SURAU.CO – Dzun Nun al-Mishri adalah salah satu sufi besar dalam sejarah Islam. Sufi pertama yang menganalisis konsep ma’rifat secara konseptual.Para ulama berbeda pendapat mengenai nama asli Dzun Nun al-Mishri. Sebagian menyebut Abul Fayd bin Ahmad, sementara yang lain menyebut Dzun Nun bin Ibrahim al-Ikhmimi. Ia lahir di kota Ikhmim, Mesir, pada tahun 180 H/796 M. Ia tumbuh bersama tiga saudaranya: Dzul Kifl, Abdul Bari, dan al-Humaisa’.
Perjalanan spiritualnya menuju tasawuf berawal dari pengalaman yang unik. Bukan dari pertemuan dengan seorang mursyid, bukan karena kerasnya ujian hidup, melainkan dari pertemuan dengan seekor anak burung yang lemah dan tak berdaya.
Sebelum menjadi hamba yang taat kepada Allah, Dzun Nun adalah pemuda yang lalai. Ia banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Namun, Allah menggetarkan hatinya dengan cara yang menakjubkan hingga ia sadar.
Kisah Taubat Dzun Nun
Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam ar-Risâlah al-Qusyairiyyah menceritakan momen penting yang mengubah hidup Dzun Nun. Salim al-Magribi suatu ketika menghadiri majelis Dzun Nun dan bertanya kepadanya, “Wahai Abul Fayd, apa yang membuatmu bertaubat?”
Dzun Nun menjawab dengan nada misterius, “Sesuatu yang menakjubkan, kau tidak akan sanggup mendengarkannya.” Namun, setelah terus didesak, ia menceritakan pengalaman yang menggetarkan hatinya.
Dzun Nun berkata, “Suatu ketika aku pergi dari Mesir menuju sebuah kota. Dalam perjalanan aku tertidur di tanah lapang. Setelah terbangun, aku melihat seekor anak burung jatuh dari sarangnya. Saat itu tanah terbelah, lalu keluar dua wadah: satu dari emas berisi biji-bijian simsim, dan yang lain dari berisi perak air. Burung kecil itu makan dan minum dari sana.”
Pemandangan itu membuat Dzun Nun tertegun. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Cukup!” Sejak saat itu, ia meninggalkan kelalaiannya, mengetuk pintu taubat, dan terus mendekat kepada Allah hingga Allah menerima taubatnya (Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah , [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 2018], h.24).
Kisah ini memang terdengar aneh. Namun, Muhyiddin Muhammad Ali Muhammad bin Umar dalam al-Kaukabud Durrî fî Manâqibi Dzinnun al-Mishrî menegaskan bahwa peristiwa itu bisa diterima. Ia menilai Allah menghadiahkan pengalaman indah tersebut bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Yunus [10]: 63–64.
Tuduhan Zindik dan Pengasingan
Dzun Nun pernah menghadapi cobaan berat. Para ulama pada masanya menuduhnya sebagai seorang zindik (orang sesat atau murtad) karena ia dianggap membawa ajaran baru yang belum dikenal sebelumnya.
As-Sulami dalam Miḥanush Shufiyyah mencatat bahwa Dzun Nun menjadi orang pertama di Mesir yang berbicara tentang runtutan ahwal (keadaan spiritual) dan tingkatan para wali. Sebagian ulama menilai pemikiran ini menyimpang. Ulama besar bermazhab Maliki, Abdullah bin Abdul Hakam, bahkan menolak bertemu dengannya dan menuduhnya sesat (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’ , [Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1987], juz 11, h.534).
Akibat tuduhan itu, para ulama Mesir mengasingkan Dzun Nun. Meski begitu, ia tetap sabar dan semakin teguh dalam menempuh jalan Allah hingga akhirnya umat Islam mengakui keagungannya sebagai seorang sufi.
Makna Istighfar Menurut Dzun Nun
Dzun Nun meninggalkan banyak petuah berharga. Salah satu yang paling terkenal adalah penjelasannya tentang istighfar. Ia menegaskan bahwa istighfar yang sejati tidak berhenti di lisan, tetapi harus tampak dalam tindakan nyata.
Dzun Nun berkata:
“Istighfar itu menghimpun banyak arti, yaitu:
- memaafkan segala kesalahan yang telah diperbuat,
- berniat meninggalkan maksiat,
- kewajiban menjalankan Allah yang telah dilalaikan,
- mengembalikan hak orang lain berupa harta, kehormatan, dan maslahatnya,
- menjauhi semua daging dan darah yang tumbuh dari sesuatu yang haram, dan
- merasakan ketaatan lebih manis dari maksiat.”
Nasihat ini menegaskan bahwa istighfar sejati menuntut transformasi total dalam hidup. Ia mencakup penyesalan, tekad, perbaikan, dan keberanian untuk mengembalikan hak orang lain.
Kedalaman Ma’rifat
Dzun Nun juga dikenal sebagai orang pertama yang menguraikan konsep ma’rifat secara konseptual. Ia menegaskan:
“Orang yang sudah ma’rifat tidak hanya siap ditempatkan dalam satu kondisi, tetapi ia mau menjalankan semua perintah Allah dalam segala kondisi” (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lâmin Nubalâ’ , juz 11, h.535).
Pesan ini mengingatkan bahwa seorang arif sejati tidak boleh terikat pada kenyamanan atau kesulitan. Dalam keadaan lapang maupun sempit, sehat maupun sakit, ia harus tetap tunduk pada perintah Allah.
Dzun Nun wafat pada tahun 246 H/856 M. Mereka memakamkannya di dekat makam sahabat Nabi, ‘Amr bin Ash, serta ulama besar, ‘Uqbah bin al-Harun. Sejak itu, umat Islam terus mengenang namanya sebagai wali Allah yang menempuh jalan penuh ujian.
Teladan dari Dzun Nun al-Mishri
Kisah hidup Dzun Nun al-Mishri menyimpan banyak pelajaran. Pertama, Allah bisa menurunkan hidayah melalui hal-hal kecil yang tidak kita duga. Seekor burung kecil mampu menyadarkan seorang pemuda lalai hingga menjadi sufi besar.
Kedua, perjalanan spiritual selalu penuh ujian. Tuduhan yang diarahkan kepada Dzun Nun menunjukkan bahwa kebenaran sering kali berjalan beriringan dengan cobaan berat. Namun, kesabaran dan keteguhan hati menghadirkan kemewahan.
Ketiga, nasehat Dzun Nun tentang istighfar dan ma’rifat tetap relevan hingga kini. Ia mengajarkan pentingnya taubat sejati, bukan sekadar penyesalan sesaat. Ia juga menegaskan bahwa seorang arif sejati harus siap menjalankan perintah Allah dalam segala kondisi.
Kisahnya mengajarkan bahwa taubat tidak mengenal batas waktu dan keadaan. Selama manusia masih hidup, Allah membuka pintu taubat bagi siapa saja yang mengetuknya dengan tulus. Seperti Dzun Nun, siapa pun bisa menjadi hamba mulia ketika benar-benar kembali kepada Allah dengan sepenuh hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
