Surau.co. Ketika membicarakan suara ulama Tabaqah Kedua, kita sedang menyingkap halaman yang penuh dengan hikmah dalam sejarah Islam. Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī menghadirkan narasi hidup para murid Imam al-Syāfi‘ī yang kemudian menyalakan obor ilmu di berbagai penjuru dunia Islam. Di balik nama-nama itu, terdapat denyut kehidupan manusia: guru yang mendidik dengan kesabaran, murid yang menyalin ilmu dengan tinta bercampur air mata, serta masyarakat yang menunggu jawaban atas persoalan zaman.
Fenomena sosial di Indonesia memberi gambaran paralel. Banyak pesantren, majelis ilmu, hingga forum diskusi anak muda masih bergantung pada tradisi sanad keilmuan. Sebagaimana ulama pada abad ketiga hijriyah menjaga cahaya ajaran, begitu pula para kiai dan guru di negeri ini berusaha agar generasi muda tetap terhubung dengan sumber-sumber hikmah yang sahih.
Menyalakan Cahaya di Tengah Gelap
Tabaqah Kedua dihuni oleh ulama yang mengambil langsung dari Imam al-Syāfi‘ī maupun murid-murid senior beliau. Mereka adalah penjaga, sekaligus penyebar ajaran yang kemudian menjadi mazhab luas di dunia Islam. Al-Subkī menuliskan dengan penuh cinta:
“وَكَانُوا كَأَنَّهُمُ النُّجُومُ فِي السَّمَاءِ، يُهْتَدَى بِهِمْ وَيُنْتَفَعُ بِنُورِهِمْ”
“Mereka bagaikan bintang-bintang di langit, yang menjadi petunjuk arah dan manfaat dari cahaya mereka.” (Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah).
Ungkapan ini membuat kita merenung. Jika para ulama itu adalah bintang, maka kita yang hidup hari ini adalah para pejalan malam. Tanpa cahaya mereka, jalan terasa gelap dan arah bisa kabur.
Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
(QS. As-Sajdah: 24)
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
Ayat ini adalah cermin kesabaran ulama Tabaqah Kedua dalam menjaga kemurnian ilmu.
Riuh Angin Kalam Hikmah
Kalam hikmah mereka menyebar seperti angin. Tidak selalu terlihat, tetapi terasa dampaknya. Dalam kitabnya, al-Subkī menukil kata-kata penuh makna:
“الْعِلْمُ مِيرَاثٌ يُنْقَلُ كَمَا يُنْقَلُ الدَّمُ فِي الْعُرُوقِ”
“Ilmu adalah warisan yang berpindah sebagaimana darah mengalir dalam urat.”
Ungkapan itu memperlihatkan betapa ajaran tidak sekadar kata tertulis, melainkan denyut yang hidup dalam tubuh umat.
Masyarakat Indonesia sering menyaksikan betapa ilmu diwariskan di pesantren. Dari seorang kiai ke santri, lalu ke santri berikutnya. Sama halnya dengan ulama Tabaqah Kedua yang menjadi simpul, agar ajaran Imam al-Syāfi‘ī tidak hilang ditelan zaman.
Persaudaraan Ilmu yang Tak Pernah Padam
Kisah para murid Imam al-Syāfi‘ī tidak pernah sekadar tentang teks hukum. Ia adalah cerita persaudaraan. Al-Subkī mencatat:
“كَانُوا يَجْتَمِعُونَ عَلَى الْحَقِّ كَمَا تَجْتَمِعُ الْقُلُوبُ عَلَى الْمَحَبَّةِ”
“Mereka berkumpul di atas kebenaran sebagaimana hati-hati yang berkumpul dalam cinta.”
Dari sini kita belajar, pertemuan ulama bukan hanya forum kajian, melainkan ruang batin untuk saling menguatkan. Di Indonesia, tradisi semacam ini masih tampak dalam halaqah, pengajian kitab, hingga forum kajian daring yang kini marak di kalangan muda.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengikat hati kita dengan hati para ulama Tabaqah Kedua: mereka yang menempuh jalan ilmu dengan penuh kerendahan hati.
Refleksi untuk Zaman Kita
Menggali riwayat suara ulama Tabaqah Kedua bukan hanya nostalgia sejarah. Ia adalah refleksi agar generasi muda Indonesia tidak kehilangan arah dalam pusaran zaman. Riuh media sosial seringkali membuat manusia gamang. Namun sebagaimana angin membawa suara ulama masa lalu, demikian pula kita bisa merasakan hikmah mereka lewat kitab dan sanad yang hidup.
Al-Subkī menutup sebuah bagian dengan ungkapan yang menusuk jiwa:
“مَنْ لَمْ يَذُقْ حَلاوَةَ الْعِلْمِ لَمْ يَجِدْ طَعْمَ الْحَيَاةِ”
“Barangsiapa tidak merasakan manisnya ilmu, ia tidak akan menemukan rasa kehidupan.”
Kata-kata ini menjadi penutup indah, sekaligus doa. Semoga kita, umat yang hidup jauh setelah mereka, tetap bisa mengecap manisnya ilmu yang diwariskan dengan penuh kesabaran.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
