Surau.co. Di tengah riuh abad pertengahan Islam, kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī menjadi mercusuar yang memandu kita menelusuri jejak para ulama. Dari lembarannya, kita mengenal ulama tabaqah keenam, generasi yang lahir dalam pusaran pergulatan ilmu, kekuasaan, dan kerinduan akan cahaya Tuhan. Mereka bagaikan penjaga api yang tak pernah padam, menyalakan obor pengetahuan di kala malam kian pekat.
Ulama tabaqah keenam hidup di abad ketujuh Hijriah, masa yang ditandai oleh dinamika politik Mamluk. Di balik hiruk-pikuk itu, muncul sosok-sosok yang teguh menjaga ilmu dan menyebarkannya. Mereka adalah cermin kesabaran dan keberanian. Dalam kehidupan Indonesia hari ini, semangat itu bisa kita bandingkan dengan para guru di pelosok negeri. Dengan segala keterbatasan, mereka tetap menyalakan api belajar, memastikan anak-anak desa tidak terjebak dalam kegelapan.
Warisan yang Membara dari Kitab Tabaqāt
Al-Subkī menggambarkan para ulama generasi ini dengan penuh rasa hormat. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pemimpin spiritual. Beliau menulis:
“وَكَانُوا حُرَّاسَ الشَّرِيعَةِ، يُذَكِّرُونَ النَّاسَ بِاللَّهِ فِي كُلِّ مَجْلِسٍ”
“Dan mereka adalah para penjaga syariat, yang senantiasa mengingatkan manusia kepada Allah di setiap majelis.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa kehadiran ulama tidak berhenti pada pengajaran fikih atau hukum. Mereka hadir sebagai pengikat batin masyarakat, menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Tuhan. Di Indonesia, kita bisa merasakan nuansa ini dalam tradisi pengajian kampung, di mana guru mengajarkan bukan hanya hukum-hukum Islam, tapi juga menanamkan rasa sabar, ikhlas, dan kasih.
Kesederhanaan yang Menjadi Kekuatan
Para ulama tabaqah keenam hidup dengan sederhana. Mereka tidak terpikat gemerlap dunia. Al-Subkī menuturkan:
“لَمْ يَكُنْ هَمُّهُمْ الدُّنْيَا، بَلْ كَانَ قَصْدُهُمْ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَى الْحَقِّ”
“Tidaklah tujuan mereka dunia, melainkan mengarahkan wajah manusia menuju kebenaran.”
Kesederhanaan ini menjadi energi yang luar biasa. Laksana guru-guru honorer di negeri ini yang bertahan dengan gaji kecil, tetapi dengan tekun mendidik anak-anak bangsa. Mereka menyalakan pelita tanpa berharap imbalan besar.
Cinta yang Membuka Jalan
Ilmu yang dipelihara ulama tabaqah keenam bukan sekadar kumpulan hukum. Ia adalah jalan cinta. Al-Subkī menulis:
“وَإِذَا تَكَلَّمُوا عَنِ الْعِلْمِ أَحْيَوْا الْقُلُوبَ قَبْلَ أَنْ يُحَرِّكُوا الْأَلْسُنَ”
“Apabila mereka berbicara tentang ilmu, mereka menghidupkan hati sebelum menggerakkan lisan.”
Ilmu yang mereka bawa menyentuh rasa. Inilah alasan mengapa murid-murid mereka betah duduk berlama-lama. Ilmu bukan hanya mengisi kepala, tetapi juga menyalakan cinta di dada. Seperti seorang guru yang tidak hanya mengajar matematika, tetapi juga mengajarkan arti jujur, sabar, dan saling menghormati.
Api yang Menyala Hingga Kini
Ulama tabaqah keenam adalah penghubung antara generasi sebelumnya dan sesudahnya. Mereka menjaga kesinambungan ilmu agar tidak terputus. Al-Subkī mencatat:
“بِهِمْ حُفِظَ الْعِلْمُ وَاسْتَمَرَّ، وَلَوْلَاهُمْ لَانْطَفَأَتْ مَصَابِيحُ الْهُدَى”
“Dengan mereka ilmu terjaga dan berlanjut, dan seandainya tanpa mereka, niscaya lampu-lampu petunjuk akan padam.”
Kata-kata ini adalah pengingat. Dalam hidup kita hari ini, sering kali api kecil dalam dada hampir padam karena beban hidup, tekanan ekonomi, dan gelombang informasi yang membingungkan. Tetapi kisah para ulama ini mengajarkan, selalu ada yang menjaga api itu.
Sebagaimana guru, ustaz, dan para pengasuh pesantren di tanah air, mereka adalah penerus dari tradisi mulia ini. Mereka menjaga ilmu, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan laku hidup.
Refleksi untuk Kehidupan Kita
Dari ulama tabaqah keenam, kita belajar bahwa ilmu adalah api yang harus terus dijaga. Tidak cukup hanya menyalakan sekali, tetapi perlu dirawat, ditiup agar tetap menyala, dan dipindahkan ke hati generasi selanjutnya.
Di Indonesia hari ini, ada ribuan cerita guru di pelosok, para pengasuh pesantren yang hidup sederhana, bahkan relawan pendidikan yang bekerja tanpa pamrih. Mereka semua adalah penjaga api zaman ini. Kisah ulama dalam kitab al-Subkī memberi kita kaca untuk bercermin: apakah kita juga mau menjadi penjaga api itu?
Al-Qur’an mengingatkan dalam firman Allah:
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ” (QS. al-Mujādilah: 11)
“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Ayat ini adalah penguatan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi jalan untuk dimuliakan. Maka menjaga ilmu, sebagaimana dilakukan ulama tabaqah keenam, adalah ibadah yang tidak pernah padam.
Penutup
Ulama tabaqah keenam dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah hadir sebagai sosok-sosok yang sederhana, penuh cinta, dan teguh menjaga ilmu. Mereka adalah penjaga api yang menerangi jalan umat. Api itu tidak pernah padam, karena diwariskan dari generasi ke generasi. Kini, api itu ada di tangan kita. Pertanyaannya, apakah kita siap menjaganya?
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
