Surau.co. Menyebut abad keempat dalam sejarah ulama Syafi‘iyyah berarti menyelami masa yang penuh ujian. Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī mencatat perjalanan tokoh-tokoh yang menjaga agar cahaya ilmu tidak padam. Di tengah pergantian politik, pergolakan pemikiran, dan pergumulan umat, para ulama tampil sebagai tabib jiwa. Mereka menyembuhkan dengan kalam, menenangkan dengan hikmah, dan menuntun dengan hujjah.
Fenomena di Indonesia seolah mengulang kisah itu. Banyak masyarakat kini menghadapi kerumitan hidup: harga yang melambung, persaingan kerja, hingga disrupsi digital. Namun, pesantren, majelis taklim, dan guru-guru agama tetap hadir sebagai pelipur dan penuntun. Waktu memang menguji, tetapi ilmu selalu punya cara menyembuhkan.
Ilmu Sebagai Penawar Luka
Para ulama abad keempat hidup di tengah arus yang tak mudah. Mereka tidak hanya menulis kitab, melainkan juga mendidik hati umat. Al-Subkī menulis dengan penuh keteduhan:
“الْعِلْمُ دَوَاءُ الْقُلُوبِ، وَمَنْ فَقَدَهُ كَانَ كَالْمَرِيضِ بِلَا طَبِيبٍ”
“Ilmu adalah obat bagi hati, dan siapa yang kehilangan ilmu bagaikan orang sakit tanpa tabib.” (Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah).
Kata-kata ini mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar kumpulan hukum, melainkan penawar gundah. Di negeri kita, tradisi itu hidup dalam petuah seorang kiai atau ustaz yang menenangkan keresahan jamaah dengan dalil dan nasihat sederhana.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
(QS. Al-Isrā’: 82)
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”
Seperti air yang menyejukkan tanah kering, ilmu menjadi oase di tengah kegersangan zaman.
Ujian Zaman, Kekuatan Jiwa
Abad keempat menjadi saksi bagaimana ilmu diuji oleh dinamika sosial dan politik. Namun, para ulama tidak larut dalam pertentangan. Mereka tetap menegakkan hujjah dengan ketenangan. Al-Subkī menukil ungkapan mendalam:
“إِذَا ضَاعَ الْعِلْمُ ضَاعَتِ الْأُمَّةُ، وَإِذَا ثَبَتَ الْعِلْمُ ثَبَتَتْ”
“Jika ilmu hilang, hilanglah umat; jika ilmu tegak, umat pun tegak.”
Betapa relevannya kalam itu bagi bangsa ini. Tanpa pendidikan yang kokoh, bangsa bisa kehilangan arah. Karena itu, menjaga ilmu berarti menjaga masa depan. Di sekolah-sekolah kecil di desa, atau di sudut kota yang sepi, guru tetap mengajarkan anak-anak membaca, menulis, dan memahami Al-Qur’an. Mereka adalah penerus ulama yang menegakkan pilar kehidupan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini mengikat erat, bahwa peran ulama bukan sekadar mengajar, tetapi juga menjaga kehidupan umat dari keterpurukan.
Cahaya yang Tetap Menyala
Di tengah derasnya gelombang, ulama abad keempat memantapkan langkah dengan ketulusan. Mereka menulis kitab, berdialog, dan membimbing generasi setelahnya. Al-Subkī menggambarkan:
“كَانُوا مِصْبَاحًا فِي الدُّجَى، يَهْتَدِي بِهِمْ السَّائِرُ وَيَسْتَرِيحُ الْمُتْعَبُ”
“Mereka adalah pelita dalam gelap, penunjuk jalan bagi pejalan, dan penghibur bagi yang letih.”
Dalam kehidupan modern, sosok semacam ini tetap kita rindukan. Banyak orang mencari cahaya di tengah kegelapan media sosial, hoaks, dan debat tak berkesudahan. Namun, suara ulama yang jernih selalu hadir sebagai penerang.
Di Indonesia, kita bisa melihatnya dalam peran para ustaz muda yang menggunakan teknologi untuk menyebarkan dakwah. Ada yang menulis, ada yang berceramah melalui gawai. Mereka berusaha menjadi pelita, meski zaman berubah.
Hikmah yang Mengalir Hingga Kini
Ulama abad keempat tidak pernah mengira bahwa suara mereka akan sampai ke kita hari ini. Namun, melalui kitab seperti Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, hikmah itu tetap hidup. Al-Subkī menutup kisah mereka dengan nada penuh harapan:
“مَنْ أَحْيَا عِلْمًا فَكَأَنَّهُ أَحْيَا قَلْبًا، وَمَنْ أَحْيَا قَلْبًا فَقَدْ أَحْيَا أُمَّةً”
“Barangsiapa menghidupkan ilmu, maka seakan ia menghidupkan hati; dan siapa menghidupkan hati, maka ia menghidupkan umat.”
Ungkapan itu seakan doa yang menyejukkan. Bahwa ilmu yang dijaga dengan cinta tidak pernah mati, melainkan terus mengalir, menyembuhkan luka zaman, dan menyalakan harapan bagi generasi setelahnya.
* Reza AS
Pengaasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
