore di warung kecil pinggir jalan. Segelas teh hangat disajikan dengan sendok kecil di dalamnya. Seorang anak tiba-tiba berkata, “Bu, sendoknya patah!” Sang ibu tersenyum, lalu menjelaskan bahwa sendok itu tidak benar-benar patah, melainkan matanya yang diperdaya oleh air. Di sinilah ilmu optika menjadi relevan: menjelaskan bagaimana cahaya berbelok ketika melewati medium yang berbeda.
Ibn al-Haytham menulis:
«إِذَا اِنْتَقَلَ الشُّعَاعُ مِنْ جَوْهَرٍ إِلَى جَوْهَرٍ آخَرَ اخْتَلَفَتْ جِهَتُهُ»
“Apabila cahaya berpindah dari satu medium ke medium lain, maka arahnya akan berubah.”
Penjelasan sederhana ini sangat dekat dengan pengalaman manusia. Ia memberi kita pemahaman bahwa ilmu tidak hanya berada di laboratorium, tetapi juga hadir di gelas air rumah tangga.
Refleksi Al-Qur’an tentang cahaya dan pengetahuan
Al-Qur’an kerap menggunakan cahaya sebagai metafora ilmu. Allah berfirman:
ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ
“Allāh adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nūr: 35)
Ayat ini memberi makna filosofis bahwa cahaya adalah pintu pengetahuan. Ibn al-Haytham seolah menerjemahkan makna spiritual itu ke dalam eksperimen nyata, bagaimana cahaya bekerja di dunia fisik.
Pembiasan sebagai pintu masuk logika ilmiah
Ketika cahaya melewati air, kecepatan rambatnya melambat sehingga arah sinar berubah. Itulah sebabnya objek tampak berpindah posisi. Ibn al-Haytham menguraikan:
«إِنَّمَا يُرَى الشَّيْءُ فِي غَيْرِ مَوْضِعِهِ لِانْكِسَارِ الشُّعَاعِ»
“Sesuatu tampak tidak pada tempatnya karena pembiasan cahaya.”
Fenomena sederhana ini menjadi titik awal bagi lahirnya geometri optika. Bahkan, pada abad modern, hukum pembiasan yang dirumuskan Snellius banyak berakar dari konsep awal yang disampaikan Ibn al-Haytham.
Dari segelas air menuju teleskop dan kamera
Apakah Anda pernah berpikir bahwa teknologi kamera dan teleskop tidak akan mungkin ada tanpa teori pembiasan? Lensa bekerja dengan cara mengatur arah cahaya yang masuk. Prinsip yang sama diterapkan saat seorang anak heran melihat sendok bengkok. Dengan kata lain, kejadian di meja makan itu memiliki kaitan langsung dengan perkembangan ilmu pengetahuan global.
Ibn al-Haytham berkata:
«إِنَّ النَّظَرَ الصَّحِيحَ يُوجِبُ الْعِلْمَ الْيَقِينِيَّ»
“Pengamatan yang benar akan melahirkan pengetahuan yang meyakinkan.”
Ini mengajarkan kepada kita pentingnya observasi yang jujur dan sistematis. Tidak cukup hanya melihat, tetapi harus berusaha memahami sebab di balik apa yang tampak.
Nilai reflektif dari sendok yang tampak patah
Ada hikmah menarik dari fenomena ini. Kita sering kali menilai sesuatu hanya berdasarkan tampilan luar, padahal realitas bisa berbeda. Sendok yang terlihat bengkok sebenarnya lurus, begitu pula kehidupan: apa yang tampak berat mungkin menyimpan kebaikan, dan apa yang tampak ringan kadang menyimpan risiko.
Hal ini selaras dengan firman Allah:
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini seakan mengajak kita membaca kehidupan seperti Ibn al-Haytham membaca cahaya: tidak hanya dari satu sudut pandang, tetapi dengan menyelami hakikatnya.
Dari eksperimen ke pelajaran hidup
Jika kita merenung, pembiasan cahaya bukan hanya soal optika. Ia adalah simbol bahwa realitas bisa berubah tergantung dari sudut pandang. Mata kita terbatas, tetapi akal dan hati mampu meluruskan persepsi. Maka, mempelajari Kitāb al-Manāẓir bukan hanya perjalanan ilmiah, melainkan juga latihan spiritual untuk melihat dunia dengan kejernihan.
Ibn al-Haytham menegaskan:
«الْحَقُّ يُعْرَفُ بِالدَّلِيلِ لَا بِالظَّنِّ»
“Kebenaran diketahui melalui dalil, bukan melalui prasangka.”
Inilah pesan yang relevan di zaman digital saat informasi bercampur dengan ilusi. Kita perlu sikap ilmiah sekaligus kebijaksanaan hati.
Penutup: cahaya, sendok, dan jalan menuju ilmu
Pembiasan cahaya, sebagaimana dijelaskan dalam Kitāb al-Manāẓir, memberi kita cara pandang baru. Dari segelas air, kita belajar bahwa ilmu bisa lahir dari hal kecil. Mungkin dari seorang anak yang melihat sendok patah, kita menemukan gerbang menuju fisika modern. Melalui Ibn al-Haytham, kita belajar pentingnya memadukan observasi dengan refleksi.
Ilmu optika bukan sekadar tentang cahaya, tetapi tentang bagaimana manusia memahami kebenaran. Dan seperti cahaya yang berbelok namun tetap sampai ke mata, demikian pula ilmu kadang melalui jalan berliku sebelum sampai ke hati kita.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
