Surau.co. Kesabaran adalah kunci yang membuka pintu keberlanjutan. Seperti sungai yang tak pernah lelah mengalir, begitu pula perjalanan mazhab ini dalam abad keenam. Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī merekam jejak ulama yang bukan hanya menjaga keutuhan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai kesabaran sebagai pondasi kokoh. Dalam konteks sosial Indonesia, semangat itu masih relevan, sebab banyak masyarakat kecil yang bertahan di tengah arus perubahan dengan daya sabar.
Kesabaran Menjadi Nafas Perjuangan
Dalam sejarah, ulama Syafi‘iyyah generasi keenam tidak hanya hidup dalam ruang akademis, melainkan juga menghadapi pergolakan politik dan sosial. Al-Subkī menuliskan tentang mereka dengan penuh penghormatan, seakan mengingatkan bahwa ilmu tak bisa dipisahkan dari kesabaran.
Salah satu kutipan dalam kitab itu berbunyi:
“وكان من العلماء الصابرين على الشدائد، لا يزحزحه البلاء عن طريق العلم.”
“Ia adalah bagian dari ulama yang sabar menghadapi kesulitan, ujian tidak pernah memalingkannya dari jalan ilmu.”
Fenomena ini dapat kita lihat pula dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya para petani dan nelayan. Mereka sabar menanti musim, bekerja dengan tekun, meski hasilnya sering tak sebanding dengan jerih payah. Kesabaran itu adalah bentuk keberkahan yang diwariskan dari sejarah.
Cahaya Ilmu yang Menyinari Kesabaran
Al-Subkī mencatat bahwa kesabaran para ulama bukan sekadar menahan diri, tetapi juga sebuah cara untuk menjaga kemurnian ilmu. Dalam satu riwayat beliau menulis:
“كان علمه يسير مع صبره، حتى اجتمع فيه النور والاحتمال.”
“Ilmunya berjalan bersama kesabarannya, hingga terkumpullah cahaya dan keteguhan dalam dirinya.”
Kutipan ini menunjukkan bahwa ilmu tanpa sabar akan mudah rapuh, sementara sabar tanpa ilmu bisa kering. Perpaduan keduanya membentuk pribadi yang matang, yang mampu menuntun umat. Dalam konteks kekinian, banyak guru di desa-desa Indonesia yang melanjutkan estafet itu. Mereka mengajar dengan gaji kecil, namun sabar menanam benih ilmu di hati generasi muda.
Jalan Panjang yang Tidak Sunyi
Perjalanan mazhab Syafi‘i pada abad keenam penuh rintangan. Namun, justru di situlah nilai kesabaran tampak jelas. Ulama yang disebut al-Subkī digambarkan dengan kalimat:
“سار في طريق طويل، ولكنه لم يملّ، بل وجد فيه راحة الروح.”
“Ia berjalan di jalan panjang, namun tidak pernah bosan, bahkan menemukan ketenangan jiwa di dalamnya.”
Ini selaras dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ (النحل: 127)
“Bersabarlah, dan kesabaranmu itu tidak lain kecuali dengan pertolongan Allah.”
Makna ayat ini menguatkan bahwa kesabaran bukan beban, melainkan anugerah. Di Indonesia, orang-orang sederhana menemukan ketenangan melalui doa dan ikhtiar, meskipun jalan hidup terasa panjang dan melelahkan.
Kesabaran sebagai Warisan Sosial dan Spiritual
Ulama abad keenam memberikan teladan bahwa kesabaran adalah warisan spiritual yang tak lekang oleh waktu. Al-Subkī menuliskan:
“ترك ميراثه صبراً للناس، كما ترك علمه كتاباً للطلاب.”
“Ia meninggalkan warisan kesabaran bagi manusia, sebagaimana ia meninggalkan ilmu dalam kitab untuk para pelajar.”
Warisan itu kini terlihat dalam berbagai tradisi pesantren di Indonesia. Para santri belajar dengan fasilitas terbatas, tetapi tetap bertahan. Kesabaran mereka menjadikan ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan cahaya yang memandu hidup.
Menyulam Kesabaran dalam Kehidupan Kini
Jika kita bercermin dari ulama Syafi‘iyyah, sabar bukan berarti diam. Sabar adalah gerak, sabar adalah keteguhan untuk terus melangkah. Di Indonesia, banyak keluarga yang hidup dalam keterbatasan, namun tetap membangun semangat pendidikan untuk anak-anaknya. Itulah sabar dalam bentuk paling nyata.
Kesabaran adalah jalan panjang, dan jalan itu masih terbentang bagi kita semua. Mazhab ini, dalam abad keenam, telah menunjukkan bahwa kesabaran adalah kekuatan terbesar. Maka di zaman modern, kita pun dipanggil untuk berjalan di jalan panjang kesabaran itu, agar ilmu tetap hidup dan umat tetap terjaga.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
