Khazanah
Beranda » Berita » Waktu Adalah Sungai, Gerak Adalah Arusnya, dan Jiwa Adalah Perahumu

Waktu Adalah Sungai, Gerak Adalah Arusnya, dan Jiwa Adalah Perahumu

Perahu jiwa di sungai waktu dengan arus kehidupan
Sebuah perahu kecil melaju di tengah sungai yang deras, simbol perjalanan jiwa di arus waktu menuju cahaya.

Surau.co. Ketika kita menyebut waktu, kita sering membayangkannya sebagai sesuatu yang abstrak, tak tersentuh, namun hadir mengalir tanpa henti. Waktu adalah sungai, gerak adalah arusnya, dan jiwa adalah perahumu. Begitulah Ibn Sīnā dalam al-Shifāʾ (Bagian al-Ṭabī‘iyyāt) mengajarkan, bahwa tidak ada satu pun di alam ini yang bebas dari gerak. Gerak adalah tanda kehidupan, dan waktu adalah cermin yang memantulkan setiap perubahan yang terjadi.

Arus waktu dalam kehidupan sehari-hari

Seorang petani bangun pagi, menyiapkan cangkul, dan menatap langit yang berwarna jingga. Ia sadar bahwa satu jam saja ia terlambat, tanah bisa menjadi lebih keras, dan hasilnya berkurang. Begitu pula seorang pedagang yang membuka toko, ia tahu bahwa detik-detik pertama adalah rezeki yang bisa menentukan hari. Kehidupan kita adalah pelayaran, di mana arus waktu menjadi penentu apakah kita sampai ke tujuan atau terombang-ambing di tengah jalan.

Allah mengingatkan dalam firman-Nya:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian.” (QS. Al-‘Ashr: 1–2).

Ayat ini menegaskan bahwa waktu bukan sekadar angka di jam dinding. Ia adalah sungai yang membawa manusia maju, mau tidak mau. Siapa yang tidak pandai membaca arusnya, akan hilang arah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Jiwa sebagai perahu yang berlayar

Ibn Sīnā dalam al-Shifāʾ menulis:

الحركة لا تنفك عن المادة، وكل موجود في العالم الطبيعي لا ينفك عن التغير.
“Gerak tidak terpisah dari materi, dan setiap yang ada di alam tabiat tidak terlepas dari perubahan.”

Jiwa manusia adalah perahu yang menempuh sungai waktu. Tanpa kendali, ia bisa hanyut tanpa tujuan. Tetapi jika dipegang erat dengan kesadaran, maka setiap arus bisa menjadi jalan menuju pelabuhan yang diinginkan. Inilah mengapa manusia diberi akal: agar perahu itu tidak sekadar meluncur, tapi benar-benar menuju.

Bayangkan seorang anak kecil yang belajar menulis. Di awal, tangannya gemetar, huruf-hurufnya berantakan. Namun, seiring arus waktu, geraknya menjadi lebih halus, tulisannya indah, dan maknanya jelas. Gerak yang berulang, diiringi kesabaran, melahirkan keahlian.

Alam sebagai saksi gerak abadi

Ibn Sīnā kembali berkata dalam al-Shifāʾ:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

كل جسم طبيعي في حركته يطلب كماله الخاص.
“Setiap benda alami dalam geraknya mencari kesempurnaan yang khas baginya.”

Lihatlah daun yang berguguran di musim kemarau. Ia tidak jatuh sia-sia, karena tanah menantinya untuk menjadi humus. Perhatikan air hujan yang turun, ia mengalir menuju sungai, lalu ke laut, lalu kembali menjadi awan. Tidak ada gerak yang hampa, semua adalah pencarian kesempurnaan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

اغتنم خمسًا قبل خمس: حياتك قبل موتك، وفراغك قبل شغلك، وصحتك قبل سقمك، وشبابك قبل هرمك، وغناك قبل فقرك.
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: hidupmu sebelum matimu, waktu luangmu sebelum sibukmu, sehatmu sebelum sakitmu, mudamu sebelum tuamu, dan kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Al-Hakim).

Hadis ini seperti suara nelayan yang mengingatkan kita agar tidak terlambat berlayar. Sebab perahu jiwa kita hanya bisa melawan arus jika sadar akan tujuan.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Jiwa yang belajar membaca arus

Ibn Sīnā menguraikan lebih jauh:

الزمان هو عدد الحركة بحسب قبل وبعد.
“Waktu adalah bilangan dari gerak, ditinjau dari sebelum dan sesudah.”

Setiap langkah kita adalah angka dalam catatan waktu. Setiap pergeseran jiwa adalah bilangan yang tidak bisa dihapus. Jika hidup diisi dengan kebaikan, maka arus itu membawa kita pada lautan kedamaian. Tetapi jika hanya diisi kesia-siaan, maka sungai itu berujung pada kehampaan.

Seorang ibu yang setiap hari bangun untuk menyiapkan sarapan anaknya, mungkin merasa lelah. Namun, kelak ia akan melihat bahwa geraknya menyusun masa depan anaknya. Seseorang yang sabar belajar satu ayat Al-Qur’an setiap malam, mungkin merasa lambat. Namun waktu akan mengajarinya, bahwa ayat-ayat itu kelak menjadi cahaya yang menerangi hidupnya.

Gerak jiwa menuju tujuan yang lebih tinggi

Kembali Ibn Sīnā berkata:

النفس إذا استكملت علمًا صارت كالعقل بالفعل، وارتقت عن عالم التغير.
“Ketika jiwa menyempurnakan pengetahuan, ia menjadi seperti akal yang aktual, dan naik dari dunia perubahan.”

Ini adalah pesan mendalam. Jiwa yang sabar menempuh arus, yang belajar dari setiap perubahan, pada akhirnya mencapai ketenangan. Seperti perahu yang akhirnya tiba di pelabuhan, jiwa akan menemukan rumahnya yang sejati: bukan sekadar di dunia, melainkan di hadapan Tuhan.

Allah berfirman:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.” (QS. Al-Fajr: 27–28).

Ayat ini adalah janji bahwa setiap perjalanan jiwa memiliki tujuan. Waktu memang sungai, arusnya deras, tetapi perahu yang kuat akan selalu sampai.

Menyusun kisah bersama arus waktu

Kita sering lupa bahwa waktu bukanlah musuh, melainkan sahabat yang mengingatkan kita untuk bergerak. Setiap detik adalah bisikan: jangan berhenti, jangan menyerah, jangan menunda.

Hidup adalah pelayaran, dan kita semua sedang berada di tengah sungai itu. Perahumu adalah jiwa yang rapuh namun penuh harapan. Pegang kendali, baca arah angin, dan percayalah, setiap arus yang deras sekalipun bisa menjadi jalan menuju samudra yang luas.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement