Surau.co. Jiwa yang menyala adalah burung yang ingin bebas dari sangkar tubuh. Dari Kitāb al-Muʿtabar fī al-Ḥikmah, Abū al-Barakāt al-Baghdādī mengingatkan bahwa tubuh adalah wadah sementara, sedangkan jiwa adalah cahaya yang ingin kembali ke asalnya:
“وَالنَّفْسُ نُورٌ يَرْتَقِي فَوْقَ الجَسَدِ”
“Jiwa adalah cahaya yang menanjak di atas tubuh.”
Fenomena ini bukan sekadar konsep metafisik, tetapi pengalaman sehari-hari. Setiap napas, setiap gerak tangan, dan setiap tatapan mata adalah interaksi antara jiwa yang menyala dan tubuh yang menahan. Kesadaran akan hal ini membuka ruang bagi manusia untuk hidup dengan niat yang tulus dan hati yang tenang.
Tubuh sebagai Sangkar dan Jiwa sebagai Penjelajah
Setiap orang merasakan tubuh sebagai tempat tinggal yang terbatas. Namun, jiwa, seperti burung yang ingin bebas, terus menatap langit. Abū al-Barakāt menulis:
“وَالْجَسَدُ قَفَصٌ وَالنَّفْسُ طَيْرٌ يَطِيرُ”
“Tubuh adalah sangkar, dan jiwa adalah burung yang terbang.”
Dalam kehidupan sehari-hari, momen sederhana seperti menatap matahari terbit, mendengar angin di pepohonan, atau tertawa dengan anak-anak, menjadi pengingat bahwa jiwa selalu mencari kebebasan. Tubuh menahan, tetapi jiwa menemukan ruang untuk menyala, bergerak, dan melampaui batas.
Kesadaran ini mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk menghubungkan diri dengan cahaya jiwa yang ingin bebas. Saat menyadari hal ini, kehidupan terasa lebih ringan dan penuh makna.
Akal dan Hati: Kompas Jiwa yang Menyala
Abū al-Barakāt menegaskan bahwa akal dan hati menjadi kompas bagi jiwa untuk menemukan kebebasannya:
“وَالْعَقْلُ وَالقَلْبُ دَلِيلَانِ لِلنَّفْسِ عَلَى الطُّرُقِ”
“Akal dan hati adalah petunjuk bagi jiwa untuk menapaki jalan.”
Dalam aktivitas sehari-hari, akal menuntun kita mengenali sebab-akibat, sementara hati merasakan arah yang lebih dalam. Bersama, keduanya menuntun jiwa agar menyala dan bergerak menuju pemahaman yang lebih tinggi. Misalnya, ketika seseorang menolong tetangga atau menulis kata-kata yang menenangkan, itu adalah ekspresi jiwa yang menyala melalui bentuk fisik tubuh.
Praktik sederhana ini memungkinkan manusia merasakan keterhubungan antara tubuh dan jiwa. Jiwa tetap bebas meski berada dalam sangkar, dan tubuh menjadi medium untuk mengekspresikan cahaya tersebut.
Amalan Sehari-hari: Menemukan Ruang Kebebasan
Abū al-Barakāt mengingatkan bahwa amalan sehari-hari adalah sarana untuk menyalakan jiwa:
“وَاعْمَلُوا بِالعِلْمِ لِتَرَوْا نُورَ اللهِ فِي أَفْعَالِكُمْ”
“Amalkan ilmu agar kalian melihat cahaya Allah dalam perbuatan kalian.”
Setiap tindakan—memasak, menulis, bercakap dengan anak, menanam pohon, atau sekadar merenungi alam—adalah cara menghadirkan jiwa yang menyala. Kesadaran ini menunjukkan bahwa tubuh yang terbatas tidak menghalangi jiwa untuk menemukan kebebasan batin. Jiwa yang menyala hadir dalam momen sederhana, membimbing manusia untuk menjalani hidup dengan penuh kepekaan dan niat yang tulus.
Fenomena sehari-hari seperti daun yang jatuh, aliran sungai, atau cahaya matahari yang menembus jendela, menjadi metafora bagi jiwa yang terus menapak jalan menuju kebebasan. Semua bentuk fisik adalah medium bagi jiwa untuk mengekspresikan dirinya, menyala, dan menemukan rumah asalnya.
Tubuh dan Jiwa: Harmoni yang Membawa Kebebasan
Abū al-Barakāt menekankan bahwa tubuh dan jiwa bekerja sama untuk mengekspresikan kebenaran:
“وَالْجَسَدُ وَالنَّفْسُ يَتَكَامَلَانِ فِي المَعْرِفَةِ”
“Tubuh dan jiwa saling melengkapi dalam pengetahuan.”
Dalam kehidupan nyata, tubuh memungkinkan jiwa bergerak dan bertindak, sementara jiwa memberi makna pada setiap gerak dan interaksi. Harmoni ini menjadikan setiap tindakan manusia refleksi dari cahaya yang menyala, sehingga kehidupan sehari-hari dapat dihayati sebagai pengalaman spiritual, bukan sekadar rutinitas.
Menyadari hubungan ini memberi manusia kebebasan batin. Jiwa tetap menyala meski terbatas oleh tubuh, dan tubuh menjadi sarana bagi ekspresi cahaya jiwa yang menembus ruang dan waktu.
Refleksi Akhir: Jiwa yang Menyala dan Rumah Asalnya
Abū al-Barakāt mengajarkan bahwa jiwa yang menyala adalah burung yang selalu merindu kebebasan. Tubuh hanyalah sarana, dan setiap gerak, napas, atau tindakan adalah kesempatan untuk mengekspresikan cahaya batin:
“فِي كُلِّ شَيْءٍ نُورٌ يَنْتَظِرُ مَنْ يَتَفَكَّرُ”
“Dalam segala sesuatu terdapat cahaya yang menunggu siapa yang merenungkan.”
Kesadaran ini mengubah setiap pengalaman sehari-hari menjadi pelajaran hidup. Jiwa yang menyala mengajarkan kita untuk hidup dengan penuh perhatian, niat tulus, dan kebebasan batin. Tubuh tidak menjadi penghalang, melainkan medium bagi cahaya yang menuntun manusia kembali pada asalnya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
