SURAU.CO. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo menggagas berdirinya Koperasi Merah putih sebagai program unggulan. Program Koperasi Merah Putih mencerminkan semangat untuk menghidupkan kembali jati diri ekonomi kerakyatan Indonesia. Di tengah derasnya arus globalisasi dan dominasi sistem kapitalisme, koperasi diharapkan mampu menjadi benteng ekonomi rakyat. Koperasi Merah Putih seyogianya menjadi lembaga yang bukan hanya mencari keuntungan, tetapi juga menjunjung asas kekeluargaan dan gotong royong.
Program ini menekankan kembali semangat Bung Hatta yang sejak awal menegaskan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional. Semangat itu sejatinya bukan hanya wacana ekonomi, tetapi juga memiliki nilai moral dan spiritual. Terutama bagi umat Islam yang menjadikan prinsip keadilan dan kebersamaan sebagai pondasi muamalah.
Namun, pertanyaan penting kemudian muncul: apakah koperasi sejalan dengan syariat Islam? Bagaimana hukum Islam memandang sistem koperasi terutama di negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia seperti Indonesia?
Koperasi sebagai Pilar Ekonomi Rakyat
Koperasi pada dasarnya lahir dari semangat kerja sama (cooperation) untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Sejak kemerdekaan, koperasi telah berperan penting dalam menggerakkan ekonomi Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian menegaskan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang atau badan hukum dengan melandaskan kegiatannya pada prinsip kekeluargaan.
Tujuan koperasi tidak hanya meningkatkan kesejahteraan anggota, tetapi juga memperkokoh perekonomian nasional. Sementara itu koperasi tidak hanya berfungsi dalam hal ekonomi, tetapi juga sosial. Melalui koperasi dapat memperkuat ketahanan ekonomi rakyat, mengurangi kesenjangan sosial, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Dalam praktiknya, koperasi hadir dalam berbagai bentuk. Seperti koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi simpan pinjam, koperasi jasa, hingga koperasi serba usaha. Perkembangan terbaru melahirkan koperasi syariah yang meniadakan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil melalui akad mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kemitraan) atau murabahah. Kehadiran koperasi syariah menjadi jawaban atas kegelisahan umat terhadap praktik ribawi yang dilarang Islam.
Perdebatan Hukum Islam tentang Koperasi
Meski koperasi telah diterima luas sebagai lembaga ekonomi rakyat, ulama berbeda pandangan terkait status hukumnya dalam Islam. Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, termasuk yang menolak koperasi secara syariat. Ia berargumen bahwa koperasi tidak memenuhi syarat syirkah karena dalam akad syirkah harus ada keterlibatan badan yang mengelola usaha, sedangkan koperasi menurutnya hanya berdiri di atas setoran modal tanpa adanya pengelolaan langsung dari setiap anggota. Selain itu, ia menilai sistem pembagian laba koperasi berdasarka jasa anggota tidak sesuai prinsip syirkah. Baik itu berupa transaksi pembelian maupun penjualan. Prinsip syirkah menekankan pembagian keuntungan sesuai porsi modal atau kerja. Dengan alasan itu, ia menganggap akad koperasi bersifat fasid atau rusak.
Namun, pandangan ini ditentang oleh mayoritas ulama kontemporer yang melihat koperasi justru sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mereka menegaskan bahwa pembagian laba berdasarkan jasa bukanlah penyimpangan, melainkan bentuk penghargaan terhadap kontribusi nyata anggota dalam menggerakkan roda ekonomi koperasi. Unsur badan dalam koperasi juga tetap terpenuhi karena pengurus yang terpilih melalui rapat anggota berperan sebagai wakil kolektif dalam mengelola usaha. Dengan demikian, koperasi dapat dipandang sebagai syirkah modern yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan sosial-ekonomi umat.
Para ulama yang membela eksistensi koperasi berpegang pada kaidah fikih: “Al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah hatta yadulla dalil ‘ala tahrimiha”, yang berarti hukum asal dalam segala bentuk muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah ini membuka ruang ijtihad luas untuk mengakomodasi lembaga-lembaga ekonomi kontemporer selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah. Oleh sebab itu, koperasi tetap halal sepanjang tidak mengandung unsur riba (bunga yang menindas), gharar (ketidakjelasan yang merugikan), maupun maysir (spekulasi yang bersifat judi).
Dengan kerangka ini, koperasi bahkan dapat dipandang sebagai implementasi nyata dari prinsip ta’awun (tolong-menolong) dan ‘adalah (keadilan) dalam Islam. Koperasi menumbuhkan semangat kebersamaan, menghindari praktik monopoli, serta memberikan kesempatan bagi anggota yang lemah secara ekonomi untuk meraih kesejahteraan melalui sistem usaha bersama.
Koperasi dan Maqashid Syariah
Perdebatan mengenai hukum koperasi dalam perspektif Islam seharusnya tidak terjebak hanya pada perdebatan legalitas formal. Kita perlu mengarahkan perdebatan hukum koperasi dalam Islam pada fungsinya sebagai instrumen keadilan sosial yang sesuai dengan maqashid syariah. Koperasi harus dikelola secara amanah untuk mewujudkan nilai-nilai luhur yang selaras dengan tujuan syariah. Memanfaatkan koperasi sebagai sarana strategis untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sesuai dengan prinsip syariah.
Jika ditinjau melalui bingkai maqashid al-syariah, koperasi justru merepresentasikan prinsip dasar syariat. Dari sisi hifzh al-mal (perlindungan harta), koperasi menyediakan ruang aman bagi masyarakat untuk menyimpan dan mengembangkan modal mereka, sehingga harta terlindungi dari praktik riba maupun penyalahgunaan. Dari aspek hifzh al-nafs (perlindungan jiwa), koperasi hadir sebagai alternatif sehat yang membebaskan masyarakat kecil dari jeratan rentenir dan lembaga ribawi yang mencekik kehidupan ekonomi mereka. Lebih jauh, hifzh al-‘irdh (perlindungan kehormatan) juga tercermin dalam koperasi karena lembaga ini mencegah terjadinya eksploitasi ekonomi yang merendahkan martabat manusia dan mengikis nilai kemanusiaan. Bahkan, melalui asas gotong royong, koperasi mewujudkan hifzh al-ummah (penjagaan kemaslahatan umat) dengan memperkuat solidaritas sosial dan memperluas distribusi kesejahteraan secara adil.
Al-Qur’an memberikan fondasi normatif yang kuat bagi model kerja sama semacam ini. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Ayat ini menjadi dasar bahwa kerja sama dalam kebaikan, termasuk dalam bentuk kelembagaan ekonomi seperti koperasi, bukan hanya dibolehkan tetapi dianjurkan sebagai wujud nyata pengamalan prinsip ta’awun dan keadilan sosial dalam Islam. Dengan demikian, koperasi bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan juga media spiritual dan sosial untuk memperkuat kesejahteraan umat sekaligus menjaga nilai-nilai syariah.
Koperasi Syariah dan Relevansi Program Koperasi Merah Putih
Di Indonesia, koperasi syariah pernah berkembang pesat. Salah satu contohnya adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT), lembaga koperasi yang menggabungkan fungsi bisnis (pembiayaan) dan sosial (pengelolaan zakat, infak, dan sedekah). BMT terbukti efektif dalam membantu pedagang kecil, petani, hingga UMKM keluar dari jeratan rentenir.
Kemudian, koperasi Syariah 212 juga menjadi contoh menarik. Lahir dari semangat persatuan umat pasca aksi bela Islam, koperasi ini mengedepankan prinsip syariah dan gotong royong. Dengan model bisnis modern, koperasi ini membuktikan bahwa ekonomi berbasis syariah dapat bersaing di pasar nasional.
Kehadiran koperasi syariah ini sejalan dengan hadis Rasulullah ﷺ: “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim). Hadis ini memperkuat bahwa kerja sama ekonomi berbasis tolong-menolong bukan hanya sah, tetapi juga bernilai ibadah.
Kekinian, pemerintah menggagas Program Koperasi Merah Putih yang di klaim dapat memperkuat ekonomi rakyat, dan juga sebagai jalan menuju kemandirian masyarakat. Di era di mana kapitalisme global sering menyingkirkan kelompok lemah, koperasi hadir sebagai instrumen distribusi keadilan.
Koperasi diharapkan dapat menjadi jalan tengah antara kebutuhan ekonomi modern dan kepatuhan terhadap syariat. Dengan memperluas jaringan koperasi hingga pelosok, menghadirkan produk kompetitif, dan meningkatkan literasi keuangan, masyarakat memiliki alternatif nyata untuk menjauhi praktik ribawi.
Tantangan dan Harapan
Program Koperasi Merah Putih yang digagas pemerintah bukan merupakan koperasi syariah. Namun tidak ada salahnya jika dalam praktiknya, pengelola melaksanakan dengan memperhatikan ketentuan syariat.
Meskipun potensinya besar, koperasi syariah juga menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, akses dan literasi masyarakat masih terbatas. Banyak orang lebih memilih bank konvensional karena lebih mudah dijangkau. Kedua, inovasi produk koperasi syariah masih kalah dibanding lembaga keuangan modern. Ketiga, sebagian koperasi masih terjebak pada praktik “ganti nama” bunga menjadi margin tanpa substansi syariah.
Maka, untuk menjawab tantangan tersebut, memerlukan kolaborasi antara pemerintah, ulama, akademisi, dan praktisi. Regulasi negara harus lebih berpihak pada koperasi syariah, ulama harus memberikan fatwa yang kontekstual, akademisi harus menghasilkan riset yang aplikatif, dan praktisi harus menjaga integritas kelembagaan.
Koperasi, termasuk program Koperasi Merah Putih, bukan hanya instrumen ekonomi, tetapi juga sarana perjuangan moral dan spiritual. Dalam perspektif hukum Islam, koperasi pada dasarnya halal karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, selama tanpa riba, gharar, dan maysir. Bahkan, koperasi merefleksikan nilai-nilai Islam seperti keadilan, kebersamaan, dan tolong-menolong.
Oleh karena itu, menguatkan koperasi syariah adalah bagian dari ikhtiar umat Islam Indonesia untuk membangun ekonomi yang mandiri, adil, dan berkelanjutan. Dengan semangat gotong royong dan prinsip syariah, koperasi bisa menjadi pilar kedaulatan ekonomi bangsa sekaligus wujud nyata pengamalan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
