Surau.co. Persepsi dalam Kitab al-Manazir – Ilmu cahaya dalam Kitāb al-Manāẓir karya Ibn al-Haytham tidak berhenti pada persoalan bagaimana cahaya memasuki mata. Lebih jauh, ia mengulas bagaimana manusia memahami dunia melalui proses persepsi. Persepsi adalah titik temu antara cahaya, mata, dan otak—sebuah jembatan antara dunia luar dengan kesadaran batin kita. Tema ini menjadikan Ibn al-Haytham bukan hanya ahli optik, melainkan juga pelopor ilmu psikologi persepsi.
Dari Mata ke Pikiran: Sebuah Perjalanan Cahaya
Setiap kali kita melihat sebuah bunga, cahaya dari bunga itu masuk ke mata, lalu diproses oleh otak. Namun, yang kita pahami bukan hanya warna merah atau bentuk kelopak, melainkan keindahan bunga itu. Ibn al-Haytham mengingatkan bahwa penglihatan bukan sekadar fisik, melainkan pengalaman mental.
Ia menulis:
“إِنَّ الإِبْصَارَ لَا يَكْتَمِلُ إِلَّا بِمَا يَفْهَمُهُ الْعَقْلُ مَعَ مَا يَتَلَقَّاهُ الْبَصَرُ”
“Penglihatan tidak akan sempurna kecuali dengan pemahaman akal bersama apa yang diterima mata.”
Pemikiran ini membuka wawasan bahwa persepsi adalah gabungan indera dan akal.
Fenomena Sehari-hari yang Mengajarkan Tentang Persepsi
Ketika kita melihat jalan yang lurus tampak menyempit di kejauhan, padahal sejatinya tidak menyempit, itu adalah contoh sederhana ilusi optik. Ibn al-Haytham membahas fenomena ini dalam Kitāb al-Manāẓir untuk menunjukkan bahwa otak ikut berperan dalam membentuk penglihatan.
Al-Qur’an juga mengisyaratkan bahwa manusia sering kali tidak melihat dengan hakikat yang sebenarnya:
﴿فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ﴾ (الحج: 46)
“Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Ayat ini menekankan bahwa penglihatan bukan hanya persoalan mata, melainkan kesadaran batin. Ibn al-Haytham meneguhkan pandangan ini melalui teori persepsi yang menempatkan akal sebagai bagian penting dari penglihatan.
Eksperimen dan Metode Ilmiah dalam Memahami Persepsi
Untuk menjelaskan persepsi, Ibn al-Haytham melakukan eksperimen sederhana, seperti memperhatikan bayangan benda yang bergerak atau cahaya yang masuk ke ruangan gelap. Ia menyadari bahwa terkadang mata melihat sesuatu yang berbeda dengan kenyataan fisik.
Dalam salah satu penjelasannya, ia menulis:
“إِنَّ الْأَشْيَاءَ تُدْرَكُ بِحَسَبِ الظُّرُوفِ وَالْمَكَانِ وَالزَّمَانِ”
“Segala sesuatu dipersepsi sesuai dengan kondisi, tempat, dan waktu.”
Dengan ini, Ibn al-Haytham menekankan bahwa penglihatan selalu terkait dengan konteks. Itulah sebabnya ilusi bisa terjadi—otak kita menafsirkan realitas berdasarkan pengalaman dan lingkungan.
Menghubungkan Ilmu dengan Spiritualitas
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terkecoh oleh penampilan luar. Kita menilai seseorang hanya dari pakaiannya, tanpa menyelami hati dan amalnya. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ” (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini sejalan dengan gagasan Ibn al-Haytham: bahwa penglihatan sejati bukan hanya melalui mata, melainkan juga melalui pemahaman yang lebih dalam.
Relevansi Teori Persepsi Ibn al-Haytham di Era Digital
Hari ini, manusia hidup di era visual. Gambar, video, dan teknologi realitas virtual membanjiri kehidupan kita. Ilusi digital sering kali membuat kita bingung membedakan kenyataan dan rekayasa. Teori persepsi Ibn al-Haytham memberi pelajaran penting: otak manusia tidak sekadar menerima, tetapi juga menafsirkan informasi visual.
Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia menulis:
“الْإِدْرَاكُ لَيْسَ نَقْلًا بَلْ هُوَ تَفْسِيرٌ”
“Persepsi bukanlah sekadar penerimaan, melainkan interpretasi.”
Inilah yang menjadikan manusia makhluk unik: kita tidak hanya melihat, tetapi juga memberi makna pada apa yang kita lihat.
Refleksi: Melihat dengan Mata dan Hati
Membaca Buku I tentang persepsi dalam Kitab al-Manazir membuat kita merenung. Ternyata, ketika kita melihat seseorang tersenyum, maknanya tidak berhenti pada lekukan bibir, tetapi pada kehangatan yang kita rasakan. Begitu juga ketika kita memandang langit malam, yang terlihat bukan hanya bintang, tetapi juga rasa kagum pada Sang Pencipta.
Ibn al-Haytham tidak sekadar mengajarkan ilmu optik, tetapi juga mengajarkan cara melihat kehidupan. Bahwa persepsi harus diiringi akal sehat, hati yang jernih, dan kesadaran spiritual.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
