SURAU.CO. Perkembangan digital telah masuk ke semua aspek kehidupan. Saat ini, hampir semua hal bisa memanfaatkan teknologi digital atau dengan online, termasuk dalam memenuhi segala kebutuhan. Kekinian makin banyak orang yang memenuhi semua kebutuhannya dengan online, mulai dari bekerja, belanja harian, transportasi, hingga investasi. Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara manusia bertransaksi.
Salah satu perkembangan terkini dan menjadi tren adalah investasi emas online. Investasi emas online adalah cara praktis membeli dan menjual emas digital melalui platform daring terpercaya seperti Pegadaian, Pluang, Tokopedia Emas, dan lainnya. Melakukan investasi emas online menjadi lebih mudah tanpa perlu menyimpan fisik emas di rumah. Investasi ini memungkinkan pembelian mulai dari gramase kecil, misalnya 0,1 gram atau Rp10 ribu, dan pencetakan emas fisik mudah atau dijual kembali melalui aplikasi.
Kemudahan membeli emas mulai dari Rp 10.000 membuat layanan ini digemari, terutama oleh generasi milenial yang ingin menabung jangka panjang. Namun, pertanyaan mendasar muncul: apakah investasi emas online ini sesuai dengan prinsip syariah Islam? Tuntutan zaman yang serba digital dan ketegasan syariat agar umat Muslim terhindar dari praktik riba memantik diskusi menarik.
Prinsip Dasar Muamalah dalam Islam
Dalam perspektif Islam, aktivitas ekonomi masuk dalam ranah muamalah, yaitu interaksi sosial yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Prinsip dasar muamalah dalam kaidah fiqh yang masyhur, bahwa “Hukum asal dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarang.”
Kaidah tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan ruang luas bagi kreativitas dan inovasi dalam kegiatan ekonomi. Seorang Muslim boleh melakukan berbagai bentuk transaksi, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini mencerminkan fleksibilitas hukum Islam yang adaptif terhadap perkembangan zaman, sekaligus tetap menjaga nilai moral dan etika dalam interaksi ekonomi.
Namun, Islam juga menegaskan adanya batasan yang bersifat prinsipil. Larangan utama yang harus dihindari ialah riba (tambahan yang bersifat zalim dalam transaksi pinjam-meminjam), gharar (ketidakjelasan yang berpotensi merugikan salah satu pihak), dan maysir (unsur spekulasi atau perjudian). Tiga larangan pokok ini menjadi benteng agar aktivitas ekonomi tidak jatuh pada praktik yang eksploitatif, merusak keadilan, dan menimbulkan ketidakpastian yang merugikan masyarakat.
Karena itu, setiap instrumen ekonomi modern, perlu dikaji secara mendalam. Apakah itu berupa perdagangan konvensional maupun investasi digital seperti jual beli emas online. Islam menuntut umatnya untuk memastikan bahwa praktik tersebut memenuhi prinsip keadilan, transparansi, serta bebas dari riba dan spekulasi. Dengan demikian, muamalah dalam Islam bukan hanya sekadar aktivitas ekonomi, melainkan sarana untuk mewujudkan kemaslahatan, menjaga harta, serta memperkuat ukhuwah sosial dalam bingkai syariah.
Daya Tarik Investasi Emas
Sejak zaman dahulu, umat manusia selalu menjadikan emas sebagai instrumen penyimpan nilai (store of value) yang andal. Nilai emas tetap terjaga meskipun inflasi melanda, mudah diuangkan, serta memiliki pengakuan universal lintas negara dan budaya. Karena karakteristik inilah, banyak kalangan, termasuk generasi milenial, mulai mengalihkan sebagian tabungan mereka ke dalam bentuk emas digital.
Perkembangan teknologi finansial mendorong lahirnya investasi emas online yang memungkinkan pengguna membeli emas dalam jumlah sangat kecil, bahkan mulai dari 0,01 gram. Proses transaksi menjadi praktis karena cukup dilakukan melalui aplikasi, tanpa perlu mendatangi toko emas. Ketika jumlah emas yang dimiliki mencapai nominal tertentu, investor pun dapat mencetaknya menjadi emas fisik.
Namun, kemudahan ini memunculkan perbincangan serius dalam ranah fiqh, sebab emas tergolong barang ribawi. Dalam perspektif hukum Islam, transaksi atas barang ribawi wajib memenuhi prinsip tunai, seimbang, dan serah terima langsung.
Nabi Muhammad ﷺ menegaskan dalam hadis sahih, “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama kadarnya dan tunai. Jika berbeda jenis, juallah sesuka kalian asalkan tunai.” (HR. Muslim no. 1587)
Hadis ini menjadi landasan utama larangan jual beli emas secara tidak tunai. Apabila emas ditukar dengan emas (atau perak), maka syaratnya harus tunai (yadan bi-yad). Jika melakukan akad dengan penundaan, maka transaksi tersebut jatuh dalam kategori riba nasi’ah, yang terlarang dalam Islam karena berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan merusak keberkahan harta.
