SURAU.Co. Dalam khazanah budaya Jawa, terdapat sebuah pepatah yang sarat makna: “Urip iku urup.” Secara harfiah, ungkapan ini berarti “hidup itu menyala.” Lebih dari sekadar rangkaian kata, pepatah ini merupakan cerminan pandangan hidup yang mendalam. Filsafat ini menekankan betapa pentingnya kebermanfaatan dalam hidup. Ini adalah inti dari cara pandang masyarakat Jawa tentang kehidupan.
Pepatah ini mengingatkan kita bahwa setiap manusia membawa “api” kehidupan di dalam dirinya. “Api” ini bisa berupa ilmu pengetahuan, tenaga, harta, atau sekedar perhatian kecil. Namun, semua itu akan memiliki makna jika dibagikan kepada orang lain. “Urip iku urup” menegaskan bahwa keberadaan manusia akan bernilai ketika mampu menebar manfaat.
Asal-Usul dan Makna Filosofis yang Tersembunyi
Ajaran “Urip iku urup” memiliki dua sumber utama: dalam tradisi Jawa, filosofi ini berasal dari tokoh pewayangan Semar, yang menyampaikan pesan bahwa hidup harus memberi manfaat bagi orang lain. Selain itu, ajaran ini juga dikaitkan dengan Sunan Kalijaga, yang dalam konteks penyebaran agama Islam di Jawa mengajarkan agar hidup selalu memberikan kebermanfaatan
Dalam filsafat Jawa, “urup” (api/nyala) memiliki dua makna penting. Pertama, ia memberi cahaya agar orang lain bisa melihat arah. Kedua, ia memberi kehangatan agar orang lain merasa nyaman. Manusia yang “urip” sejati adalah mereka yang mampu menjadi penerang sekaligus penghangat bagi lingkungannya.
Dimensi Reflektif: Apakah Hidup Kita Sudah “Urup”?
Pepatah ini mendorong kita untuk merenung. Pertanyaan penting yang muncul adalah, “Apakah hidupku sudah ‘urup’?” Apakah kehadiran kita memberikan makna, atau justru hanya menjadi beban bagi orang lain? Api yang menyala bisa menjadi berkah jika dikendalikan. Namun, api juga bisa berubah menjadi bencana jika dibiarkan membakar tanpa arah.
Manusia hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Makan, bekerja, dan tidur hanyalah sebagian kecil dari tujuan hidup. Lebih penting dari itu, kita harus memberi arti bagi kehidupan. Ukuran keberhasilan tidak hanya berupa materi dan jabatan. Ukuran keberhasilan yang sesungguhnya adalah seberapa besar kita bisa menjadi sumber terang dan kehangatan bagi sesama.
Analisis Sosial: “Urip Iku Urup” dalam Praktik Gotong Royong
Dalam kehidupan masyarakat Jawa, pepatah ini sangat nyata dalam tradisi gotong royong. Saat ada tetangga yang memiliki hajatan, seluruh warga berpartisipasi tanpa mengharapkan imbalan. Ada yang memasak, ada yang mendirikan tenda, dan ada yang membersihkan peralatan. Kehadiran setiap orang adalah “urup,” nyala kecil yang bersatu menjadi cahaya besar.
Tradisi rewang dalam hajatan juga mencerminkan filosofi ini. Seorang ibu yang membantu memasak makanan bagi tetangga sedang mengamalkan nilai “ngurip-urip.” Para bapak-bapak yang bekerja bakti membersihkan selokan juga menunjukkan nilai kebersamaan. Mereka sedang menghidupkan nilai gotong royong dan kebersamaan,
Filosofi Transendental: Mengarahkan Hidup ke Dimensi Spiritual
Api selalu bergerak ke atas. Simbol ini mengingatkan kita bahwa hidup manusia harus selaras. Tidak hanya menyala bagi sesama (dimensi horizontal), tetapi juga harus terarah ke Yang Maha Tinggi (dimensi vertikal). Menjadi cahaya bagi orang lain berarti menjadi suluh yang menuntun diri menuju Allah Swt.
“Urip iku urup” bukan sekadar falsafah sosial. Ia juga mengandung dimensi spiritual yang mendalam. Hidup berarti ibadah, pengabdian, dan pelayanan. Manusia yang hidup sejati berbagi nyala itu untuk kebaikan banyak orang.
Implementasi “Urip Iku Urup” dalam Kehidupan Sehari-hari
Bagaimana kita bisa menerapkan filsafat ini dalam kehidupan sehari-hari?
- Di rumah: Orang tua yang mendidik anak dengan kasih sayang dan memberi teladan akhlak adalah bentuk “urup.” Anak-anak juga bisa “urup” dengan membantu pekerjaan rumah.
- Di sekolah: Guru yang mengajar dengan sabar, menyalakan semangat murid-muridnya untuk belajar, sedang menjalankan filosofi ini.
- Di masyarakat: Tetangga yang menyapa dengan senyum, pemuda yang membantu kerja bakti, atau relawan yang mendampingi korban bencana adalah wujud nyata “urip iku urup.”
- Di pekerjaan: Pegawai yang bekerja jujur dan memberikan layanan terbaik tidak hanya mencari nafkah. Ia juga memberi terang dalam lingkungannya.
Jadilah “Nyala,” Jangan Menjadi “Bara”
Pepatah “urip iku urup” mengajarkan kita untuk terus bergerak maju. Hidup yang sejati adalah hidup yang menyalakan kehidupan orang lain. Seperti lilin yang rela terbakar demi memberi cahaya, manusia pun harus rela berbagi. Kita harus berbagi tenaga, waktu, dan pikiran demi kebaikan bersama.
Pertanyaan yang pantas untuk direnungkan: Apakah hidup kita sudah “urup”? Apakah kita hadir sebagai cahaya yang menerangi, atau justru sebagai bara yang membakar? Hidup yang “urup” adalah hidup yang membahagiakan. Dengan menyalakan orang lain, kita juga menyalakan makna dalam diri kita sendiri.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
