Surau.co. Metafisika sering terdengar abstrak, tetapi hakikatnya hadir dalam setiap langkah manusia, dalam detik yang kita kira sepele, dan dalam bayangan yang kita kira jauh dari cahaya. Dari Kitāb al-Muʿtabar fī al-Ḥikmah, Abū al-Barakāt al-Baghdādī mengingatkan bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar akumulasi fakta, tetapi kesadaran yang menyatukan eksistensi manusia dengan realitas hakiki:
“وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ يَكُونُ فِي حَقِيقَتِهِ نُورًا وَعَقْلًا”
“Sesungguhnya segala sesuatu pada hakikatnya adalah cahaya dan akal.”
Kutipan ini menegaskan bahwa metafisika bukan dunia yang terpisah, melainkan hadir dalam kesadaran kita sehari-hari. Saat kita melihat bayangan, ia bukan entitas terpisah; ia adalah cermin yang merefleksikan cahaya yang sama yang menembus kita. Bayangan dan cahaya—seperti materi dan roh—tidak berjarak satu sama lain, hanya persepsi manusia yang membatasi pemahaman ini.
Bayangan dan Cahaya: Fenomena Sehari-hari yang Memanggil Refleksi
Saat pagi tiba dan sinar matahari menembus jendela, bayangan kursi di ruang tamu tampak bergerak seiring cahaya yang masuk. Fenomena sederhana ini mencerminkan prinsip metafisika yang dijelaskan Abū al-Barakāt:
“وَمَا الظِّلُّ إِلَّا وَمَا يُضِيءُهُ النُّورُ”
“Bayangan tidak ada kecuali karena cahaya yang menyingkapnya.”
Banyak manusia bergerak seperti bayangan—mengira diri terpisah dari sumber kebenaran dan cahaya. Namun setiap tindakan, doa, dan niat tulus adalah cahaya yang menyingkap bayangan batin. Menyadari hal ini adalah langkah pertama menuju kesadaran metafisik: memahami bahwa segala sesuatu yang tampak berbeda pada hakikatnya bersumber dari satu realitas yang sama.
Fenomena sehari-hari seperti anak yang tersenyum tanpa alasan, tetangga yang menolong tanpa pamrih, atau dedaunan yang jatuh mengikuti angin, semua adalah pengingat bahwa realitas yang lebih luas bekerja dalam pola yang kita sebut kebetulan. Menyadari pola ini adalah praktik metafisika yang paling sederhana dan paling mengakar.
Pengetahuan dan Akal: Jalan Menuju Kesatuan
Abū al-Barakāt menekankan pentingnya akal dalam memahami hakikat realitas. Ia menulis:
“وَالْعَقْلُ نُورٌ يَهْدِي إِلَى مَعْرِفَةِ الحَقِيقَةِ”
“Akal adalah cahaya yang menuntun pada pengenalan kebenaran.”
Fenomena sehari-hari, seperti mendengar nasihat orang tua atau merenungi perubahan musim, bukan sekadar rutinitas; ia adalah ladang pengetahuan metafisik. Setiap pengalaman dapat menjadi guru jika kita menggunakan akal untuk memahami pesan yang terselip. Dalam dunia modern yang sibuk, menyadari kehadiran akal sebagai cahaya yang menuntun adalah tindakan revolusioner—tindakan untuk berhenti sejenak dan merenungi eksistensi kita sendiri.
Contohnya, saat melihat hujan pertama setelah kemarau panjang, kita bisa merasa seolah semesta memberi pesan tentang kesabaran dan keberlanjutan hidup. Akal menghubungkan fenomena ini dengan makna yang lebih dalam, sehingga kita tidak hanya mengamati, tetapi juga memahami hakikat.
Jiwa dan Materi: Harmoni yang Tak Terpisahkan
Dalam Kitāb al-Muʿtabar fī al-Ḥikmah, Abū al-Barakāt menegaskan bahwa jiwa dan materi tidaklah bertentangan, melainkan harmonis:
“فَإِنَّ النَّفْسَ وَالجَسَدَ كَالوَاحِدِ يَتَكَامَلَانِ فِي الوُجُودِ”
“Sesungguhnya jiwa dan tubuh saling melengkapi dalam eksistensi.”
Banyak orang merasa terjebak dalam dunia materi, merasa kehilangan spiritualitas atau terasing dari kesadaran batin. Namun, metafisika mengajarkan bahwa materi bukan penghalang, melainkan medium untuk mengaktualisasikan jiwa. Membersihkan rumah, merawat tanaman, menolong tetangga—semua adalah praktik metafisika nyata, cara menghadirkan harmoni antara tubuh dan jiwa.
Melalui praktik sehari-hari ini, manusia belajar bahwa jiwa tidak hanya ada dalam doa atau meditasi, tetapi juga dalam aksi dan hubungan dengan orang lain. Jiwa yang aktif dan materi yang dihayati bersama membentuk kesadaran yang utuh.
Tindakan dan Kesadaran: Menghidupkan Cahaya Setiap Hari
Hidup bukan sekadar teori, tetapi pengalaman. Abū al-Barakāt menyebut:
“وَاعْمَلُوا بِالعِلْمِ لِتَرَوْا نُورَ اللهِ فِي كُلِّ شَيْءٍ”
“Amalkan ilmu agar kalian melihat cahaya Allah dalam segala hal.”
Setiap tindakan—memasak, menulis, berbicara dengan anak, menatap senja—dapat menjadi sarana metafisika jika dilakukan dengan kesadaran. Cahaya metafisika hadir bukan hanya dalam meditasi atau membaca kitab, tetapi dalam kepekaan kita terhadap kehidupan sehari-hari. Saat menyadari hal ini, dunia bukan lagi sekadar kumpulan benda terpisah, tetapi jaringan eksistensi yang saling terhubung.
Bayangan yang menari di dinding saat lilin menyala, senyum yang menular, atau air yang mengalir di sungai, semuanya adalah manifestasi cahaya yang sama. Kesadaran terhadap hal-hal kecil ini menuntun manusia menuju pengalaman batin yang lebih dalam.
Refleksi Akhir: Saat Bayangan Menyadari Ia Tak Berjarak dari Cahaya
Metafisika Abū al-Barakāt mengajak kita memahami kesatuan antara yang tampak dan hakiki. Bayangan tidak berjarak dari cahaya; jiwa tidak berjarak dari akal; manusia tidak terpisah dari realitas yang lebih luas. Setiap detik adalah kesempatan untuk menyadari hubungan ini, menghadirkan kesadaran dalam tindakan, dan menemukan kebijaksanaan dalam fenomena sehari-hari.
“وَفِي كُلِّ شَيْءٍ عِلْمٌ وَحِكْمَةٌ تَنْتَظِرُ مَنْ يَرَى”
“Dalam segala sesuatu terdapat ilmu dan hikmah yang menunggu siapa yang melihatnya.”
Dengan memahami metafisika sebagai pengalaman hidup, kita belajar bahwa kesadaran adalah cahaya, dan setiap langkah adalah bayangan yang menari di hadapannya. Kita tak pernah benar-benar terpisah dari sumber cahaya; kita hanyalah bayangan yang belajar mengenali asalnya.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