Perbedaan Pandangan Ulama
Mayoritas ulama dari empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, menegaskan bahwa praktik jual beli emas secara online tidak sah, karena transaksi tersebut tidak memenuhi syarat serah-terima secara kontan (taqabudh). Mereka berpendapat bahwa emas dan perak memiliki sebab hukum (‘illat) yang sama dengan uang, yaitu berfungsi sebagai alat tukar sekaligus standar nilai dalam sistem ekonomi.
Imam Syafi’i secara tegas menyatakan bahwa apabila emas dijual dengan emas, maka kedua belah pihak wajib melakukan serah-terima sebelum berpisah. Apabila ketentuan ini diabaikan, maka transaksi tersebut jatuh dalam kategori riba yang diharamkan.
Namun, pandangan berbeda muncul dari Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-MUI) melalui Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010 membolehkan jual beli emas secara tidak tunai. Dasar pertimbangannya ialah bahwa dalam konteks kontemporer, emas tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar, melainkan sebagai komoditas investasi. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Ibn Taimiyah, yang menegaskan bahwa jual beli emas boleh secara tidak tunai selama emas merupakan barang dagangan dan bukan sebagai mata uang.
Dengan demikian, DSN-MUI membuka ruang yang lebih fleksibel bagi umat Islam untuk berinvestasi emas melalui platform digital. Syaratnya, akad harus jelas, mekanisme transaksi wajib transparan, dan tidak boleh ada praktik spekulasi berlebihan yang mendekati perjudian. Pandangan ini mencerminkan upaya ulama kontemporer dalam menyesuaikan hukum Islam dengan perkembangan instrumen keuangan modern, sekaligus tetap menjaga prinsip-prinsip dasar syariah agar terhindar dari praktik riba.
Antara Kehati-hatian dan Kebutuhan Zaman
Perbedaan pandangan para ulama melahirkan sebuah dilema besar bagi umat Islam: apakah seorang Muslim harus berpegang teguh pada pendapat mayoritas ulama klasik yang menolak keabsahan jual beli emas tidak kontan. Ataukah ia boleh mengambil keringanan melalui fatwa DSN-MUI yang membuka ruang bagi praktik investasi emas digital.
Di era modern, digitalisasi ekonomi merupakan sebuah keniscayaan. Generasi Muslim memerlukan instrumen investasi yang praktis, aman, dan terjangkau. Bila emas merupakan komoditas biasa, maka transaksi online dapat menjadi sah selama emas tersebut benar-benar tersedia secara fisik, tercatat kepemilikannya, dan kapan saja pemilik dapat melakukan pengambilan. Dengan cara ini, syarat kejelasan kepemilikan dan keterhindaran dari gharar dapat terpenuhi.
Namun, semangat ihtiyath (kehati-hatian) tetap harus diutamakan. Islam tidak hanya menekankan aspek kemudahan, tetapi juga menuntut agar transaksi bebas dari unsur spekulatif. Jika praktik investasi emas online berujung pada penundaan serah terima, manipulasi harga, atau sekadar permainan angka tanpa underlying asset yang nyata, maka risiko terjerumus pada riba dan gharar semakin besar. Alasan inilah yang mengkhawatirkan bagi ulama, sebab spekulasi semacam itu dapat menciptakan ketidakadilan dalam muamalah.
Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275). Ayat ini memberikan garis tegas antara transaksi yang sahih dan adil dengan praktik yang menzalimi salah satu pihak. Islam membolehkan jual beli yang nyata, transparan, dan adil. Sementara tambahan nilai tanpa landasan yang benar, apalagi akibat penundaan serah terima, termasuk riba nasi’ah yang diharamkan.
Dengan demikian, investasi emas online tidak cukup hanya berlandaskan kemudahan teknologi, tetapi juga harus memastikan secara ketat agar sesuai dengan prinsip syariah. Umat Islam perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian, agar setiap langkah dalam berinvestasi tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga membawa keberkahan dan terhindar dari unsur yang haram.
Bijak dalam Berinvestasi
Investasi emas online melalui berbagai platform yang tersedia memang menawarkan kemudahan luar biasa. Namun, umat Islam tidak boleh melupakan prinsip syariah yang melandasi seluruh kegiatan ekonomi.
Umat muslim dapat mengikuti pendapat jumhur ulama, yang lebih ketat, sehingga menjauhi praktik emas online karena khawatir masuk riba. Atau umat muslim boleh juga mengikuti fatwa DSN-MUI, yang lebih longgar, dengan syarat emas merupakan komoditas, bukan alat tukar.
Apapun pilihannya, seorang Muslim harus memegang prinsip melakukan transaksi dengan akad yang jelas. Dalam proses nya, Muslim harus memastikan bahwa tidak ada penipuan atau spekulasi berlebihan. Dengan demikian menghasilkan harta dengan cara yang jauh dari dosa dan membawa keberkahan Maka, investasi emas online sah-sah saja bila mengikuti koridor syariah dan berdasarkan niat mencari keberkahan, bukan sekadar keuntungan materi.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
