Khazanah
Beranda » Berita » Generasi Kedua: Cahaya yang Menyala di Tengah Malam Abad Ketiga

Generasi Kedua: Cahaya yang Menyala di Tengah Malam Abad Ketiga

Ulama Syafi‘iyah generasi kedua dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī.
Ilustrasi ulama Syafi‘iyah generasi kedua sebagai cahaya di tengah kegelapan abad ketiga, merefleksikan keteduhan ilmu.

Surau.co. Generasi kedua dalam sejarah para ulama bukan sekadar penghubung antara awal dan akhir, tetapi cahaya yang menyala di tengah gelapnya malam. Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, kita menemukan wajah-wajah mulia yang menjaga kemurnian ilmu sekaligus menyalakan api semangat keilmuan. Mereka adalah manusia biasa yang menghadapi pergulatan hidup, namun hatinya terpaut pada Al-Qur’an dan syariat.

Kita bisa membayangkan, di tengah pergeseran abad ketiga Hijriah, ilmu berkembang pesat, masyarakat mengalami perubahan, tetapi generasi ini hadir dengan ketenangan dan keteguhan. Mereka menyambung mata rantai keilmuan Imam al-Syāfi‘ī, sekaligus menjadi teladan bagi umat.

Sebagaimana disebutkan dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah:

“وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ سَرَاجُ الْأُمَّةِ، يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِمْ فِي الظُّلُمَاتِ”
“Sesungguhnya para ulama adalah pelita umat, Allah memberi manfaat melalui mereka di tengah kegelapan.”

Kalimat itu bagaikan air jernih yang menyegarkan dahaga, mengingatkan kita bahwa keberadaan mereka bukan sekadar nama dalam buku, tetapi cahaya dalam kehidupan.

Keteladanan yang Hidup di Tengah Umat

Fenomena sosial di Indonesia juga mencerminkan hal yang sama. Di desa-desa, kita melihat kiai kampung yang menjadi penuntun masyarakat; bukan hanya dalam perkara ibadah, tetapi juga dalam musyawarah hidup sehari-hari. Mereka tidak pernah mencari sorotan, tetapi kehadirannya dirindukan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Generasi kedua dalam kitab al-Subkī juga berperan demikian: hadir dengan ilmu, membimbing umat, dan menjaga keseimbangan. Mereka mengajarkan bahwa ilmu tanpa adab hanyalah fatamorgana.

Dalam catatan Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah:

“مَا طَلَبْنَا الْعِلْمَ لِلدُّنْيَا، وَلَكِنْ طَلَبْنَاهُ لِوَجْهِ اللَّهِ”
“Kami tidak menuntut ilmu demi dunia, melainkan kami menuntutnya karena Allah.”

Pernyataan ini adalah penegasan bahwa cahaya generasi kedua tidak redup oleh ambisi duniawi. Mereka tegak dengan niat yang jernih, menyalakan hati manusia tanpa pamrih.

Cahaya yang Membelah Gelapnya Malam

Abad ketiga Hijriah adalah masa penuh gejolak intelektual. Diskusi tentang fiqh, kalam, dan filsafat berkembang pesat. Namun, generasi ini tidak larut dalam perdebatan sia-sia. Mereka hadir dengan ketajaman nalar sekaligus kelembutan hati.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Sebagaimana tercatat dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah:

“إِذَا جَلَسَ الْفَقِيهُ عَلَى الْعِلْمِ، جَلَسَ النَّاسُ عَلَى النُّورِ”
“Apabila seorang faqih duduk dengan ilmunya, maka manusia duduk di atas cahaya.”

Betapa indahnya gambaran itu. Ilmu yang sejati tidak hanya menambah wawasan, tetapi menyalakan hati. Di Indonesia hari ini, kita bisa merasakan kehadirannya melalui majelis-majelis pengajian yang digelar di masjid, mushalla, hingga ruang-ruang sederhana.

Mewarisi Keikhlasan dan Keberanian

Kita hidup di zaman yang berbeda, tetapi pesan generasi kedua tetap relevan. Mereka tidak pernah menawar prinsip, meski keadaan mendesak. Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh hiruk-pikuk, kita diajak untuk kembali belajar dari mereka: ketekunan, kesabaran, dan keberanian.

Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah disebutkan:

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

“مَنْ أَخْلَصَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ، فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ بَابَ الْحِكْمَةِ”
“Barang siapa yang ikhlas dalam menuntut ilmu, Allah akan membukakan baginya pintu hikmah.”

Ikhlas adalah kunci yang tidak lekang dimakan zaman. Jika generasi kedua berhasil menyalakan cahaya di abad ketiga, maka kita pun bisa menyalakan cahaya di abad ini.

Menghidupkan Spirit Generasi Kedua

Indonesia hari ini menghadapi tantangan sosial yang besar: perpecahan, informasi yang simpang siur, dan krisis adab di media sosial. Cahaya generasi kedua bisa menjadi inspirasi. Bukan sekadar mengutip masa lalu, tetapi menghidupkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kita bisa mulai dari hal sederhana: belajar dengan ikhlas, mengajar dengan sabar, mendengar dengan rendah hati. Dari situlah cahaya kecil lahir, dan jika banyak orang menyalakannya, gelap malam akan berubah menjadi terang.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-An‘ām: 122):

“أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ”
“Apakah orang yang telah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah manusia…?”

Ayat ini menegaskan bahwa cahaya sejati bukan dari lampu, melainkan dari ilmu dan iman yang menghidupkan jiwa.

Penutup: Menjadi Cahaya di Abad Ini

Generasi kedua telah menyalakan pelita mereka. Kini giliran kita menjaga api itu agar tidak padam. Jika mereka bisa bertahan di tengah gejolak abad ketiga, maka kita pun mampu bertahan di abad ini.

Cahaya mereka adalah warisan, bukan sekadar cerita. Dan warisan itu hidup jika kita mau menjadikannya pijakan dalam langkah. Karena di tengah malam yang gelap, satu cahaya kecil bisa mengubah arah seluruh perjalanan.

 

* Reza AS

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement