Opinion
Beranda » Berita » Perdebatan Bunga Bank, Antara Idealitas dan Realitas

Perdebatan Bunga Bank, Antara Idealitas dan Realitas

Idealitas dan realitas bunga bank
Ilustrasi akad pinjaman pada bank konvensional. Foto: Perplexity

SURAU.CO. Perdebatan mengenai bunga bank bukan sekadar wacana fikih yang abstrak, melainkan persoalan nyata yang menyentuh kehidupan jutaan umat setiap hari. Di satu sisi, ajaran Islam menegaskan larangan riba sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi. Di sisi lain, sistem keuangan modern hampir sepenuhnya beroperasi dengan mekanisme bunga. Hal ini menimbulkan dilema antara kebutuhan ekonomi dan kepatuhan syariat. Realitas inilah yang menjadikan isu bunga bank selalu relevan untuk dikaji, baik dari sudut pandang sosial, ekonomi, maupun teologis.

Apalagi Indonesia, dengan statusnya sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki tanggung jawab moral sekaligus tantangan besar untuk menemukan jalan tengah antara idealitas ajaran Islam dan tuntutan praktik ekonomi global.

Bagi banyak orang Indonesia, bank bukan sekadar tempat menabung, melainkan juga penopang kebutuhan hidup, mulai dari kredit rumah hingga modal usaha. Namun, bagi umat Islam, ada satu pertanyaan besar yang tak pernah selesai, apakah bunga bank termasuk riba yang dilarang agama? Pertanyaan ini bukan hanya soal hukum fikih, tetapi juga menyangkut keadilan sosial, akses keuangan, dan masa depan ekonomi umat. Karena itu, membicarakan bunga bank berarti membicarakan bagaimana umat Muslim menata hidupnya di tengah arus ekonomi modern.

Realitas Sosial-Ekonomi

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim menghadapi tantangan serius dalam membangun sistem perbankan yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Sejak berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992, perbankan syariah menunjukkan perkembangan cukup signifikan, baik dari sisi regulasi maupun inovasi produk. Namun, jika dibandingkan dengan dominasi bank konvensional, pangsa pasar perbankan syariah hingga kini masih terbilang kecil. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara potensi umat Islam yang menjadi pengguna utama perbankan syariah dengan realitas praktik di lapangan. Jumlah bank syariah masih terbatas, begitu pula dengan basis nasabahnya yang belum sebanding dengan pengguna layanan bank konvensional.

Banyak masyarakat masih menjadikan bank konvensional sebagai pilihan utama dalam menabung, mengakses kredit, maupun melakukan transaksi keuangan sehari-hari. Faktor yang melatarbelakanginya beragam. Pertama, jangkauan bank syariah belum merata di seluruh daerah, sehingga akses masyarakat terhadap layanan ini relatif terbatas. Kedua, produk dan layanan bank syariah belum sepenuhnya kompetitif dengan produk bank konvensional. Baik dari segi variasi, kecepatan, maupun biaya layanan. Ketiga, kesadaran masyarakat terhadap fiqh muamalah masih rendah, sehingga banyak nasabah yang belum memahami perbedaan mendasar antara bunga bank dengan skema pembiayaan syariah. Tidak sedikit pula masyarakat yang lebih mengutamakan faktor praktis, seperti jarak tempuh ke kantor bank, ketimbang aspek syariah.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Dalam konteks inilah, perdebatan mengenai bunga bank menemukan relevansinya. Jika semua bentuk bunga merupakan riba yang haram tanpa memberi solusi, maka jutaan umat Islam akan terus terjebak dalam praktik yang mereka sendiri tidak pahami sepenuhnya. Para ahli seharusnya memberikan solusi yang aplikatif dalam diskursus tentang bunga bank,  bukan hanya pada penegasan hukum halal-haram. Misalnya dengan upaya membangun ekosistem perbankan syariah yang inklusif, akses yang mudah, dan kompetitif. Dengan cara inilah dapat mengarahkan umat keluar dari praktik ribawi menuju sistem keuangan yang lebih adil, transparan, dan selaras dengan maqashid syariah.

Implikasi terhadap Perbankan Syariah

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menegaskan keharaman bunga bank mendorong lahirnya sistem perbankan syariah di Indonesia. Kehadiran bank-bank syariah merupakan respons terhadap kebutuhan umat Muslim untuk mendapatkan layanan keuangan yang selaras dengan prinsip syariat. Namun, ketika praktik perbankan syariah berjalan di lapangan, berbagai persoalan masih muncul.

Sebagian kalangan menilai bahwa sejumlah produk syariah belum sepenuhnya terlepas dari pola pikir perbankan konvensional. Contohnya, akad murabahah yang seharusnya berfungsi sebagai transaksi jual beli dengan keuntungan wajar, namun sering dipersepsikan sekadar mengganti istilah bunga dengan margin keuntungan tetap yang sifatnya tidak jauh berbeda dari sistem konvensional.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa esensi perbankan syariah tidak berhenti pada pemberian label “syariah,” melainkan harus menegakkan nilai-nilai inti Islam dalam muamalah. Prinsip keadilan menuntut agar semua pihak dalam transaksi memperoleh haknya tanpa ada eksploitasi. Prinsip kemaslahatan mengarahkan agar produk keuangan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas, terutama dalam memperkuat sektor riil, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan menyejahterakan umat. Sementara itu, prinsip transparansi menekankan pentingnya kejelasan akad, keterbukaan informasi, serta kejujuran dalam setiap transaksi.

Dengan demikian, perbankan syariah perlu menginternalisasi nilai-nilai syariah secara substansial, bukan hanya melakukan inovasi produk. Kemudian membangun kepercayaan masyarakat dengan menjalankan mekanisme yang benar-benar berbeda dari praktik ribawi. Bank syariah perlu menjawab kebutuhan ekonomi modern secara lebih adil dan berkelanjutan.

Generasi Sandwich dan Birrul Walidain: Mengurai Dilema dengan Solusi Langit

Antara Idealitas dan Realitas

Secara normatif, umat Islam tentu mendambakan kehidupan ekonomi yang sepenuhnya terbebas dari praktik riba, karena riba dipandang merusak keadilan sosial dan menggerus keberkahan harta. Namun, dalam realitasnya, menghapus bunga bank secara menyeluruh bukanlah langkah yang bisa diwujudkan secara instan. Struktur keuangan global masih beroperasi dengan fondasi bunga sebagai instrumen utama, dan Indonesia sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia tidak bisa serta-merta melepaskan diri dari mekanisme tersebut tanpa menanggung konsekuensi serius bagi stabilitas ekonomi nasional.

Dalam situasi seperti ini, peran ulama, cendekiawan, dan praktisi Muslim menjadi sangat krusial. Mereka harus aktif melakukan ijtihad kontekstual dengan menggali prinsip-prinsip dasar syariah, lalu mengaitkannya dengan kebutuhan ekonomi modern yang kompleks. Ijtihad ini tidak hanya menuntut keberanian intelektual, tetapi juga kedalaman analisis terhadap dinamika ekonomi global, agar solusi yang lahir tidak sekadar ideal secara normatif, melainkan juga aplikatif dalam praktik.

Perbedaan pendapat para ulama dan tokoh Islam tentang praktik bunga bank dapat memperkaya diskursus dalam dunia perbankan. Sebagian pendapat menekankan pada aspek moral ajaran Islam dan sebagian lainnya menegaskan larangan tegas terhadap riba, harusnya menjadi ruang dialog sehat. Sehingga umat tidak terjebak pada sikap hitam-putih, tetapi mampu melihat berbagai alternatif solusi yang tetap berakar pada syariah sekaligus relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Dengan cara ini, umat Islam dapat bergerak dari idealitas menuju realitas tanpa kehilangan kompas nilai dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Dampak Sosial dari Sistem Bunga

Sistem bunga dalam praktik perbankan membawa konsekuensi sosial yang tidak bisa diabaikan. Mekanismenya sering kali memperbesar jurang kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Mereka yang memiliki modal besar dapat menambah kekayaan melalui bunga simpanan atau instrumen keuangan berbasis utang, sementara masyarakat kecil yang bergantung pada pinjaman justru semakin terjerat dalam beban bunga yang menumpuk. Akibatnya, alih-alih menjadi sarana pemberdayaan, sistem ini dapat menciptakan lingkaran ketidakadilan ekonomi.

Fenomena rent seeking (mencari keuntungan tanpa kerja produktif) melalui bunga tinggi juga bisa melemahkan ekonomi. Orientasi pada keuntungan finansial semata tanpa menghasilkan nilai tambah nyata bagi perekonomian justru melemahkan sektor riil. Hal ini berpotensi menghambat distribusi kekayaan yang adil, menurunkan daya saing ekonomi, serta memperbesar risiko eksploitasi terhadap kelompok rentan.

Hidup Lambat (Slow Living) ala Rasulullah: Menemukan Ketenangan di Kitab Nawawi

Meskipun sebagian ulama mencoba menoleransi praktik bunga bank dengan alasan maslahat, umat Islam tetap harus bersikap kritis dan waspada. Kehati-hatian diperlukan agar tidak terjebak dalam sistem yang pada hakikatnya merugikan pihak lemah dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang ditekankan Islam.

Menguatkan Ekonomi Syariah Sebagai Solusi

Solusi yang paling realistis bagi umat Islam dalam menghadapi dilema bunga bank adalah dengan memperkuat sistem ekonomi syariah secara menyeluruh. Pemerintah, ulama, akademisi, dan praktisi keuangan harus berkolaborasi aktif dalam membangun ekosistem yang kokoh dan berdaya saing. Melakukan upaya ini dengan memperluas akses bank syariah hingga ke pelosok daerah agar masyarakat tidak hanya terpaku pada bank konvensional karena faktor jarak.

Selain itu, para pelaku industri keuangan syariah harus menghadirkan produk yang inovatif dan kompetitif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Merancang produk keuangan syariah yang sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat, baik untuk konsumsi maupun produktif. Kemudian, pemerintah dan lembaga pendidikan harus menanamkan literasi keuangan syariah sejak dini melalui pendidikan formal dan nonformal. Masyarakat perlu mendapatkan pendidikan agar memahami alasan di balik pengharaman riba dan pentingnya sistem keuangan yang adil dalam Islam.

Yang tidak kalah penting, lembaga keuangan syariah wajib menjaga integritas dan konsistensi prinsipnya, agar tidak terjebak dalam praktik “sekadar mengganti nama” bunga menjadi margin, melainkan benar-benar menegakkan nilai keadilan, kemaslahatan, dan transparansi. Dengan begitu, umat Islam bisa memiliki alternatif nyata untuk menghindari bunga bank, tanpa harus terjebak dalam dilema antara kebutuhan ekonomi dan kepatuhan syariat.

Sebagai Muslim, kita diajarkan untuk memilih jalan yang membawa keberkahan dan menjauhkan dari kezaliman. Baik yang memandang bunga bank haram maupun yang membolehkan dalam batas tertentu, keduanya sama-sama berangkat dari niat menjaga keadilan ekonomi umat. Maka, tugas kita adalah memperkuat sistem ekonomi syariah agar semakin inklusif, efisien, dan berdaya saing. Dengan begitu, umat Islam tidak hanya terhindar dari riba, tetapi juga berkontribusi membangun peradaban ekonomi yang adil dan berkelanjutan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement