Khazanah
Beranda » Berita » Dokter Jiwa: Saat Penyakit Bukan di Darah, tapi di Cahaya Diri

Dokter Jiwa: Saat Penyakit Bukan di Darah, tapi di Cahaya Diri

Dokter jiwa menyembuhkan cahaya batin dalam ruang tenang dengan cahaya lembut.
Seorang musafir batin duduk di ruangan tenang, cahaya lembut menyorot wajahnya, simbol penyembuhan jiwa dari luka tak terlihat.

Surau.co. Dokter jiwa hadir bukan sekadar untuk memeriksa denyut nadi atau tekanan darah. Ia menengok pada ruang yang tak tampak, pada cahaya diri yang kadang redup karena luka, kesedihan, atau keraguan. Dalam Kitāb al-Muʿtabar fī al-Ḥikmah, Abū al-Barakāt al-Baghdādī menegaskan bahwa kesehatan batin adalah fondasi kehidupan:

“وَالصِّحَّةُ الحَقِيقِيَّةُ فِي النُّورِ الَّذِي يَسْكُنُ فِي القَلْبِ”
“Kesehatan sejati berada dalam cahaya yang bersemayam di hati.”

Fenomena sehari-hari, seperti senyum anak yang tiba-tiba mewarnai pagi atau tawa tetangga yang menembus dinding, adalah tanda-tanda cahaya hati yang sedang menari. Membaca alam dan interaksi manusia dengan penuh kesadaran adalah langkah awal menjadi dokter jiwa bagi diri sendiri.

Mengobati Luka Tanpa Luka

Setiap orang membawa bayangan yang tak terlihat, luka yang tak berdarah, dan beban yang tak kasat mata. Abū al-Barakāt menulis:

“الجَروحُ الَّتِي لا تُرَى بِالعَيْنِ أَعْظَمُ مِنَ الَّتِي تَظْهَرُ”
“Luka yang tak terlihat oleh mata sering lebih besar daripada yang tampak.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kehidupan modern sering menuntut kecepatan dan ketepatan, sehingga kita melupakan diri sendiri. Melihat burung menari di udara, daun yang jatuh, atau gerak kecil orang di sekitar, memberi ruang untuk menenangkan hati. Allah pun menegaskan pentingnya merenung:

“وَفِي أَنفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ”
“Dan pada diri kalian sendiri, tidakkah kalian memperhatikan?” (QS. Adh-Dhariyat: 21)

Merenung bukan sekadar diam, tetapi menyadari dan memberi perhatian pada cahaya hati yang tersisa di tengah rutinitas.

Substansi Jiwa: Bukan Sekadar Tubuh

Menurut Abū al-Barakāt, tubuh hanyalah wadah, sedangkan jiwa adalah inti:

“وَالجَسَدُ وَعَاءِ، وَالرُّوحُ نُورٌ مُسْتَقِرٌّ”
“Tubuh adalah wadah, dan jiwa adalah cahaya yang menetap.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Fenomena sehari-hari mengingatkan kita bahwa tindakan kecil—menolong teman, tersenyum kepada orang asing, menanam pohon—adalah cara merawat cahaya dalam diri. Tubuh bergerak, tapi jiwa yang menyalakan niat dan makna di balik setiap gerak. Refleksi ini membuat manusia sadar bahwa dokter jiwa sejati adalah hati sendiri yang belajar menyehatkan cahaya dalam diri.

Filsafat Hati: Membaca Tanpa Kata

Abū al-Barakāt menekankan pentingnya membedakan antara ilmu rasional dan kebijaksanaan hati:

“العِلْمُ يُقَرَّبُ الفَهْمَ، وَالقَلْبُ يَجْلِي الحَقِيقَةَ”
“Ilmu mendekatkan pemahaman, dan hati menyingkap kebenaran.”

Fenomena sederhana seperti hujan yang menetes di jendela, atau burung yang menukik ke tanah mencari makanan, menjadi bacaan filsafat hati. Dengan memperhatikan alam dan kehidupan sekitar, manusia belajar menafsirkan tanda-tanda yang tak tampak secara fisik, namun nyata di cahaya batin. Hadis menguatkan prinsip ini:

“إنما الأعمال بالنيات”
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Niat menjadi penuntun bagi dokter jiwa, membedakan tindakan yang sekadar rutinitas dan yang menumbuhkan cahaya dalam diri.

Penyembuhan adalah Proses Batin

Abū al-Barakāt menegaskan bahwa penyembuhan bukan instan, melainkan proses batin:

“العِلَاجُ لَا يُوجَدُ بِالسُّرْعَةِ، وَلَكِنَّ التَّدْبِيرَ وَالانْتِبَاهَ يُنِيرُ القَلْبَ”
“Penyembuhan tidak ditemukan dalam kecepatan, tetapi dengan perencanaan dan perhatian hati.”

Dalam keseharian, rutinitas sederhana seperti menulis jurnal, berjalan di taman, atau berdoa menjadi terapi bagi jiwa. Fenomena sehari-hari mengajarkan kita kesabaran, kesadaran, dan perhatian pada diri sendiri. Seiring waktu, cahaya hati kembali menyala, dan dokter jiwa dalam diri kita menegaskan bahwa kesehatan batin sejalan dengan kehidupan yang bermakna.

Maka, menjadi dokter jiwa bukan sekadar teori, tetapi praktik reflektif yang mengajarkan kesadaran: memperhatikan diri, membaca alam, merawat hati, dan menyalakan cahaya yang sempat redup.

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement