Surau.co. Abad kelima hijriah adalah masa di mana ilmu menemukan rumahnya yang kokoh, yaitu madrasah. Dari sana, lahir ribuan ulama yang tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga menanamkan kebijaksanaan hidup. Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī mencatat riwayat mereka dengan penuh ketelitian, menjadikan sejarah bukan sekadar deretan nama, melainkan cerita yang masih hidup hingga hari ini.
Di bumi Indonesia, gema tradisi itu masih terdengar. Santri yang duduk bersila di serambi pesantren, mengaji kitab kuning dengan cahaya lampu redup, adalah cerminan bunga yang tumbuh dari taman bernama madrasah. Mereka tumbuh bukan hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan jiwa yang ditempa kesabaran.
Madrasah Sebagai Pusat Kehidupan
Madrasah pada abad kelima adalah lebih dari sekadar tempat belajar. Ia ibarat taman yang menghidupkan, dengan ulama sebagai penjaga tanah, dan santri sebagai bunga yang bermekaran. Dalam kitabnya, al-Subkī menulis tentang peran ulama dalam menjaga keseimbangan antara ilmu dan akhlak.
قال الإمام الغزالي: “العلم بلا عمل جنون، والعمل بلا علم لا يكون.”
Imam al-Ghazālī berkata: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna.”
Kata-kata ini adalah pupuk bagi taman keilmuan. Ilmu yang diajarkan di madrasah tidak pernah dipisahkan dari pengamalan, karena keduanya adalah dua sisi dari satu jalan menuju kebenaran.
Bunga yang Tumbuh di Tengah Ujian
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan bagaimana pesantren tetap bertahan meski di tengah arus modernisasi. Anak-anak muda meninggalkan kenyamanan rumah demi mencari ilmu di tempat yang sederhana. Mereka tidak hanya belajar, tetapi juga menempa diri dalam kedisiplinan.
Hal ini mengingatkan pada kisah para santri terdahulu yang penuh kesungguhan. Dalam catatan al-Subkī, disebutkan tentang keistiqamahan para penuntut ilmu yang hidup dalam kesederhanaan namun berjiwa kaya.
قال تاج الدين السبكي: “ما رأيت أشرف من قلبٍ امتلأ بحب العلم.”
Al-Subkī berkata: “Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mulia daripada hati yang dipenuhi dengan cinta ilmu.”
Kutipan ini menjadi saksi betapa kecintaan kepada ilmu mampu melahirkan manusia yang lapang, bahkan di tengah kekurangan.
Cahaya Ilmu yang Menyembuhkan
Di Indonesia, pesantren sering menjadi pusat penyelesaian masalah sosial. Dari sana lahir tokoh-tokoh masyarakat yang menuntun rakyat dengan hikmah. Hal ini sejalan dengan pernyataan ulama dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah.
قال الإمام الجويني: “من أراد صلاح الدنيا والآخرة فليلزم طريق العلماء.”
Imam al-Juwaynī berkata: “Barangsiapa ingin kebaikan dunia dan akhirat, hendaklah ia menempuh jalan para ulama.”
Madrasah bukan hanya tempat menghafal, melainkan ruang di mana jiwa disembuhkan. Setiap santri adalah bunga yang harum, menebarkan ketenangan bagi lingkungan sekitarnya.
Tradisi yang Menjadi Warisan
Tradisi madrasah adalah warisan yang tak lekang oleh waktu. Abad kelima mencatat lahirnya ulama besar yang menjadi penopang mazhab Syafi‘i, dan tradisi itu masih hidup hingga kini di pesantren Nusantara.
قال أبو حامد الإسفراييني: “المذهب الشافعي بحرٌ لا ينفد، من غاص فيه وجد الدرر.”
Abu Hāmid al-Isfarāyinī berkata: “Mazhab Syafi‘i adalah lautan yang tidak bertepi, siapa yang menyelam ke dalamnya akan menemukan mutiara.”
Seperti mutiara di dasar laut, ilmu yang diwariskan ulama tetap berkilau meski zaman berubah.
Menyiram Taman di Era Modern
Hari ini, tantangan yang dihadapi santri berbeda dengan masa lalu. Mereka harus berhadapan dengan derasnya informasi digital, budaya populer, dan godaan dunia yang serba instan. Namun, madrasah tetaplah taman yang menumbuhkan jiwa dengan kesabaran, kerendahan hati, dan cinta ilmu.
Masyarakat Indonesia perlu terus menyiram taman ini. Santri adalah bunga yang tidak boleh layu, karena dari mereka lahir harapan untuk masa depan. Jika ilmu terus dijaga, tradisi akan tetap hidup, dan nama-nama ulama abad kelima akan terus bergaung.
Refleksi untuk Zaman Kita
Abad kelima adalah pengingat bahwa ilmu dan tradisi tidak pernah mati. Madrasah adalah taman yang terus hidup, dan santri adalah bunga yang akan selalu mekar. Dari halaman kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, kita belajar bahwa setiap tetes ilmu adalah benih yang menumbuhkan kehidupan.
Indonesia hari ini masih memiliki taman itu. Pesantren, dengan segala kesederhanaannya, adalah ruang di mana hati ditempa, ilmu ditanamkan, dan harapan tumbuh. Selama taman ini dijaga, bunga-bunga akan terus bermekaran, menyebarkan keharuman hikmah ke seluruh penjuru zaman.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
