Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Penglihatan Bukan Pancaran Mata? Kritik Ibn al-Haytham pada Teori Kuno

Mengapa Penglihatan Bukan Pancaran Mata? Kritik Ibn al-Haytham pada Teori Kuno

Eksperimen pinhole Ibn al-Haytham tentang cahaya dan penglihatan.
Seorang ilmuwan Muslim sedang menunjukkan bagaimana cahaya bergerak lurus melalui pinhole dalam ruang gelap, mendemonstrasikan teori penglihatan.

Surau.co. Sejak dahulu, manusia selalu bertanya-tanya: bagaimana sebenarnya proses melihat terjadi? Apakah mata memancarkan cahaya untuk menangkap benda, ataukah benda yang memancarkan cahaya ke mata? Pertanyaan ini menjadi perdebatan panjang dalam filsafat Yunani dan sains awal Islam. Ibn al-Haytham, melalui karya monumentalnya Kitāb al-Manāẓir, menghadirkan jawaban yang mengguncang teori lama. Artikel ini akan menelusuri kritik Ibn al-Haytham terhadap teori penglihatan kuno, sekaligus mengaitkannya dengan pengalaman keseharian kita dan nilai spiritual dalam Islam.

Dari Fenomena Sehari-hari Menuju Pertanyaan Besar

Coba bayangkan saat kita menatap bintang di langit malam. Bintang itu sangat jauh, namun cahaya sampai ke mata kita. Jika teori kuno benar—bahwa mata memancarkan cahaya—bukankah seharusnya kita mampu melihat bintang sekaligus detail benda kecil di dekat kita tanpa ada perbedaan? Fenomena sederhana ini justru menunjukkan sebaliknya: ada sesuatu yang datang ke dalam mata, bukan keluar darinya.

Ibn al-Haytham sangat peka terhadap pengalaman semacam ini. Ia tidak hanya puas dengan teori, tetapi juga menguji dengan eksperimen. Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia menolak anggapan mata sebagai pemancar sinar. Baginya, penglihatan adalah hasil cahaya yang memantul dari benda lalu masuk ke mata.

Ia menulis:

“إنا نرى الأجسام مضيئة إذا وقع الضوء عليها ثم انتقل منها إلى العين.”
“Sesungguhnya kita melihat benda-benda bercahaya ketika cahaya jatuh padanya lalu berpindah darinya menuju mata.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kalimat ini menegaskan arah pergerakan cahaya—dari benda ke mata, bukan sebaliknya.

Kritik Terhadap Teori Emisi: Mata Bukan Obor

Sebelum Ibn al-Haytham, ada dua teori besar tentang penglihatan: teori emisi yang dipelopori Euclid dan Ptolemy (mata memancarkan cahaya), serta teori intromisi dari Aristoteles (benda mengirimkan bentuk ke mata). Ibn al-Haytham menyebut teori emisi tidak masuk akal, sebab jika mata memang memancarkan cahaya, mengapa kita tidak dapat melihat dalam kegelapan total?

Dalam bukunya, ia menuliskan:

“لو كان البصر شعاعاً يخرج من العين لرأينا في الظلمة كما نرى في الضوء.”
“Seandainya penglihatan itu berupa sinar yang keluar dari mata, niscaya kita dapat melihat dalam gelap sebagaimana kita melihat dalam terang.”

Logika ini begitu sederhana, namun menghantam dasar teori kuno. Bukankah kita semua pernah mengalami mati lampu, lalu tak mampu melihat apa pun? Itulah bukti paling nyata bahwa cahaya harus ada agar penglihatan terjadi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Hubungan Ilmu dan Nilai Spiritual

Menariknya, temuan Ibn al-Haytham tidak hanya bersifat ilmiah, tetapi juga menyentuh dimensi spiritual. Al-Qur’an berulang kali menekankan peran cahaya sebagai simbol pengetahuan. Dalam surah An-Nūr (24:35), Allah berfirman:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Ayat ini memberi makna bahwa cahaya bukan sekadar fenomena fisik, tetapi juga representasi petunjuk ilahi. Ibn al-Haytham, dalam pencariannya tentang cahaya dan penglihatan, sesungguhnya juga menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah.

Eksperimen yang Mengubah Dunia

Salah satu kekuatan Kitāb al-Manāẓir adalah metode eksperimen. Ibn al-Haytham menggunakan ruang gelap dengan lubang kecil (pinhole) untuk membuktikan bahwa cahaya bergerak lurus dan memasuki mata. Ia menulis:

“إذا دخل النور من ثقب صغير في مكان مظلم ظهر على الجدار المقابل على هيئة مستقيمة.”
“Apabila cahaya masuk melalui lubang kecil ke dalam tempat gelap, ia tampak pada dinding yang berlawanan dalam bentuk garis lurus.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Pengamatan sederhana ini kelak menjadi dasar teknologi kamera. Dari sinilah berkembang pemahaman tentang optik modern, lensa, hingga perangkat fotografi dan film yang kita gunakan sehari-hari.

Menghidupkan Sains dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagaimana relevansi pemikiran Ibn al-Haytham dengan kehidupan kita saat ini? Coba pikirkan saat kita mengambil foto dengan ponsel. Prosesnya persis seperti eksperimen pinhole: cahaya masuk ke lensa, dibentuk, lalu ditangkap sensor. Tanpa warisan pemikiran Ibn al-Haytham, mungkin perkembangan teknologi optik akan jauh tertinggal.

Namun ada pula pesan moral dari sikapnya. Ia tidak hanya menerima warisan Yunani begitu saja, melainkan berani mengkritik, menolak, dan membangun argumen dengan bukti nyata. Sikap kritis inilah yang seharusnya kita teladani di era banjir informasi sekarang.

Penutup: Cahaya Sebagai Simbol Pengetahuan

Akhirnya, kita memahami mengapa penglihatan bukanlah pancaran mata. Cahaya datang kepada kita, membuka tabir gelap, dan memungkinkan otak memproses apa yang tampak. Ibn al-Haytham telah menunjukkan bahwa ilmu bukan hanya soal teori, tetapi juga keberanian untuk menguji, mengkritik, dan menemukan kebenaran.

Seperti firman Allah dalam surah Al-An‘ām (6:122):

أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
“Apakah orang yang telah mati kemudian Kami hidupkan, lalu Kami berikan kepadanya cahaya sehingga dengan cahaya itu ia berjalan di tengah manusia…”

Ilmu adalah cahaya. Dan Ibn al-Haytham, dengan karya besarnya, telah menyalakan cahaya itu untuk peradaban manusia.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement