Mode & Gaya
Beranda » Berita » Antara Gaya Hidup dan Syariat: Larangan Emas bagi Laki-Laki

Antara Gaya Hidup dan Syariat: Larangan Emas bagi Laki-Laki

Emas bagi laki-laki
Ilustrasi perhiasan emas yang sering digunakan sebagai perhiasan. Foto: Meta AI

SURAU.CO. Fenomena laki-laki memakai perhiasan emas kini semakin mudah kita jumpai. Bahkan tak segan mereka memamerkan menggunakan cincin, kalung, gelang, hingga aksesoris mewah di media sosial. Emas seolah menjadi simbol status dan gaya hidup. Namun, di balik kilauan emas yang mempesona, Islam menghadirkan panduan yang tegas, bahwa emas haram untuk laki-laki, tetapi boleh bagi perempuan.

Pertanyaannya, mengapa demikian? Apakah larangan ini masih relevan di era modern, ketika gaya hidup semakin cair dan batas gender kerap diperdebatkan?

Larangan emas bagi laki-laki bukan sekadar teks, melainkan terdapat hikmah sosial, spiritual, bahkan kesehatan yang terkandung di dalamnya. Terdapat banyak hadis Rasulullah ﷺ yang menjelaskan tentang larangan ini. Kemudian para ulama juga memberikan penjelasan dengan analisis yang kontekstual.

Simbol Kekayaan dan Godaan Hedonisme

Sejak peradaban kuno, manusia selalu menempatkan emas sebagai aset yang bernilai tinggi. Ia tidak hanya berfungsi sebagai perhiasan untuk memperindah penampilan, tetapi juga menjadi lambang kekuasaan, stabilitas ekonomi, dan prestise sosial. Tidak mengherankan jika sejarah penuh dengan perebutan emas, baik melalui perdagangan, penaklukan, maupun eksplorasi.

Akan tetapi, pesona emas tidak berhenti pada nilai ekonominya semata. Ia juga sering menjadi pintu masuk bagi sifat sombong, kerakusan, dan gaya hidup berlebihan atau hedonis. Islam mengakui nilai emas sebagai harta, tetapi pada saat yang sama menegaskan agar manusia tidak terjebak dalam gemerlap dunia yang menipu.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Allah ﷻ berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran: 14).

Ayat ini menunjukkan bahwa emas memang termasuk bagian dari hiasan dunia yang menarik hati manusia. Namun, daya tarik tersebut sejatinya merupakan ujian untuk mengukur sejauh mana manusia mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan materi dan tuntunan spiritual.

Rasulullah ﷺ juga mengingatkan dalam sebuah hadis, “Dua ekor serigala lapar yang dilepaskan di tengah-tengah kumpulan kambing tidak lebih merusak dibandingkan dengan ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan bagi agamanya.” (HR. Tirmidzi).

Dengan demikian, meskipun emas menyimpan manfaat sebagai instrumen simpanan nilai, manusia harus berhati-hati agar tidak menjadikannya sebagai alat kesombongan atau sarana mengejar gaya hidup hedonis. Islam menuntun umatnya untuk memanfaatkan emas secara proporsional, menjadikannya sarana ibadah, dan menghindari jebakan cinta dunia yang berlebihan.

Larangan Menggunakan Emas

Beberapa hadis menegaskan keharaman emas bagi laki-laki. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Rasulullah ﷺ melarang laki-laki mengenakan cincin emas, kain sutra, dan berbagai simbol kemewahan lainnya. Larangan ini bertujuan menjaga kesederhanaan, menghindarkan dari sikap tasyabbuh (menyerupai kaum kafir), serta membatasi kesenjangan sosial akibat pamer kekayaan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Nabi ﷺ melarang kami memakai cincin emas, sutra, istibraq, dibaj, dan wadah dari perak. Beliau memerintahkan kami untuk menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, mendoakan orang bersin, menjawab salam, memenuhi undangan, menunaikan sumpah, dan menolong orang yang dizalimi.” (HR. al-Bukhari)

Hadis ini tidak hanya melarang, tetapi juga menekankan nilai pengganti dengan mengalihkan dari kemewahan menuju amal kebajikan sosial. Membangun hubungan sosial jauh lebih utama dari pada pamer kekayaan.

Kemudian Rasulullah ﷺ menjelaskan keharaman emas di akhirat kelak. “Barangsiapa dari umatku memakai emas, kemudian ia mati dalam keadaan masih memakainya, maka emas itu akan diharamkan baginya di akhirat.” (HR. Abu Dawud no. 4057, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani)

Hadis-hadis ini secara konsisten menunjukkan larangan emas bagi laki-laki, namun memberikan kelonggaran bagi perempuan. Perbedaan ini menunjukkan bahwa syariat Islam sangat memperhatikan peran, fitrah, dan kebutuhan masing-masing gender.

Meskipun Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebut “larangan emas bagi laki-laki”, ada ayat yang menekankan kesederhanaan dan bahaya bermegah-megahan. Salah satunya dalam surat Al-Hadid ayat 20, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Ayat ini selaras dengan larangan emas bagi laki-laki. Al-Quran mengingatkan bahaya kemewahan, kesombongan dan budaya pamer. Islam menolak simbol kemewahan yang hanya menumbuhkan kesombongan.

Antara Larangan dan Kelonggaran

Mayoritas ulama sepakat bahwa laki-laki haram memakai emas sebagai perhiasan, baik sedikit maupun banyak. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menyebutkan bahwa larangan tersebut bersifat mutlak karena emas merupakan simbol kemewahan yang berpotensi menumbuhkan sifat sombong dan melanggar prinsip kesederhanaan.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda, “Kedua benda ini (sutra dan emas) haram bagi laki-laki dari umatku, dan halal bagi perempuan mereka.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah). Hadis ini menjadi dasar bahwa syariat Islam menjaga keseimbangan sosial dengan membatasi bentuk perhiasan yang boleh untuk laki-laki dan perempuan.

Namun terdapat pendapat yang memberikan pengecualian. Sejumlah ulama memberikan kelonggaran dalam kondisi tertentu yang membawa maslahat. Imam Malik, misalnya, membolehkan hiasan pada pedang yang terbuat dari emas atau perak karena hal itu bukan untuk berhias diri, melainkan sebagai pelengkap fungsi senjata. Demikian pula Imam Syafi’i memberikan rukhsah (keringanan) bagi penggunaan emas untuk tujuan medis, seperti menambal gigi, dengan alasan darurat dan maslahat.

Pandangan ini sejalan dengan kaidah fiqh “kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang terlarang”. Dari sini terlihat bahwa hukum Islam senantiasa menyeimbangkan antara larangan tegas dan kelonggaran bijak, sehingga tujuan utama syariat, yakni menjaga kemaslahatan umat, tetap terjaga tanpa mengabaikan nilai-nilai moral dan spiritual. Islam membolehkan penggunaan emas, asalkan memiliki fungsi maslahat dan bukan untuk kesombongan.

Dengan demikian, meskipun syariat melarang pemakaian emas bagi laki-laki sebagai perhiasan, Islam tetap membuka ruang kelonggaran dalam hal-hal yang benar-benar membawa manfaat dan tidak bertentangan dengan tujuan utama syariat. Hal ini sekaligus menunjukkan keindahan hukum Islam yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga adaptif terhadap kebutuhan manusia sepanjang tidak melanggar prinsip pokok agama.

Hikmah Larangan Penggunaan Emas

Islam menetapkan larangan emas bagi laki-laki bukan tanpa alasan, melainkan dengan pertimbangan yang mendalam dari sisi akidah, akhlak, dan maslahat. Hikmah di balik larangan emas bagi laki-laki dapat dipahami dari berbagai sudut pandang.

Para ulama menegaskan bahwa salah satu hikmahnya adalah menghindarkan umat dari tasyabbuh atau penyerupaan dengan kaum jahiliyah yang menjadikan emas sebagai simbol kemewahan dan kebanggaan semu. Dengan larangan ini, Islam menjaga identitas umatnya agar berbeda dari tradisi musyrik dan tetap berpegang pada nilai ketauhidan. Di samping itu, syariat mendorong laki-laki untuk memelihara kesederhanaan, menampilkan wibawa melalui tanggung jawab dan amanah, bukan lewat perhiasan yang menonjolkan kemewahan.

Dari sisi sosial, pembatasan ini menghindarkan terjadinya kesenjangan yang semakin kentara akibat perbedaan gaya hidup. Sementara dari sisi spiritual, larangan emas melatih seorang Muslim untuk tidak terjebak dalam hedonisme. Melainkan lebih menekankan kesederhanaan yang merupakan ciri khas umat yang Allah ﷻ ridhai.

Menariknya, penelitian kontemporer juga menemukan alasan ilmiah, partikel emas dapat meresap ke dalam jaringan tubuh laki-laki dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan, termasuk risiko pada sistem saraf. Walaupun penelitian ini masih membutuhkan kajian lebih lanjut, hal ini dapat dilihat sebagai bentuk hikmah yang selaras dengan prinsip syariat Islam yang senantiasa menolak mudarat dan mendatangkan maslahat. Fakta ini juga semakin menguatkan bahwa syariat Islam selaras dengan ilmu pengetahuan.

Relevansi di Era Modern

Hari ini, banyak laki-laki memakai emas bukan karena kebutuhan, tetapi demi gaya hidup. Penggunaan emas sering kali menjadi ajang pengakuan sosial. Di beberapa daerah, tradisi tukar cincin tunangan juga membuat laki-laki ikut memakai cincin emas.

Jika dilihat dari kacamata hadis, tradisi semacam ini rawan menjerumuskan pada sikap riya’ (pamer) dan kesombongan. Oleh karena itu, meski zaman berubah, larangan emas tetap relevan. Bahkan, ia bisa menjadi penyeimbang di tengah budaya materialistik yang mengukur martabat dari harta.

Generasi Muslim masa kini dituntut untuk bijak dalam menyeimbangkan gaya hidup modern dengan ajaran agama. Mengenakan emas mungkin tampak sepele, tetapi dari situlah kita diuji: apakah kita memilih kesederhanaan yang dianjurkan Rasulullah ﷺ, atau larut dalam budaya hedonistik?

Sebagai alternatif, Islam memperbolehkan laki-laki mengenakan perak atau logam lain yang tidak bertentangan dengan syariat. Dengan begitu, identitas Muslim tetap terjaga tanpa harus kehilangan ekspresi diri.

Bagi laki-laki Muslim, meninggalkan emas bukan sekadar ketaatan pada teks, melainkan bentuk kepatuhan pada visi Islam yang ingin membentuk pribadi rendah hati, jauh dari riya’, dan fokus pada tanggung jawab sosial. Dengan memahami dalil dan hikmahnya, kita tidak lagi melihat larangan emas sebagai beban, melainkan sebagai penjaga yang menuntun pada kehidupan yang lebih bermakna.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement