SURAU.CO– Qais ibn Sa‘d ibn Ubadah adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar, keturunan suku Khazraj. Sa‘d ibn Ubadah al-Khazraji menikahi Fakihah bint Ubaid ibn Dulaim ibn Haritsah. Dari pernikahan tersebut lahirlah Qais ibn Sa‘d. Jadi, Qais lahir dan tumbuh besar dalam keluarga yang harmonis, santun, dan mulia.
Qais ibn Sa‘d pribadi yang cerdik waspada
Qais tumbuh menjadi sosok yang cerdik dan waspada, laksana anak singa yang beranjak dewasa. Ia sudah bisa membuka mata memandang sekelilingnya dengan penuh kesadaran. Ia melihat banyak kaum Anshar yang membantu beberapa orang Muhajirin. Mereka menganggap kaum Muhajirin sebagai saudara. Bahkan ayahnya sendiri, Sa‘d ibn Ubadah, menampung tidak kurang dari 80 orang Muhajirin. Pada lingkungan semacam inilah Qais tumbuh dan terdidik. Sikap dermawan semacam itu ia warisi dari ayahnya, dan dari kakeknya, Dulaim ibn Haritsah.
Banyak orang mengatakan, “Jika ingin makan daging dan lemak, datanglah ke rumah Dulaim ibn Haritsah.” Dengan demikian, Dulaim telah membangun puncak yang tinggi bagi anak-anak dan keturunannya. Mereka sama sekali tidak diberi ruang untuk tidak berbagi kepada sesama. Sejak kecil mereka terbiasa minum susu kemuliaan dan kedermawanan. Ketika tumbuh dewasa, mereka menjaga hak-haknya. Karena itulah keluarga Qais menjadi keluarga yang terpandang. Mereka inilah yang kemudian menjadi penolong-penolong agama Allah dan Rasulullah.
Pribadi yang suka berbagi
Watak dan perilaku Qais tak berbeda jauh dari ayah dan kakeknya yang dermawan serta suka berbagi. Imam al-Nawawi menuturkan, banyak ulama mengutip bahwa di kalangan suku Aus dan Khazraj tidak ada yang dapat menyamai kedermawanan empat orang, yaitu Qais ibn Sa‘d ibn Ubadah ibn Dulaim dan bapak-bapaknya.
Apa yang dipelajari oleh Qais dari ajaran Islam? Nilai lebih yang ia pelajari dari Islam adalah kebajikan dan kejujuran. Qais terkenal sebagai orang yang banyak akal dan cerdik, sampai-sampai ia pernah berkata:
“Jika bukan karena Islam, pasti telah kutipu seluruh bangsa Arab dengan muslihatku, dan mereka tidak akan mampu melawannya.”
Pada kesempatan lain ia juga berkata:
“Jika bukan karena aku pernah mendengar sabda Rasulullah: ‘Makar dan tipu daya itu neraka tempatnya’, pasti aku sudah menjadi penipu ulung umat ini.”
Jadi, Islamlah yang mendidik dan mengarahkannya sehingga ia menjadi Muslim yang saleh dan mampu menjaga kemuliaan keluarganya.
Cendekiawan dan ahli strategi perang
Imam al-Nawawi menggambarkan bahwa Qais ibn Sa‘d termasuk sahabat utama, seorang cendekiawan Arab dengan pemikiran yang cemerlang. Bukan hanya itu, ia juga memiliki kemampuan merancang strategi perang yang brilian. Ia adalah orang terpandang di tengah kaumnya dan pemimpin bagi keluarganya.
Mampu menangkap makna tersirat
Kecerdasan Qais ibn Sa‘d luar biasa. Setiap kali mendengar suatu perkataan atau pembicaraan, ia langsung memahaminya sekaligus mampu mengurai maknanya yang tersirat. Ada sebuah kisah tentang seorang wanita yang hendak mendatangi rumahnya. Wanita itu berkata kepadanya:
“Sudilah kiranya Tuan memperbaiki tempat panggang roti di rumahku.”
Qais paham maksud wanita itu dan menjawab, “Alangkah indahnya perkataanmu!” Ia tahu bahwa wanita itu sangat fakir. Dan dalam rumahnya tidak ada sesuatu pun yang bisa mereka makan. Alat pemanggang roti tidak pernah ia gunakan, karena memang tidak ada bahan untuk mereka masak. Tak ada yang dapat mereka lakukannya selain menahan lapar. Keadaan tersebut memaksanya meminta pertolongan kepada tetangga.
Maka, Qais memerintahkan keluarganya untuk membawa roti, lemak, dan daging ke rumah wanita itu. Rupanya membantu memenuhi kebutuhan orang banyak belum cukup bagi Qais. Ia bahkan rela menyerahkan jiwa demi kepentingan agama. Ucapan seorang bijak benar-benar ia terapkan: “Mendermakan jiwa merupakan makna kedermawanan yang paling luhur dan mulia.”
Sigap menyambut seruan jihad
Karena itu, ia selalu sigap menyambut setiap seruan jihad. Bersama Abu Ubaidah ibn al-Jarrah ia ikut serta dalam sebuah peperangan. Pada saat itu banyak pasukan yang kelaparan. Qais berinisiatif menyembelih beberapa ekor unta. Namun, daging unta itu tidak mencukupi kebutuhan semua pasukan sehingga Qais meminta bantuan kepada saudara perempuannya, yang memberinya tambahan tiga ekor unta untuk disembelih. Jadi, hari itu saja ia menyembelih sembilan ekor unta untuk memenuhi kebutuhan pasukan. Bahkan, seandainya tidak dicegah oleh Abu Ubaidah, Qais pasti akan memberikan lebih banyak lagi.
Ketika pasukan itu kembali kepada Rasulullah saw., mereka menceritakan perbuatan Qais ibn Sa‘d. Rasul pun bersabda:
“Sesungguhnya kedermawanan telah menjadi watak (syimah) keluarga ini.”
Syimah adalah ciri, watak, atau tabiat. Watak melekat pada diri seseorang dan tidak akan lepas darinya kecuali dengan kematian.
Dalam sebuah obrolan yang dihadiri oleh Abu Bakar dan Umar ibn al-Khattab, para sahabat bercerita tentang Qais dan kedermawanannya. Kedua sahabat itu berkata:
“Jika orang ini kita biarkan terus memberi, harta ayahnya pasti akan habis.”
Ketika Sa‘d ibn Ubadah mendengar perkataan dua tokoh tadi, ia agak tersinggung dan berkata:
“Siapakah di antara putra Abu Quhafah dan putra al-Khattab yang mengenalku? Menyebut anakku dengan ungkapan seperti itu sama saja dengan menganggapku sebagai orang yang bakhil.”
Anak bagaikan pembuka rahasia bagi ayahnya. Seorang anak lazimnya akan mengikuti jejak langkah ayahnya. Sungguh mengagumkan jika anak-anak mengenal dan mengetahui perilaku mulia ayah mereka, kemudian menerapkannya dalam kehidupan sendiri. Dengan begitu, hidup mereka tidak akan kosong dari limpahan rahmat, dan tentu saja kebaikan mereka akan tetap dikenang meskipun sudah tiada.
Qais ibn Sa‘d tidak pernah merasa takut menegakkan kebenaran. Ia selalu membela sahabatnya dan membantu mereka jika mereka benar. Karena itu, ketika terjadi perselisihan antara Ali dan Muawiyah, ia memilih berada di pihak Ali.
Pembawa panji Anshar
Selama hidupnya, ada satu peristiwa penting yang tak akan terhapus dari ingatannya, yaitu ketika Nabi Muhammad saw. memerintahkannya membawa panji kaum Anshar saat penaklukan Makkah. Setelah Nabi wafat, Qais melantunkan syair:
Bendera inilah yang kaubawa berkeliling
bersama Nabi dan Jibril sebagai penolong.
Siapa pun takkan celaka jika menjadikan Anshar
sebagai saudara meskipun ia tak punya sanak keluarga.
Mereka kaum yang jika berperang, tangan mereka
menjangkau tempat yang tinggi hingga mampu kuasai negeri.
Demikianlah kisah hidup Qais ibn Sa‘d yang selalu berusaha melakukan kebaikan dan berani membela kebenaran, sampai akhirnya ia wafat pada tahun 59 Hijriah.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
