Ibadah
Beranda » Berita » Konsep Dasar Thaharah dalam Fiqih Syafi’i Menurut Kitab Safinatun Najah

Konsep Dasar Thaharah dalam Fiqih Syafi’i Menurut Kitab Safinatun Najah

Santri berwudhu sebagai simbol thaharah dalam fiqih Safinatun Najah
Menggambarkan kesucian lahir dan batin melalui wudhu sebagai simbol thaharah.

Dalam tradisi pesantren di Indonesia, kitab Safinatun Najah menjadi salah satu bacaan awal bagi santri ketika mempelajari fiqih mazhab Syafi’i. Kitab kecil ini, walau tipis, memuat fondasi hukum ibadah yang sangat penting. Salah satunya adalah bab thaharah atau bersuci.

Thaharah bukan sekadar urusan kebersihan fisik, melainkan syarat sah ibadah yang menghubungkan seorang hamba dengan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيْمَانِ
“Kesucian adalah separuh dari iman.” (HR. Muslim)

Kitab Safinatun Najah menjelaskan konsep dasar thaharah dengan bahasa yang sederhana. Namun, di balik kesederhanaan itu tersimpan kedalaman makna yang membentuk pondasi ibadah seorang muslim.

Air dan Statusnya dalam Thaharah

Dalam fiqih Syafi’i, air menjadi sarana utama bersuci. Safinatun Najah membagi air ke dalam beberapa kategori, di antaranya:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

  1. Air suci mensucikan: air yang masih murni dan dapat dipakai bersuci, seperti air hujan, laut, atau sumur.
  2. Air suci tidak mensucikan: air yang berubah karena tercampur sesuatu suci, seperti teh atau kopi.
  3. Air najis: air yang bercampur najis sehingga tidak bisa dipakai untuk thaharah.

Pembagian ini bukan sekadar teknis, melainkan penegasan bahwa syariat sangat memperhatikan kesucian sumber ibadah. Seorang muslim dituntut teliti membedakan air yang sah dipakai agar ibadahnya diterima.

Air dalam Al-Qur’an sering disebut sebagai sumber kehidupan. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya: 30)

Maka, thaharah dengan air bukan hanya membersihkan hadas dan najis, tetapi juga menghidupkan hati. Ketika seorang muslim berwudhu, sejatinya ia sedang menyegarkan jiwa dan mempersiapkan diri untuk menghadap Allah.

Najis dan Cara Menyucikannya

Safinatun Najah menjelaskan tiga jenis najis:

Kitab Taisirul Khallaq

  1. Najis ringan (mukhaffafah), seperti kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan selain susu.
  2. Najis sedang (mutawassithah), seperti darah, nanah, atau muntah.
  3. Najis berat (mughallazhah), yaitu najis anjing dan babi beserta turunannya.

Setiap jenis najis memiliki cara menyucikan berbeda. Misalnya, najis mughallazhah disucikan dengan tujuh kali basuhan, salah satunya memakai tanah. Hal ini menunjukkan betapa fiqih Syafi’i penuh dengan detail dan kedisiplinan, agar ibadah benar-benar terbebas dari keraguan.

Wudhu: Rukun Bersuci Sehari-Hari

Menurut Safinatun Najah, rukun wudhu ada enam:

  1. Niat
  2. Membasuh wajah
  3. Membasuh kedua tangan hingga siku
  4. Mengusap sebagian kepala
  5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki
  6. Tertib

Syarat wudhu meliputi penggunaan air suci, hilangnya najis di tubuh, dan masuk waktu shalat bagi orang yang junub atau hadas besar.

Wudhu tidak sekadar aktivitas fisik. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ، خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيئَةٍ نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ…
“Apabila seorang hamba berwudhu lalu membasuh wajahnya, maka setiap dosa yang dilakukan kedua matanya akan keluar bersama air…” (HR. Muslim)

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Hadis ini menegaskan bahwa wudhu adalah proses pembersihan lahir dan batin. Setiap basuhan menghapus dosa, setiap gerakan menjadi pintu menuju kedekatan dengan Allah.

Tayammum: Suci dalam Keterbatasan

Safinatun Najah juga memuat tata cara tayammum sebagai pengganti wudhu atau mandi wajib ketika air tidak tersedia. Cukup dengan debu suci, seorang muslim tetap dapat beribadah.

Tayammum mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan, bukan menyulitkan. Allah berfirman:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“Jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik.” (QS. An-Nisa: 43)

Di sinilah terlihat betapa syariat memadukan disiplin dan kasih sayang. Tidak ada alasan bagi seorang muslim meninggalkan shalat, karena jalan kemudahan selalu tersedia.

Mandi Wajib: Penyucian Total

Selain wudhu, Safinatun Najah membahas mandi wajib. Penyebabnya antara lain:

  • Bertemunya dua kemaluan meski tanpa keluarnya mani
  • Keluar mani, baik karena mimpi atau sebab lain
  • Haid dan nifas yang telah selesai

Rukun mandi wajib ada dua: niat dan meratakan air ke seluruh tubuh. Praktik sederhana ini memiliki makna mendalam: membersihkan diri secara total secara lahir dan batin, agar siap menghadap Allah.

Kesucian sebagai Jalan Hati

Lebih dari sekadar syarat ibadah, thaharah adalah simbol pembersihan diri. Ibnu Athaillah dalam al-Hikam berkata:

كَيْفَ يُشْرِقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِي مِرْآَتِهِ
“Bagaimana mungkin hati dapat bercahaya, sementara gambaran dunia masih tercetak di dalam cerminnya?”

Thaharah sejati adalah membersihkan hati dari noda duniawi, sebagaimana tubuh dibersihkan dari najis dan hadas. Dengan begitu, ibadah tidak hanya sah secara fiqih, tetapi juga hidup secara spiritual.

Kesucian yang Menghidupkan

Kitab Safinatun Najah mengajarkan thaharah dengan sederhana, namun penuh makna. Dari pembahasan air, najis, wudhu, tayammum, hingga mandi wajib, semua mengingatkan kita bahwa ibadah dimulai dari kesucian.

Kesucian lahiriah membuka jalan menuju kesucian batiniah. Sebab, hanya hati yang bersih yang mampu merasakan kedekatan dengan Allah. Mari kita jaga thaharah, bukan hanya sebagai kewajiban fiqih, tetapi sebagai jalan menuju kehidupan yang lebih jernih, tenang, dan bermakna.

Gerwin Satria N

Pegiat literasi di Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement