Surau.co. Tubuh adalah tenda, jiwa adalah musafir yang menolak berhenti. Manusia hadir di dunia bukan sekadar untuk menempati ruang, tetapi untuk bergerak, merasakan, dan menyelami rahasia kehidupan. Dari Kitāb al-Muʿtabar fī al-Ḥikmah, Abū al-Barakāt al-Baghdādī menegaskan bahwa hakikat manusia adalah perjalanan:
“وَالنَّفْسُ رَحَّالةٌ فِي دَارِ الْحَيَاةِ، وَالجَسَدُ مَسْكَنٌ لَهَا”
“Jiwa adalah musafir di rumah kehidupan, dan tubuh adalah tempat bernaungnya.”
Fenomena ini muncul dalam kehidupan sehari-hari. Setiap langkah kaki yang menapak di tanah, setiap napas yang dihirup, dan setiap tetes keringat yang jatuh menjadi bagian dari perjalanan panjang yang membawa manusia lebih dekat pada pemahaman hakikat diri dan alam semesta.
Langkah Kecil, Makna Besar
Tubuh yang bergerak melalui kehidupan membawa jiwa menapaki pengalaman. Abū al-Barakāt menulis:
“وَكُلُّ حَرَكَةٍ تُحْمِلُ نُورَ الْفِكْرِ وَالْحِكْمَةِ”
“Setiap gerak membawa cahaya pikiran dan kebijaksanaan.”
Dalam aktivitas sehari-hari, seperti menyapu halaman, menulis catatan, atau menolong tetangga, manusia mengekspresikan perjalanan jiwa. Fenomena sederhana ini mengajarkan bahwa setiap langkah, walau kecil, memiliki makna mendalam. Ia adalah kesempatan untuk memahami ritme kehidupan dan menyelaraskan diri dengan hukum Ilahi.
Kesadaran ini membuat manusia tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga secara spiritual, menjadikan setiap tindakan sebagai medium refleksi dan pertumbuhan batin.
Akal dan Hati Menjadi Kompas Perjalanan
Abū al-Barakāt menegaskan bahwa akal dan hati menjadi panduan dalam perjalanan hidup:
“وَالْعَقْلُ وَالقَلْبُ يَدْرِكَانِ طَرِيقَ النَّفْسِ وَتَوَازُنَها”
“Akal dan hati memahami jalan jiwa dan keseimbangannya.”
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan pada pilihan: mengikuti hawa nafsu atau menyelaraskan diri dengan hukum alam. Kesadaran akal dan hati memungkinkan manusia menempuh langkah yang selaras dengan ritme semesta. Misalnya, beristirahat saat lelah, belajar saat semangat, dan membantu sesama saat kemampuan tersedia adalah bentuk keharmonisan tubuh dan jiwa yang bergerak selaras dengan alam.
Fenomena sederhana seperti hujan yang turun atau embun di pagi hari menjadi pengingat bahwa kehidupan adalah perjalanan yang membutuhkan kesadaran penuh dalam setiap langkah.
Jiwa: Musafir yang Menolak Berhenti
Jiwa manusia tidak pernah berhenti mencari makna. Abū al-Barakāt menulis:
“وَالْنَفْسُ سَائِرَةٌ فِي الطَّرِيقِ تَطْلُبُ الْحِكْمَةَ وَالضَّوْءَ”
“Jiwa berjalan di jalan, mencari kebijaksanaan dan cahaya.”
Setiap tindakan reflektif—menyendiri di tepi sungai, merenung di bawah pohon, atau menulis jurnal harian—adalah manifestasi dari jiwa yang terus bergerak. Fenomena sederhana seperti angin yang berhembus atau daun yang jatuh adalah simbol perjalanan tak berkesudahan, mengingatkan manusia bahwa hidup adalah rangkaian pengalaman yang harus disadari dan dinikmati.
Kesadaran ini menumbuhkan rasa syukur dan kepedulian. Eksistensi diri yang menyadari pergerakan tubuh dan lingkungan mampu menghadapi tantangan dengan ketenangan dan kebijaksanaan.
Amalan Sehari-hari sebagai Jalan Spiritual
Abū al-Barakāt menekankan bahwa setiap tindakan sehari-hari adalah manifestasi dari perjalanan jiwa:
“اعْمَلُوا بِالْحِكْمَةِ لِتَرَوْا نُورَ اللهِ فِي كُلِّ فِعْلٍ”
“Amalkan kebijaksanaan agar kalian melihat cahaya Allah dalam setiap tindakan.”
Melalui aktivitas sederhana—menyapu, menulis, menanam, atau membantu sesama—manusia mengekspresikan pergerakan jiwa. Fenomena sehari-hari, seperti aliran sungai atau cahaya matahari yang menembus jendela, adalah tanda-tanda bahwa perjalanan manusia selalu terhubung dengan semesta. Kesadaran ini membuat setiap langkah menjadi doa yang bergerak, menyeimbangkan tubuh dan jiwa dalam harmoni.
Refleksi Akhir: Tubuh, Jiwa, dan Langit
Abū al-Barakāt menegaskan bahwa tubuh adalah tenda, sementara hakikat diri adalah musafir yang menolak berhenti:
“فِي كُلِّ جَسَدٍ نُورٌ، وَفِي كُلِّ نَفْسٍ رِحْلَةٌ لَا تَنْتَهِي”
“Dalam setiap tubuh ada cahaya, dan dalam setiap jiwa perjalanan yang tak berakhir.”
Kesadaran ini mengajarkan manusia untuk hidup dengan penuh perhatian, menghargai setiap detik, dan memahami bahwa setiap gerak tubuh adalah kesempatan untuk refleksi spiritual. Perjalanan manusia bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi simfoni jiwa yang terus bergerak, menjadikan setiap tindakan sebagai medium pertumbuhan, introspeksi, dan doa yang mengalir.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
