SURAU.CO – Suatu malam, Syaikh Jalaluddin Rumi mengundang gurunya, Syamsuddin At-Tabrizi, untuk makan malam di rumahnya. Ia menyiapkan hidangan terbaik sebagai bentuk rasa hormat dan cinta seorang murid kepada mursyidnya. Namun, sebelum makanan disajikan, Syams tiba-tiba menanyakan sesuatu yang mengejutkan: “Apakah kau bisa menyediakan minuman untuk saya?” (Yang maksudnya arak/khamer.
Permintaan itu membuat Rumi tertegun. Bagaimana mungkin seorang mursyid menanyakan sesuatu yang jelas dilarang syariat? Namun Syams tetap tenang. Ia bahkan menegaskan kembali agar Rumi benar-benar menyediakan minuman itu. Rumi mencoba mengelak dengan alasan di malam hari, dari mana bisa dapat arak. Syams pun menyarankan agar ia menyuruh pembantunya membeli arak. Rumi menolak lagi, karena ia merasa kehormatannya akan jatuh di mata para pelayan. Maka Syams menyuruhnya pergi sendiri untuk membelinya.
Ujian yang Mengguncang
Perdebatan kecil itu berakhir dengan kepatuhan Rumi. Ia menuruti perintah gurunya, meski hatinya diliputi kegelisahan. Dengan jubah panjang untuk menyembunyikan botol kosong, ia berjalan menuju pemukiman kaum Nasrani. Orang-orang mulai memperhatikan gerak-geriknya. Mereka masuk ke kedai arak dan keluar sambil membawa botol.
Bisik-bisik pun merebak. Wibawa Rumi sebagai seorang alim tiba-tiba runtuh di mata masyarakat. Di depan masjid tempat ia menjadi imam, massa menuduhnya sebagai peminum. Mereka menyingkap jubahnya, menemukan botol, lalu meludahi wajahnya. Sebagian bahkan memukulnya. Rumi tidak melawan. Ia hanya diam, menerima semua tuduhan itu.
Dalam keadaan genting itu, Syams datang. Dengan suara lantang, ia mengungkap kenyataan bahwa botol itu berisi cuka untuk masakan, bukan arak. Orang-orang tidak percaya. Kemudian syam membukambotol dan memeteskan isinya di tangan mereka. Lalu mereka menciumnya dan merasa terkejut malu karena itu benar benar cuka.kemudian orang-orang meminta maaf kepada Rumi.
Namun bagi Rumi, peristiwa itu meninggalkan luka batin. Ia menoleh ke gurunya dan bertanya, “Mengapa kamu menjerumuskanku dalam kehinaan sebesar ini?”
Syams menjawab dengan kalimat yang sangat dalam, “Agar engkau tahu, wahai Rumi, bahwa kehormatan yang selama ini kau banggakan hanyalah bayangan semu. Lihatlah, hanya karena dugaan satu botol minuman, seluruh wibawa itu menghilang seketika. Orang-orang yang menyanjungmu tadi pagi, malam ini meludahimu. Inilah wajah asli ‘kehormatan dunia’. Semua itu rapuh, palsu, dan fana. Bersandarlah hanya kepada Allah SWT.”
Makna Kehormatan Semu
Kisah ini menggambarkan betapa rapuhnya kehormatan yang bersandar pada penilaian manusia. Hari ini seseorang bisa dipuji, besok dia bisa dicaci. Syams ingin menunjukkan kepada Rumi bahwa seorang sufi sejati tidak boleh menjadi tawanan omongan orang. Ia harus bebas dari ketakutan akan cemoohan dan terbebas dari kegembiraan palsu karena pujian. Kehormatan semu bersifat fana. Ia bergantung pada suasana hati massa yang berubah-ubah.
Dalam ajaran tasawuf, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan melepaskan hati dari jerat penilaian manusia. Seorang zahid tetap bekerja, tetap bergaul, tetap beribadah, tetapi ia tidak terikat pada sanjungan atau hinaan orang. Ia sadar bahwa semua itu fana.
Syams menegaskan bahwa zuhud sejati bukan menjaga citra diri agar terlihat mulia, melainkan menjaga hati agar hanya bersandar pada Allah. Seorang pesuluk yang masih takut kehilangan wibawa di mata manusia sesungguhnya masih terikat pada dunia. Sementara seorang sufi sejati tenang bersama Tuhannya, baik saat dipuji maupun saat dihina.
Pesan Bagi Para Penempuh Jalan Ruhani
Para penempuh jalan ruhani harus menyadari bahwa perjalanan menuju Allah penuh ujian. Salah satunya adalah ujian kehormatan. Orang yang masih bergantung pada penghormatan manusia tidak akan sampai pada ketulusan. Syams menguji Rumi agar ia melepaskan diri dari kehormatan palsu itu.
Seorang salik atau murid sufi perlu belajar menempatkan dirinya di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Ketika hati sudah bebas dari penilaian orang, barulah ia bisa benar-benar merasakan manisnya ibadah. Sebaliknya, jika hati masih sibuk menjaga citra, maka setiap pujian akan membutakan dan setiap hinaan akan menyakiti.
(Kisah ini dikutip dari Maqalat-e Syams dan Matsnawi-i Ma’nawi)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
