Tech
Beranda » Berita » Etika Netizen dalam Islam: Panduan Bijak Bermedia Sosial

Etika Netizen dalam Islam: Panduan Bijak Bermedia Sosial

Media (Gambar Ilustrasi)
Media (Gambar Ilustrasi)

SURAU.CO – Di era digital saat ini, hampir setiap orang memiliki akun media sosial. Kehadiran teknologi membuat interaksi manusia berpindah dari dunia nyata ke ruang maya. Fenomena ini melahirkan istilah netizen, singkatan dari internet citizen, yakni warga dunia maya. Namun, sebagaimana kehidupan nyata menuntut etika, dunia digital juga menuntut aturan moral dan syariah agar interaksi tidak berakhir pada keburukan.

Artikel ini mengulas bagaimana beretika sebagai netizen, mulai dari etika posting, berbagi atau repost, hingga berkomentar dan mengkritik. Aspek ketiga ini menjadi aktivitas utama di media sosial, sehingga memerlukan perhatian khusus agar sesuai dengan tutunan Islam.

Etika dan Hukum Memposting

Setiap kali kita menekan tombol post di Instagram, Twitter, Facebook, WhatsApp, atau platform lain, kita sejatinya sedang “berbicara” di ruang publik. Islam menegaskan bahwa setiap ucapan membawa konsekuensi. Jika kata itu baik, kami mendapat pahala. Sebaliknya, jika buruk, kita menanggung dosa.

Rasulullah SAW memperingatkan:

Waspadalah terhadap dusta, karena itu termasuk maksiat, dan keduanya (maksiat dan dusta) ada di neraka tempatnya.” (HR. Al-Wadi’i)

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda:

Tidak akan masuk surga orang-orang yang melakukan namimah (adu domba).”

Hadis ini menegaskan bahwa postingan yang berisi cuplikan, fitnah, kebencian, atau ucapan buruk sama bermanfaatnya dengan ucapan langsung di dunia nyata. Artinya, menulis di media sosial bukan sekadar menuangkan pikiran, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab moral.

Oleh karena itu, setiap netizen harus memastikan bahwa konten yang mereka posting tidak mengandung hoaks, ghibah, fitnah, maupun kebencian. Sebaliknya, mereka perlu mengisi postingan dengan manfaat, kebaikan, serta upaya memperkuat ukhuwah.

Share atau Repost

Banyak orang menganggap aktivitas berbagi informasi atau repost adalah hal biasa. Namun, Islam memandang tindakan ini sebagai bentuk hikayah atau menceritakan ulang sesuatu yang kita dengar atau kita lihat.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kematian, yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini menuntut kita untuk melakukan tabayun atau klarifikasi sebelum menyebarkan informasi. Banyak kabar yang belum jelas kebenarannya langsung terungkap, hingga akhirnya menimbulkan fitnah, perpecahan, bahkan kerugian besar bagi orang lain.

Rasulullah SAW juga bersabda:

Cukuplah seseorang dianggap berdusta dengan menceritakan setiap apa yang ia dengar.” (HR.Muslim)

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Hadis ini menegaskan bahwa siapa saja yang menyebarkan berita tanpa verifikasi berarti ikut berdusta. Di media sosial, fenomena pemotongan video atau pengeditan konten agar tampak sensasional sering muncul. Padahal, praktik itu dapat mengubah makna asli dan berubah menjadi bentuk penipuan.

Oleh karena itu, setiap netizen harus menimbang manfaat dan mudarat sebelum melakukan share atau repost. Jika informasi itu bermanfaat dan jelas sumbernya, maka pantas untuk dipublikasikan. Namun, jika tidak jelas, sebaiknya kita menahan diri agar tetap aman.

Komentar dan Kritik

Kolom komentar di media sosial memberi ruang bagi pengguna untuk menanggapi suatu postingan. Idealnya, berkomentar menjadi sarana berdiskusi sehat dan memperkaya wawasan. Namun, banyak orang justru memenuhi kolom komentar dengan hujatan, cacian, dan kata-kata kotor.

Padahal, Islam mengajarkan adab ketika kita menyampaikan komentar atau kritik. Umar bin Khattab RA pernah berkata:

Takutlah pada mira’ (perdebatan sia-sia), karena tidak aman dari fitnah dan hikmahnya pun tak dapat dipahami.

Pernyataan ini menegaskan bahwa komentar kosong dasar hanya menimbulkan kekacauan. Netizen yang bijak harus memahami isi postingan secara utuh sebelum melontarkan kritik. Dengan begitu, mereka bisa menyampaikan tanggapan yang fokus pada substansi, bukan menyerang pribadi.

Selain itu, ketika kita mengkritik kinerja seseorang, kita tidak boleh asal bicara. Kita perlu melakukan penelitian dan mengumpulkan fakta konkret sebagai dasar. Kritik yang lahir dari penelitian membangun, sedangkan kritik tanpa dasar justru merusak. Dengan cara ini, etika berpendapat sesuai syariat akan menjaga keharmonisan di ruang digital.

Menjadi Netizen yang Bijak

Dari aspek ketiga di atas—posting, share/repost, dan komentar—kita dapat memahami bahwa aktivitas bermedia sosial harus berlandaskan nilai-nilai syariat Islam. Setiap tulisan, gambar, atau video yang kami sebarkan menjadi bagian dari amal yang akan dimintai pertanggungjawaban.

Dengan menaati rambu-rambu ini, kita bisa menjadikan media sosial sebagai sarana dakwah, edukasi, dan penguat hubungan antarsesama. Namun jika kita lalai, media sosial justru bisa menjadi pintu dosa.

 

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement