Surau.co. Jejak murid-murid Imam al-Syāfi‘ī adalah cahaya yang memantulkan kilau gurunya. Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, nama-nama seperti al-Buwayṭī, al-Muzanī, dan ar-Rabīʿ muncul sebagai bintang yang menjaga langit mazhab. Mereka bukan hanya pelanjut, tetapi juga penjaga agar warisan Imam al-Syāfi‘ī tetap bersinar, tidak padam diterpa angin zaman. Di Indonesia, kisah tentang murid yang setia pada gurunya terasa dekat. Dalam tradisi pesantren, hubungan guru dan murid menjadi nafas kehidupan, sebuah ikatan yang tidak sekadar intelektual, tetapi spiritual.
Cahaya Kesetiaan Al-Buwayṭī
Al-Buwayṭī dikenal sebagai murid yang setia hingga akhir hayat. Dalam kitab al-Subkī disebutkan:
“وكان البويطي ألزم الناس للشافعي، لا يفارقه حضرًا ولا سفرًا”
“Al-Buwayṭī adalah murid yang paling setia kepada al-Syāfi‘ī, tidak pernah berpisah darinya baik ketika di rumah maupun dalam perjalanan.”
Kesetiaan ini mengajarkan bahwa ilmu sejati lahir dari kebersamaan dan ketekunan. Di Indonesia, kita melihat pantulan nilai ini dalam santri-santri yang mengikuti guru mereka dari satu pengajian ke pengajian lain, bahkan rela hidup sederhana demi mendampingi sang kiai.
Al-Buwayṭī juga dikenang karena keteguhannya mempertahankan ajaran gurunya meski harus menghadapi penjara. Kisahnya menjadi teladan bahwa menjaga ilmu adalah bentuk ibadah, meskipun harus menanggung penderitaan.
Ketelitian dan Kecermatan Al-Muzanī
Jika al-Buwayṭī adalah simbol kesetiaan, maka al-Muzanī adalah simbol kecermatan. Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, al-Subkī menulis:
“وكان المزني يكتب عن الشافعي ويختصر كتبه”
“Al-Muzanī menulis dari al-Syāfi‘ī dan meringkas kitab-kitabnya.”
Dari tangannya lahirlah ringkasan-ringkasan berharga yang memudahkan murid lain memahami pemikiran Imam al-Syāfi‘ī. Tanpa al-Muzanī, mungkin banyak mutiara ilmu sang Imam yang akan sulit diakses.
Di Indonesia, peran seperti ini hidup dalam tradisi kitab kuning. Banyak ulama menulis syarah, hasyiyah, dan ringkasan agar generasi berikutnya lebih mudah memahami. Fenomena ini menunjukkan bahwa murid bukan hanya pewaris, tetapi juga pengembang yang menyederhanakan ajaran untuk generasi yang lebih luas.
Ar-Rabīʿ, Penjaga Kata-Kata Guru
Nama ar-Rabīʿ, baik ar-Rabīʿ al-Murādī maupun ar-Rabīʿ ibn Sulaymān, muncul sebagai murid yang mencatat dan meriwayatkan ucapan-ucapan Imam al-Syāfi‘ī dengan penuh ketelitian. Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah disebutkan:
“لولا الربيع ما وصل إلينا كلام الشافعي”
“Seandainya bukan karena ar-Rabīʿ, tidak akan sampai kepada kita ucapan al-Syāfi‘ī.”
Ia adalah saksi hidup yang menjaga keaslian kata-kata sang guru. Dari tangannya, warisan al-Syāfi‘ī sampai kepada umat. Sosok ar-Rabīʿ mengingatkan kita pada pentingnya dokumentasi. Di era Indonesia modern, tradisi mencatat masih dijaga di pesantren melalui kitab yang diberi catatan pinggir, sebagai tanda bahwa ilmu harus diabadikan, bukan hanya dihafalkan.
Warisan Bintang-Bintang yang Selalu Bersinar
Tiga murid utama ini, al-Buwayṭī, al-Muzanī, dan ar-Rabīʿ, ibarat bintang yang menghiasi langit malam. Mereka menyalakan cahaya agar umat tidak tersesat. Dalam kehidupan sosial Indonesia, peran murid yang menjaga ajaran gurunya terlihat jelas. Kiai memiliki santri, santri menjadi kiai, lalu melahirkan santri baru. Rantai ini terus berlanjut, menjaga agar cahaya ilmu tidak padam.
Al-Qur’an menggambarkan peran cahaya ilmu:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. an-Nūr: 35)
Ayat ini mengingatkan bahwa ilmu adalah pancaran cahaya Ilahi. Murid yang menjaga ajaran gurunya berarti ikut menjaga cahaya itu agar tetap menerangi jalan umat.
Refleksi untuk Zaman Kini
Hari ini, murid di Indonesia menghadapi tantangan baru. Informasi begitu cepat, guru tidak lagi satu-satunya sumber ilmu. Namun, dari kisah al-Buwayṭī, al-Muzanī, dan ar-Rabīʿ, kita belajar bahwa esensi menjadi murid bukan hanya pada isi pelajaran, melainkan pada kesetiaan, ketelitian, dan kecintaan terhadap guru.
Jika bintang tetap bersinar meski malam berganti, maka murid sejati akan terus menjaga warisan gurunya meski zaman berubah. Indonesia memerlukan murid-murid yang mampu menjaga tradisi, sekaligus berani menafsir ulang agar sesuai dengan kebutuhan umat. Dari langit Mesir abad ke-3 Hijriyah hingga langit Nusantara hari ini, cahaya itu tetap sama: menerangi, menuntun, dan menghidupkan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
