SURAU.CO – Hisyam ibn al-Ash adalah seorang sahabat Nabi dari suku Quraisy keturunan Bani Sahmi. Ia termasuk golongan pertama yang memeluk Islam. Ia juga termasuk golongan syuhada yang gugur dalam medan perang. Namun, ayahnya, yaitu al-Ash ibn Wail, terkenal sebagai gembong kaum musyrik yang sangat membenci Islam. Ibunya bernama Ummu Harmalah binti Hisyam—saudara kandung Abu Jahal.
Hisyam ibn al-Ash adalah saudara kandung Amr ibn al-Ash. Ayahanda Hisyam, yaitu al-Ash sering kali menghina dan merendahkan Rasulullah dan kaum muslim lain. Tetapi Allah berkehendak menghentikan semua ejekan dan penghinaannya, sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Kami memeliharamu dari (kejahatan) orang yang memperolok-olokkan (kamu).” (QS. al-Hijr (15): 95).
Kejahatan ayahnya pada kaum muslimin
Kekejian yang dilakukan oleh al-Ash terhadap kaum muslimin sudah melampaui batas, seperti yang ia perbuat kepada Khabab ibn al-Urti, seorang pandai besi yang mahir membuat pedang. Suatu hari al-Ash mendatanginya untuk meminta ia buatkan sebilah pedang. Saat pedang pesanannya selesai , al-Ash mengambilnya begitu saja tanpa memberikan upah sedikit pun.
Hari berganti hari, tetapi al-Ash tidak juga mau membayar upah kepada Khabab. Akhirnya Khabab pergi menuju rumah al-Ash untuk menagih haknya. Namun, alih-alih mendapatkan upah, si kafir al-Ash malah berkata, “Katakan kepadaku, hai Khabab, bukankah sahabatmu itu (Muhammad saw.) mengatakan bahwa di surga itu ada emas, perak, pakaian yang indah, dan para pembantu?” Khabbab menjawab, “Benar sekali!”
“Jika demikian, tunggulah aku sampai hari kiamat datang hingga aku dapat pergi ke tempat itu dan nanti di sana utangku kepadamu akan kubayar lunas. Demi Allah, hai Khabbab! kau dan temanmu itu tidak ada apa-apanya di hadapan Tuhan.”
Tidak lama setelah peristiwa itu turun firman Allah: “Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, ‘Pasti aku akan diberi harta dan anak.’ Adakah ia melihat yang gaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Rabb Yang Maha Pemurah? Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya, dan Kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami seorang diri.” (QS. Maryam (19): 77-80).
Hisyam ibn al-Ash bersyahadat dan berhijrah
Hisyam telah melupakan ayahnya dan dengan penuh keridaan ia mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah saw. Ketika Rasulullah mengizinkan kaum muslim untuk hijrah ke Abisinia, Hisyam ikut serta dalam rombongan Muhajirin, tetapi kemudian kembali pulang ke Makkah. Tiba di Makkah, ia baru tahu bahwa Rasulullah saw. telah hijrah ke Madinah sehingga ia segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Madinah, bersama dua sahabatnya, yaitu Umar ibn al-Khattab dan Iyasy ibn Abu Rabiah.
Ketiga sahabat itu sepakat untuk berangkat esok pagi, tetapi ternyata pada waktu yang telah ditentukan Hisyam tak dapat bergabung dengan mereka akibat perbuatan ayahnya, yakni al-Ash. Ayahnya itu, yang telah mengetahui keislaman Hisyam, memerintahkan beberapa orang untuk mengawasi putranya.
Tertangkap oleh orang suruhan ayahnya
Ketika Hisyam keluar dari rumahnya untuk bertemu dengan dua sahabatnya, orang-orang suruhan al-Ash menangkapnya dan menggiringnya ke hadapan Al-Ash yang kemudian memenjarakannya. Karena tak muncul di tempat yang telah disepakati, Umar dan Iyasy berangkat berdua menuju Madinah dan tiba di sana dengan selamat.
Cukup lama Hisyam terkurung dalam ruang tahanan ayahnya. Setiap hari ia merasakan berbagai tekanan dan siksaan sehingga ia terpaksa mengucapkan kata-kata kekafiran meskipun hatinya tetap kukuh dalam keimanan. Ia mengaku kafir dan menentang Islam semata-mata agar terbebas dari kurungan penjara.
“Kesulitan yang bertambah hebat memberiku jalan keluar, malam-malam sunyi yang kulalui memberiku kebebasan.”
Rasulullah yang telah menetap di Madinah mengetahui kabar tentang Hisyam langsung dari malaikat Jibril a.s. yang menurunkan firman Allah: “Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.’” (QS. al-Zumar (39): 53-55).
Mengaku kafir dalam keadaan terpaksa
Umar ibn al-Khattab menuliskan wahyu itu dan mengirimkannya kepada Hisyam di Makkah melalui orang yang tepercaya. Ketika Hisyam membacanya, ia sama sekali tidak memahami maksudnya. Namun, ia terus membacanya dan berusaha memahaminya. Sayang, usahanya tak juga berhasil sehingga ia merasa berduka. Ia menengadahkan kepala berdoa, “Ya Allah, berilah aku pemahaman.”
Sebelum turun firman Allah itu, Umar dan para sahabat lain menyangka bahwa tobat orang yang mengaku kafir dalam keadaan terpaksa tidak akan Allah terima, begitu juga amalnya yang lain, karena mereka kembali kepada kekafiran. Ternyata anggapan mereka itu mendapat bantahan dalam firman Allah tersebut, yang menegaskan bahwa Dia menerima tobat dan permohonan Hisyam. Akhirnya, Hisyam dapat memahami maksud ayat tersebut yang ternyata tertuju untuk dirinya dan para sahabatnya.
Kembali ke Madinah
Hisyam merasa sangat gembira karena ia akan berjumpa dengan Rasulullah. Ia segera menyiapkan kendaraannya lalu berangkat menuju Madinah. Tiba di Madinah, ternyata kaum muslim baru saja beristirahat setelah mengusir kaum Musyrik dalam Perang Khandaq. Kebahagiaan meliputi hati Hisyam sehingga ia terus berkeliling di tengah kota Madinah mengungkapkan rasa gembiranya.
Sejak menetap di Madinah Hisyam selalu menghadiri majelis Rasulullah. Ia tak mau lagi jauh dari beliau setelah terpenjara sekian lama. Ia tak pernah absen dari berbagai peperangan yang dijalani oleh Rasulullah saw. sampai beliau wafat.
Ikut berperang melawan Romawi
Pada tahun ketiga belas Hijrah, tepatnya pada masa Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq r.a., Hisyam bergabung dalam pasukan besar yang dipimpin oleh Amr ibn al-Ash untuk memerangi pasukan Romawi di Ajnadin.
Ibn al-Atsir mencatat sebuah riwayat dari Khalid ibn Ma’dan yang bertutur mengenai peperangan itu. Dikatakan bahwa ketika pasukan Romawi telah berkemah di Ajnadin, pasukan Muslim harus menyeberangi sebuah tebing yang sempit yang hanya bisa terlewati oleh satu orang saja.
Keadaan itu sangat tidak menguntungkan, karena siapa pun yang berjalan menyeberangi tebing itu, pasti akan langsung terbunuh oleh anak panah pasukan Romawi. Di tengah kebingungan seperti itu, Hisyam memberanikan dirinya menyeberangi tebing itu, tetapi ia pun terbunuh di tangan pasukan Romawi. Jasadnya jatuh di antara tebing sempit itu dan menjadi jembatan untuk menyeberang.
Jasadnya jadi jembatan pada perang Ajnadin
Ketika pasukan kavaleri muslim hendak menyeberangi tempat itu, mereka menghentikan laju kuda karena di bawah mereka ada jasad seorang sahabat. Melihat keraguan mereka, Amr ibn al-Ash berkata,
“Wahai pasukan, Allah telah menganugerahinya kesyahidan dan Dia telah mengangkat ruhnya. Apa yang kalian lihat di bawah kalian hanyalah jasad yang tidak bernyawa. Maka, lewatilah dengan kuda-kuda kalian!”
Amr meneriakkan perintah tersebut seraya memacu kudanya melewati tebing itu dengan tubuh Hisyam sebagai jembatan. Pasukan lain mengikuti di belakangnya. Akibatnya, tentu saja jasad Hisyam hancur terpotong-potong karena terinjak kaki-kaki kuda.
Saat pertempuran usai, pasukan Muslim kembali ke barisan, sedangkan Amr sibuk mengumpulkan daging dan tulang belulang saudaranya, Hisyam, untuk dikuburkan.
Ketika mendengar kabar tersebut, Umar ibn al-Khattab r.a. berkata, “Semoga Allah merahmatinya! Pengorbanannya merupakan pertolongan besar untuk Islam.”(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
