Khazanah
Beranda » Berita » Abad Ketujuh: Era Mamluk, Di Mana Cahaya dan Bayangan Bercampur

Abad Ketujuh: Era Mamluk, Di Mana Cahaya dan Bayangan Bercampur

Ulama menulis di era Mamluk abad ketujuh dengan cahaya dan bayangan bercampur
Seorang ulama menulis dengan tenang, cahaya lampu minyak menerangi kitab, sementara bayangan besar kastil Mamluk menggantung di latar.

Surau.co. Sejarah Islam tidak pernah berjalan lurus seperti jalan raya yang mulus. Ia lebih menyerupai sungai besar: ada deras arusnya, ada pusaran yang menelan, ada pula aliran yang tenang. Abad ketujuh, masa kekuasaan Mamluk, menjadi saksi percampuran cahaya ilmu dan bayangan fitnah. Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, para ulama muncul sebagai lentera yang menjaga jalan agar umat tidak tersesat.

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Di tengah pergolakan politik dan peperangan, para ulama Syafi‘iyyah tetap menyalakan pelita ilmu. Al-Subkī menuliskan kesaksian tentang mereka dengan penuh penghormatan:

“وكان العلماء في ذلك الزمان كالمصابيح في الظلام، يضيئون القلوب قبل العقول.”
“Para ulama di masa itu bagaikan lampu dalam kegelapan, mereka menerangi hati sebelum menerangi akal.”

Fenomena ini terasa akrab dengan Indonesia hari ini. Ketika media sosial dipenuhi kebingungan dan hoaks, ada para guru yang tenang membimbing murid-muridnya dengan Al-Qur’an dan hadis. Mereka mungkin tak terkenal, namun seperti lampu kecil, mereka tetap mampu memberi arah.

Bayangan yang Menyertai Cahaya

Abad ketujuh bukan hanya masa kejayaan, melainkan juga masa ujian. Intrik politik, perebutan pengaruh, hingga konflik antara penguasa dan ulama kerap muncul. Al-Subkī mencatat dengan getir:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“وكثير من السلاطين لم يعرفوا للعلماء حقهم، فاختلط نور الحق بظلمة الجور.”
“Banyak dari para sultan tidak mengenal hak ulama, sehingga cahaya kebenaran bercampur dengan gelapnya kezaliman.”

Kita bisa melihat pantulan sejarah ini dalam fenomena sosial di Indonesia. Para tokoh agama terkadang diabaikan suaranya, sementara suara kebisingan politik lebih dominan. Namun, sejarah mengajarkan: cahaya tidak pernah benar-benar padam, meski bayangan terus mengikuti.

Jiwa Sosial yang Terikat Ilmu

Di masa Mamluk, ulama Syafi‘iyyah menjadi pengikat masyarakat. Mereka mengajar, menulis, dan menengahi konflik. Dalam kitab tersebut tercatat:

“كانوا يجلسون في المدارس كآباء للأمة، يسمعون الشكاوى ويواسون القلوب.”
“Mereka duduk di madrasah bagaikan ayah bagi umat, mendengarkan keluhan dan menghibur hati.”

Di Indonesia, kita menyaksikan hal serupa. Banyak kiai di kampung yang bukan hanya mengajar kitab kuning, tetapi juga menjadi tempat orang-orang bercerita, mengadu nasib, bahkan mencari penghiburan. Madrasah dan pesantren bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga rumah jiwa.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ilmu yang Menyembuhkan Luka Zaman

Al-Subkī tidak berhenti pada kisah pahit, ia juga menunjukkan bagaimana ilmu menjadi penawar luka sosial. Ia menulis dengan penuh harapan:

“والعلماء كانوا كالدواء للأمة، إذا جرحها الزمان داووها بالقرآن والسنّة.”
“Para ulama bagaikan obat bagi umat, ketika zaman melukainya mereka mengobatinya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”

Inilah pesan yang relevan di era modern. Luka bangsa bukan hanya soal ekonomi atau politik, tetapi juga soal kehilangan arah moral. Maka ilmu, yang diajarkan dengan kasih, menjadi obat yang menghidupkan kembali harapan.

Jalan Panjang yang Harus Ditempuh

Al-Qur’an menegaskan pentingnya kesabaran dalam menghadapi pasang surut sejarah:

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ (النحل: 127)
“Bersabarlah, dan kesabaranmu itu tidak lain kecuali dengan pertolongan Allah.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ulama di abad ketujuh telah menempuh jalan panjang dengan kesabaran. Mereka menulis, mengajar, dan mendidik dalam situasi sulit, tetap yakin bahwa ilmu akan menemukan jalannya. Begitu pula kita hari ini. Di tengah percampuran cahaya dan bayangan, kita perlu meneguhkan hati untuk terus belajar, terus mengajar, dan terus menyalakan lampu kecil itu.

Indonesia Sebagai Cermin Masa Lalu

Masyarakat kita bisa bercermin pada era Mamluk. Bayangan memang ada, berupa korupsi, ketidakadilan, dan kebingungan moral. Namun cahaya juga hadir, melalui guru, kiai, dan pengajar yang setia menjaga warisan. Kita ditantang untuk memilih: larut dalam bayangan, atau menjaga cahaya agar tetap menyinari jalan.

Seperti ulama yang tercatat dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, kita pun bisa menjadi penulis dan pewaris zaman ini. Tugas kita adalah menyulam cahaya agar generasi mendatang tidak hanya mewarisi bayangan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement