Khazanah
Beranda » Berita » Relevansi Abadi: Ketika Nama-Nama Lama Berbicara pada Hati Zaman Baru

Relevansi Abadi: Ketika Nama-Nama Lama Berbicara pada Hati Zaman Baru

Ulama menulis kitab sebagai warisan abadi
Obor Ilmu yang Menyala Abadi

Surau.co. Sejarah tidak pernah membeku. Ia bergerak, berputar, dan mengalir ke masa depan melalui nama-nama yang tercatat di lembaran kitab. Salah satunya adalah Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, sebuah mahakarya biografi ulama yang bukan hanya menyimpan catatan hidup, tetapi juga menyalakan obor pengetahuan. Relevansi abadi kitab ini masih terasa hingga zaman kita sekarang, seakan nama-nama lama yang terukir di dalamnya masih bisa berbicara kepada hati generasi baru.

Menyambungkan Hati Zaman

Dalam kehidupan sosial Indonesia hari ini, banyak orang merasa terpisah dari sejarah panjang Islam. Anak muda sibuk dengan layar gawai, pekerja terjebak dalam rutinitas, sementara pesan-pesan ulama kadang dianggap hanya milik masa lalu. Padahal, kitab biografi ulama seperti Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah adalah jembatan yang menyatukan. Ia tidak sekadar bercerita tentang siapa mereka, tetapi juga bagaimana cahaya keilmuan menuntun umat di tengah gelombang zaman.

Al-Subkī menulis dengan kesadaran bahwa ilmu bukanlah benda mati. Ia merekam wajah para ulama dengan kata-kata, seolah melestarikan nyala api agar tetap bisa kita rasakan. Dalam salah satu bagiannya ia menuturkan:

“وكان العلم في صدور الرجال نورا يهتدى به، فإذا ماتوا انتقل النور إلى كتبهم”
“Ilmu itu pada dada para ulama adalah cahaya yang menjadi petunjuk. Jika mereka wafat, cahaya itu berpindah ke dalam kitab-kitab mereka.”

Inilah kunci mengapa kitab seperti Ṭabaqāt tetap hidup: ia menjadi wadah cahaya yang tidak padam meski abad berganti.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Menghidupkan Warisan di Tengah Masyarakat Modern

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan betapa orang haus akan figur teladan. Banyak anak muda mencari panutan di media sosial, namun terkadang tersesat pada tokoh yang hanya berkilau di permukaan. Di titik ini, karya al-Subkī menawarkan arah. Ia mengingatkan bahwa teladan sejati adalah mereka yang mewariskan ilmu, akhlak, dan kesabaran.

Kitab Ṭabaqāt menyimpan nama-nama yang hidup dengan penuh kerendahan hati. Seorang ulama bisa terkenal bukan karena sorotan, tetapi karena kesetiaan menjaga kebenaran. Al-Subkī berkata:

“وما رفع الله أحدا بعلم أو جاه إلا بقدر تواضعه للحق”
“Allah tidak meninggikan seseorang dengan ilmu atau kedudukan kecuali sebanding dengan kerendahannya kepada kebenaran.”

Pesan ini amat relevan bagi bangsa kita. Dalam budaya yang sering sibuk mengejar status, nasihat ulama abad lalu tetap menyejukkan: kerendahan hati adalah kunci ketinggian.

Kitab Sebagai Cermin untuk Zaman Baru

Al-Qur’an sendiri mengajarkan agar manusia mengambil pelajaran dari sejarah. Allah berfirman:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

﴿لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴾
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Yusuf: 111)

Ayat ini seolah menyapa kita ketika membuka halaman demi halaman Ṭabaqāt. Nama-nama ulama bukan hanya sekadar biografi, melainkan cermin yang memantulkan siapa kita. Apakah kita hanya penonton sejarah, ataukah penerus yang menghidupkan kembali ruh kesungguhan mereka?

Warisan Ilmu yang Menyentuh Nurani

Indonesia memiliki tradisi yang kaya dalam menghormati guru. Santri di pesantren, mahasiswa di kampus, hingga masyarakat yang masih datang ke pengajian, semua menunjukkan bahwa penghormatan kepada ilmu tetap hidup. Namun, kita butuh dasar yang lebih kuat agar tradisi itu tidak hanya lahiriah, melainkan juga ruhaniah.

Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, al-Subkī menulis dengan sentuhan hati:

“العلم ميراث الأنبياء، فمن أخذه بحق نجا، ومن ضيّعه هلك”
“Ilmu adalah warisan para nabi. Siapa yang mengambilnya dengan sungguh-sungguh, ia selamat. Siapa yang menelantarkannya, ia binasa.”

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Kata-kata ini terasa seperti alarm bagi kita di Indonesia yang tengah berhadapan dengan banjir informasi. Kita punya banyak akses, tetapi apakah kita menyalakan cahaya ilmu sebagai warisan, atau sekadar menimbun pengetahuan tanpa makna?

Nama-Nama yang Tidak Mati

Kitab Ṭabaqāt menyajikan ulama bukan hanya sebagai tokoh besar, tetapi juga manusia yang hidup dengan pergulatan. Ada yang sederhana, ada yang penuh perjuangan. Inilah yang membuat mereka dekat dengan kita.

Al-Subkī menulis:

“من ذكر العلماء أحياه الله في قلوب السامعين”
“Siapa yang menyebut para ulama, Allah menghidupkannya di hati para pendengar.”

Nama-nama lama memang terukir di halaman kuno, tetapi mereka tetap berbicara pada hati kita. Setiap penyebutan adalah doa, setiap pembacaan adalah kehidupan baru.

Relevansi Abadi untuk Indonesia Hari Ini

Di negeri ini, tantangan umat bukan lagi sekadar perang di medan fisik, melainkan perang melawan kelalaian, keserakahan, dan kehilangan makna hidup. Dengan membaca kitab seperti Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, kita menemukan jalan kembali: kesabaran, kerendahan hati, cinta ilmu, dan warisan spiritual.

Nama-nama lama bukan sekadar monumen sejarah, melainkan taman yang terus menumbuhkan bunga baru di hati generasi. Jika kita mampu mendengar suara mereka, maka bangsa ini tidak akan kehilangan arah.

Al-Subkī telah melakukan tugasnya dengan menyalakan obor. Kini tugas kita adalah membawa obor itu menembus kegelapan zaman.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement