Surau.co. Ilmu cahaya atau optik dalam sejarah sains tidak bisa dilepaskan dari sosok Ibn al-Haytham (965–1040 M), seorang ilmuwan Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Alhazen. Karyanya yang monumental, Kitāb al-Manāẓir (Buku tentang Optik), menjadi tonggak penting yang mengubah cara manusia memahami penglihatan, cahaya, dan bayangan. Dalam buku pertamanya, Ibn al-Haytham membahas secara mendalam hubungan antara mata dan cahaya—sesuatu yang tampak sederhana, tetapi ternyata penuh misteri.
Cahaya dan Penglihatan dalam Kehidupan Sehari-hari
Setiap pagi, ketika kita membuka jendela dan cahaya matahari masuk ke ruangan, kita sering merasa itu hal biasa. Padahal, bagaimana cahaya bisa membawa informasi hingga kita dapat melihat bentuk, warna, dan jarak adalah persoalan ilmiah yang sangat kompleks. Ibn al-Haytham menolak pandangan kuno yang menyatakan mata memancarkan sinar ke objek. Ia membalik paradigma itu: justru cahaya dari objek masuk ke mata kita.
Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia menulis:
“إِنَّا نُبْصِرُ الْأَشْيَاءَ بِأَشْعَةٍ تَنْتَقِلُ مِنْهَا إِلَى أَبْصَارِنَا”
“Kita melihat sesuatu karena cahaya berpindah darinya menuju penglihatan kita.”
Pernyataan ini terdengar sederhana, namun pada masanya adalah revolusi intelektual.
Mata: Jendela Pengetahuan Manusia
Buku I Kitāb al-Manāẓir memberikan perhatian besar pada mata sebagai instrumen utama penglihatan. Ibn al-Haytham menjelaskan anatomi mata, fungsinya, dan bagaimana cahaya masuk melalui kornea, melewati lensa, lalu diterima retina. Dengan bahasa yang filosofis sekaligus eksperimental, ia menggabungkan teori dan praktik.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan manusia tentang pentingnya penglihatan:
﴿أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ﴾ (البلد: 8)
“Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata?” (QS. Al-Balad: 8)
Ayat ini menegaskan bahwa mata bukan sekadar organ fisik, melainkan anugerah yang harus direnungi. Ibn al-Haytham menjadikan mata sebagai titik awal penelitian tentang cahaya, karena tanpa mata, pengetahuan tentang dunia akan terhalang.
Eksperimen Cahaya dan Bayangan
Salah satu metode khas Ibn al-Haytham adalah penggunaan eksperimen. Ia menggunakan ruangan gelap dengan lubang kecil (camera obscura) untuk membuktikan bahwa cahaya merambat lurus. Dari sinilah lahir penjelasan mengapa bayangan terbentuk dan bagaimana citra terbawa ke dalam mata.
Ia menulis:
“إِذَا مَرَّ النُّورُ فِي سَبِيلٍ مُسْتَقِيمٍ لَا يَنْحَرِفُ إِلَّا بِعَارِضٍ”
“Apabila cahaya bergerak, ia menempuh jalan yang lurus dan tidak menyimpang kecuali karena penghalang.”
Dari sini, kita belajar bahwa cahaya tunduk pada hukum yang bisa diamati dan diprediksi, bukan sekadar misteri metafisik.
Melihat Lebih dari Sekadar Mata
Menariknya, Ibn al-Haytham tidak hanya berbicara tentang struktur mata atau cahaya sebagai fenomena fisik. Ia juga menyinggung dimensi psikologis: bagaimana manusia menginterpretasikan cahaya menjadi penglihatan. Dengan demikian, penglihatan bukan hanya pertemuan antara mata dan cahaya, tetapi juga kerja pikiran.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ” (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini memberi makna lebih luas: meski cahaya membuat kita bisa melihat bentuk, hakikat penilaian ada pada hati. Ibn al-Haytham seakan mengingatkan bahwa penglihatan sejati tidak berhenti pada indera, melainkan sampai pada kesadaran.
Relevansi Pemikiran Ibn al-Haytham di Era Modern
Hari ini, pemikiran Ibn al-Haytham masih relevan. Konsep dasar tentang cahaya yang ia rumuskan melahirkan cabang ilmu optik modern, teknologi kamera, hingga instrumen medis seperti endoskopi. Bahkan, penelitian tentang penglihatan buatan dan teknologi visual digital masih berakar pada prinsip-prinsip yang ia jelaskan.
Dalam Kitāb al-Manāẓir, ia juga menegaskan pentingnya sikap kritis:
“الْحَقُّ يُطْلَبُ بِالْبُرْهَانِ وَلَيْسَ بِقَوْلِ النَّاسِ”
“Kebenaran harus dicari dengan bukti, bukan semata-mata dengan ucapan manusia.”
Pernyataan ini menjadikan Ibn al-Haytham bukan hanya ilmuwan optik, melainkan pionir metode ilmiah. Ia mengajarkan bahwa penglihatan dan cahaya harus dipahami dengan observasi, eksperimen, dan argumentasi yang kuat.
Menutup Perjalanan Buku Pertama
Buku pertama Kitāb al-Manāẓir adalah fondasi: menjelaskan mata, cahaya, dan cara penglihatan bekerja. Dari sinilah enam buku berikutnya dikembangkan. Membaca karya ini, kita diajak tidak hanya memahami fenomena fisik, tetapi juga merenungi betapa luar biasanya anugerah penglihatan.
Maka, setiap kali kita membuka mata, melihat langit biru, atau sekadar cahaya lampu di malam hari, mari mengingat Ibn al-Haytham—seorang ilmuwan yang mengubah cara manusia melihat dunia, secara harfiah dan filosofis.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
