SURAU.CO-Khubaib ibn Adi adalah sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari kabilah Aus. Khubaib ibn Adi ibn Malik memeluk Islam sebelum Rasulullah saw. tiba di Madinah. Setelah Rasulullah saw. hijrah dan menetap. Khubaib selalu menghadiri majelis ilmu yang Rasulullah saw. adakan untuk para sahabatnya. Dalam tempat itu ia merasakan ketenangan, kedamaian, dan mendapatkan pencerahan yang menerangi hatinya.
Menjadi kebanggaaan suku Aus
Sebagaimana sahabat Anshar dari suku Khazraj yang memiliki beberapa tokoh kebanggaan, kabilah Aus juga memiliki beberapa sosok panutan yang kerap mereka banggakan, seperti Hanzalah (yang dimandikan malaikat), Khuzaimah ibn Tsabit (pemilik dua kesaksian), Sa‘id ibn Mu‘az (yang menjadi negosiator dengan Bani Quraizhah dan menghukum mereka dengan hukum Allah dari atas tujuh lapis langit, serta yang kematiannya mengguncangkan ‘Arsy), dan Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah. Khubaib ibn Adi juga menjadi salah seorang sahabat Anshar dari suku Aus yang kaumnya banggakan.
Menjadi utusan Rasulullah untuk Bani Salim
Pada tahun keempat Hijriah, bulan Shafar, bintang Khubaib bersinar terang. Setelah Perang Uhud, datang utusan dari berbagai pelosok jazirah menghadap Rasulullah saw. menyatakan keislaman mereka. Pada suatu hari, utusan dari Bani Salim datang menemui Rasulullah saw. dan memintanya mengutus beberapa kaum muslim untuk mengajari mereka tentang Islam. Sungguh mengherankan, tiba-tiba mereka datang menyatakan ketertarikannya pada Islam padahal sebelumnya sangat memusuhinya. Rasulullah saw. gembira menyambut kedatangan mereka.
Beliau mengutus enam sahabatnya untuk mengajari mereka tentang Islam. Keenam sahabat itu adalah Martsad ibn Abu Martsad al-Ghanawi (sebagai pemimpin utusan), Khalid al-Bukair, Ashim ibn Tsabit ibn Abu al-Aqlah, Khubaib ibn Adi, Zaid ibn al-Datsinah, dan Abdullah ibn Thariq.
Menghadapi kepungan Bani Salim
Menurut yang terceritakan, bahwa di wilayah suku Hudzail (pinggiran Hijaz) ada sebuah mata air yang disebut al-Raji‘. Ketika rombongan sahabat Rasulullah tiba di mata air tersebut, tiba-tiba delegasi Bani Salim mengepung dan menyerang mereka.
Para sahabat meminta tolong kepada suku Hudzail, tetapi permintaan mereka tidak digubris. Maka, dengan terpaksa mereka menghunus senjata masing-masing untuk membela diri. Salah seorang pengepung berkata, “Kami tidak bermaksud membunuh kalian, kami hanya akan menjadikan kalian sebagai tawanan yang nantinya akan kami serahkan kepada penduduk Makkah, lalu kami mendapat imbalan.”
Namun, Martsad sebagai kepala rombongan, Ashim ibn Tsabit, dan Khalid ibn al-Bukair menjawab, “Demi Allah, kami tidak menerima perjanjian dan ikatan apa pun dari kalian, karena kalian adalah orang musyrik.”
Khubaib ibn Adi dan dua sahabat tertawan
Suasana semakin panas hingga akhirnya pertarungan tak terelakkan. Dalam pertarungan itu tiga orang sahabat gugur sebagai syahid. Tiga orang sahabat lainnya, yaitu Abdullah ibn Thariq, Khubaib ibn Adi, dan Zaid ibn al-Datsinah, memilih bertahan hidup dan menyerahkan diri sehingga mereka mengikatnya sebagai tawanan. Mereka hendak menjual tiga tawanan itu ke Makkah.
Ketika melewati daerah Zahran, Abdullah ibn Thariq berhasil melepaskan tali pengikat dan langsung mencabut pedang untuk melawan mereka. Sayang, gerakannya terlambat. Rombongan yang membawanya melemparinya dengan batu hingga ia syahid.
Balas dendam pada Khubaib ibn Adi
Rombongan Bani Hudzail berhasil membawa Khubaib ibn Adi dan Zaid ibn al-Datsinah ke Makkah. Mereka menjual keduanya kepada penduduk Makkah. Zaid dibeli oleh Shafwan ibn Umayyah untuk ia bunuh sebagai balas dendam atas kematian ayahnya, Umayyah ibn Khalaf, dalam Perang Badar. Sedangkan Hujair ibn Abu Ihab al-Tamimi membeli Khubaib untuk ia serahkan kepada Uqbah ibn al-Harits ibn Amir. Hal ini juga sebagai balas dendam atas kematian ayahnya, al-Harits, yang tewas oleh Khubaib dalam Perang Badar.
Ashim mengalami situasi berbeda dengan para sahabatnya. Allah telah berjanji bahwa ia tidak akan tersentuh oleh orang musyrik, dan ia pun tidak akan menyentuh mereka karena mereka najis. Maka, ketika mereka mendekati Ashim, Allah mengutus balatentara-Nya berupa sekelompok lebah:
“…Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia.” (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 31)
Pasukan lebah itu menutupi tubuhnya sehingga mereka tidak dapat menyentuhnya. Melihat kejadian aneh itu, mereka berkata, “Sebaiknya kita usir lebah-lebah itu, baru kemudian kita tangkap dia.” Namun, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka niatkan. Tiba-tiba datang air bah dari arah lembah yang menghanyutkan tubuh Ashim ke tempat yang tidak ada seorang pun mengetahui kecuali Allah.
Ketika Umar ibn al-Khattab mendengar berita tersebut, ia takjub akan cara Allah melindungi Ashim. Umar r.a. berkata, “Aneh sekali cara Allah melindungi hamba-Nya yang beriman.” Ashim sendiri memang telah bernazar bahwa ia tidak akan tersentuh oleh seorang musyrik pun, dan tidak pula menyentuh mereka selamanya. Maka, ketika mati pun Allah menjaganya sebagaimana Allah menjaganya semasa hidup.
Khubaib ibn Adi shalat dua rakaat sebelum eksekusi
Mereka memenjarakan Khubaib dalam rumah Uqbah ibn al-Harits. Ketika hendak membunuhnya, mereka membawanya ke Tan‘im. Khubaib sempat mendirikan shalat dua rakaat. Setelah itu ia melantunkan syair yang menggambarkan keteguhan imannya dalam menghadapi kematian.
Khubaib terkenal sebagai orang pertama yang menunaikan shalat dua rakaat sebelum mereka membunuhnya. Setelah berdoa agar Allah membalas kaum musyrik, ia gugur sebagai syahid.
Setelah wafat, jasad Khubaib tidak dapat tertemukan. Riwayat menyebutkan seolah bumi menelannya. Sejak itu, para sahabat menyebutnya dengan gelar bal‘ al-ardh(orang yang ditelan bumi).(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
