Opinion
Beranda » Berita » Menyamakan Cukai Rokok Dengan Rahmat Termasuk Syubhat ?

Menyamakan Cukai Rokok Dengan Rahmat Termasuk Syubhat ?

Menyamakan Cukai Rokok dengan Rahmat Termasuk Syubhat ?
Menyamakan Cukai Rokok dengan Rahmat Termasuk Syubhat ?

 

SURAU.CO – بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ  Dunia ini sementara, akhirat abadi. Allah ﷻ berfirman : ‘Kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, sedangkan negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya’ (QS. Al-‘Ankabut: 64).

Kalau kita masih sibuk mengejar dunia, lalu kapan kita akan serius menyiapkan akhirat ?

“Hemat saya, saya tak berujar kalau penerimaan negara dari cukai rokok adalah bentuk rahmat Allah. Malah saya bertanya. Tapi artikel Anda justru memberi argumen palsu. Budayakan membaca sebelum posting. Jangan asal posting artikel saja!”

Berselimut “Pertanyaan”, Tapi Mengandung Isyarat Persetujuan

Penanya ingin menghindar dari kritik dengan cara menyatakan bahwa ia hanya bertanya, bukan menyatakan.
Namun bentuk pertanyaannya sendiri sudah menunjukkan syubhat dan pemutarbalikan logika hukum syariat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Pertanyaan yang dilontarkan :

“Kalau hasil cukai rokok dimanfaatkan negara untuk rakyat, berarti apakah itu bukan rahmat dari Allah?”

Pertanyaan seperti ini bukan netral, tapi mengandung insinuasi : seakan-akan jika sesuatu mendatangkan manfaat ekonomi, maka tidak mungkin menjadi penyebab murka Allah ﷻ.

Ini adalah syubhat klasik yang sangat tajam.

Logikanya keliru :

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kalau logika ini diterima, maka :

Miras yang dikonsumsi turis dan hasil pajaknya menguntungkan negara, berarti juga rahmat ?
Prostitusi yang tersembunyi tapi menghasilkan pemasukan, juga dianggap rahmat ?
Lalu apakah dukun, pembuat jimat, atau tukang judi juga bisa dianggap sumber rahmat jika menghasilkan uang?

Syubhat seperti ini bukan sekadar bertanya, tapi membelokkan hukum syariat dengan dalih ‘manfaat’ duniawi, padahal Allah ﷻ telah berfirman :

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan… (QS. Al-Baqarah: 42)

Menuduh Artikel sebagai “Argumen Palsu”

Tuduhan “argumen palsu” atau strawman fallacy adalah serangan balik emosional, bukan bantahan ilmiah.
Jika memang tidak merasa menyatakan bahwa “cukai rokok adalah rahmat”, maka silakan jelaskan maksud pertanyaannya secara objektif.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Apakah pertanyaannya :

  1. Menyudutkan fatwa haram rokok dengan dalih manfaat ?
  2. Berusaha membelokkan kesimpulan hukum dengan alasan pemasukan negara ?
  3. Atau sekadar ingin tahu (padahal gaya bahasanya penuh sindiran) ?

Jika maksud pertanyaannya benar-benar netral, mengapa harus menyerang dan mengejek artikel bantahan ?

Mengapa tidak bersikap tawadhu dan terbuka terhadap nasihat syar’i ?

Penjelasan Kebenaran : Hasil Haram Tetap Haram, Sekalipun Bernilai Ekonomi

Rokok tetap haram meskipun ada manfaat ekonomi.
Ini kaidah syariat yang disepakati para ulama besar dunia, bukan “tafsir pribadi”.

Dalilnya :

Allah ﷻ berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.” (QS. Al-Baqarah: 219)

Ayat ini jelas : sesuatu boleh saja membawa manfaat dunia, tetapi tetap haram jika mengandung dosa besar dan mudarat.

Maka meskipun rokok menyumbang triliunan ke APBN, tetap tidak bisa disebut sebagai “rahmat” — justru itu adalah istidraj (kemudahan yang menjerumuskan) dari Allah ﷻ kepada orang-orang yang tidak bersyukur dan membangkang syariat.

Kesimpulan: Gaya Liberal Bukan Manhaj Salaf

Karena komentar itu berisi logika batil yang diselubungi syubhat, bukan pertanyaan murni, kita pun membantahnya secara terang-terangan.

Tuduhan “argumen palsu” adalah bentuk lari dari substansi, karena tidak bisa menjawab isi kebenaran.
Mengkritik syariat dengan dalih manfaat ekonomi adalah gaya kaum Liberal, bukan Manhaj Salaf.

Menyampaikan kebenaran secara tegas tidak akan membuatnya menjadi salah. Dan menyampaikan kesalahan dengan bahasa halus tidak akan membuatnya menjadi benar.
Jika niatnya benar-benar ingin mencari kebenaran, maka jangan alergi terhadap koreksi.

Tapi jika hanya ingin menyerang, maka ketahuilah : Kebatilan tidak akan membuat kami diam.

Kebenaran itu WAJIB ada Dalilnya

Dalam sidang dunia saja hakim meminta bukti, apalagi dalam agama.

Allah ﷻ berfirman : ‘Katakanlah : Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang-orang yang benar’ (QS. Al-Baqarah: 111). 

Jadi, mana dalil shahih dari Nabi ﷺ tentang amalan yang kamu bela ?  Kalau tidak ada, kenapa kamu masih mempertahankannya? Wallahu A’lam, Ustad Firanda Andirja Hafidzahullah, (eya Chaca)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement