Surau.co. Cahaya selalu hadir dalam kehidupan manusia, dari sinar matahari yang menyinari pagi hingga lampu kecil yang menemani belajar di malam hari. Namun, pernahkah kita bertanya, bagaimana cahaya itu bekerja? Ibn al-Haytham, dalam Kitāb al-Manāẓir khususnya pada Buku III, menyingkap rahasia cahaya dengan pendekatan matematis yang sangat mendalam. Artikel ini mengulas bagaimana geometri cahaya yang dirumuskannya menjadi dasar optika modern, serta nilai filosofis yang bisa kita ambil untuk kehidupan sehari-hari.
Cahaya dalam Fenomena Sehari-hari
Bayangkan ketika kita berdiri di jalan saat matahari bersinar terik. Bayangan tubuh jatuh ke tanah dengan arah tertentu sesuai posisi matahari. Fenomena sederhana ini sesungguhnya adalah geometri cahaya dalam kehidupan nyata. Cahaya bergerak lurus, menumbuhkan bayangan, dan berinteraksi dengan benda melalui pantulan atau pembiasan. Ibn al-Haytham menggunakan hal-hal sederhana semacam ini untuk membangun argumen ilmiah yang kemudian ia susun secara matematis.
Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia menegaskan:
“النور إذا وقع على جسم عاكس فإنه يرتد في خطوط مستقيمة بحسب الزاوية.”
“Apabila cahaya jatuh pada benda pemantul, ia akan kembali dalam garis lurus sesuai dengan sudutnya.”
Pernyataan ini menandai awal lahirnya hukum refleksi dalam optika yang kini diajarkan di sekolah.
Kritik Kuno yang Melahirkan Dasar Baru
Sebelum Ibn al-Haytham, para ilmuwan Yunani seperti Euclid dan Ptolemy telah membicarakan cahaya. Namun, banyak konsep yang masih berupa spekulasi. Ibn al-Haytham membongkar kelemahan itu dengan menambahkan eksperimen dan matematika. Ia menolak gagasan kabur bahwa cahaya “mengalir” tanpa pola. Bagi dirinya, cahaya tunduk pada aturan yang pasti, dan aturan itu bisa dihitung.
Ia menulis:
“كل شعاع من النور يسير في خط مستقيم، وإذا عرض له حاجز انكسر أو انعكس.”
“Setiap sinar cahaya berjalan lurus, dan jika ia menemui penghalang maka ia akan dibiaskan atau dipantulkan.”
Dengan kalimat ini, Ibn al-Haytham meletakkan kerangka awal hukum pembiasan (refraksi), yang kemudian menjadi pilar dalam pengembangan lensa dan kaca optik.
Sentuhan Al-Qur’an tentang Cahaya dan Pengetahuan
Pembahasan tentang cahaya dalam Islam tidak berhenti pada aspek fisik, melainkan juga spiritual. Al-Qur’an menggambarkan cahaya sebagai simbol pengetahuan dan petunjuk. Dalam surah Az-Zumar (39:22), Allah berfirman:
أَفَمَنْ شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُ لِلۡإِسۡلَـٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ
“Maka apakah orang yang dibukakan Allah hatinya untuk Islam lalu ia berada di atas cahaya dari Tuhannya…”
Ayat ini menyiratkan bahwa cahaya tidak hanya hadir di ruang fisik, tetapi juga di dalam hati dan akal manusia. Ibn al-Haytham, dengan riset ilmiahnya, seolah sedang menyingkap sebagian kecil dari cahaya yang Allah tebarkan di alam semesta.
Matematika sebagai Bahasa Cahaya
Uniknya, Ibn al-Haytham tidak berhenti pada deskripsi fenomena. Ia menggunakan geometri untuk menjelaskan hukum cahaya. Misalnya, ketika menjelaskan bagaimana sudut datang sama dengan sudut pantul, ia menggunakan garis, titik, dan sudut dalam diagram.
Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia menyatakan:
“إن علاقة الزاوية في الانعكاس مساوية لزاوية الورود.”
“Sesungguhnya sudut dalam pantulan sama dengan sudut datangnya.”
Sederhana, tetapi revolusioner. Dengan pendekatan ini, ia menegaskan bahwa cahaya bisa dipahami dengan hukum yang pasti, bukan sekadar spekulasi.
Relevansi dalam Kehidupan Modern
Geometri cahaya yang dirumuskan Ibn al-Haytham menjadi dasar bagi banyak teknologi modern. Dari kacamata yang kita kenakan, kamera di ponsel, hingga teleskop luar angkasa, semuanya berakar pada pemahaman tentang refleksi dan refraksi. Tanpa konsep dasar yang ia uraikan dalam Buku III, perkembangan optika bisa jadi berjalan jauh lebih lambat.
Selain itu, ada pesan moral dari metodenya: jangan hanya menerima pengetahuan, tetapi uji dan kaji kembali. Ia membuktikan bahwa ilmu berkembang bukan hanya dengan membaca, tetapi juga dengan mengamati dan menghitung.
Kesederhanaan Eksperimen, Kedalaman Pengetahuan
Salah satu eksperimen Ibn al-Haytham adalah menggunakan ruang gelap dengan lubang kecil. Dari situ ia menyimpulkan bahwa cahaya bergerak lurus dan bisa dihitung dengan sudut-sudut geometri.
Ia menulis:
“النور الداخل من ثقب ضيق في بيت مظلم يُرى على الجدار المقابل في صورة مستقيمة.”
“Cahaya yang masuk dari lubang sempit ke dalam rumah gelap terlihat pada dinding seberangnya dalam bentuk garis lurus.”
Eksperimen sederhana ini menginspirasi lahirnya kamera obscura dan akhirnya teknologi fotografi. Dari ruang gelap seorang ilmuwan abad ke-11, lahirlah pengetahuan yang mengubah dunia.
Penutup: Menyerap Cahaya Ilmu dengan Hati Terbuka
Mengulas Kitāb al-Manāẓir Buku III membuat kita sadar bahwa cahaya bukan hanya fenomena alam, tetapi juga simbol ilmu pengetahuan. Ibn al-Haytham telah menunjukkan bahwa alam semesta ini memiliki aturan, dan aturan itu bisa dipahami dengan logika, eksperimen, dan matematika.
Seperti firman Allah dalam surah Al-An‘ām (6:122):
وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
“Dan Kami jadikan untuknya cahaya yang dengannya ia berjalan di tengah manusia.”
Ilmu adalah cahaya. Dengan ilmu, kita tidak hanya mampu memahami bayangan dan cahaya di sekitar kita, tetapi juga bisa menata peradaban dengan lebih terang.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
