Khazanah
Beranda » Berita » Murid Pertama: Daun yang Tumbuh dari Pohon Sang Imam

Murid Pertama: Daun yang Tumbuh dari Pohon Sang Imam

Ilustrasi murid pertama Imam al-Syāfi‘ī belajar di bawah pohon bersama gurunya.
Seorang alim duduk bersandar di pohon, sementara murid menulis di atas papan kecil, melambangkan pewarisan ilmu yang hidup.

Surau.co. Murid pertama selalu menjadi saksi awal dari tumbuhnya sebuah peradaban ilmu. Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, riwayat tentang murid-murid awal Imam al-Syāfi‘ī tergambar dengan indah. Mereka tidak hanya menjadi pengikut, melainkan muncul sebagai daun-daun pertama dari pohon besar bernama sang Imam. Dari merekalah, ajaran dan pemikiran al-Syāfi‘ī berkembang, lalu menjelma menjadi hutan rimbun yang meneduhkan umat hingga hari ini.

Selain itu, di Indonesia kita juga menyaksikan fenomena sosial yang menegaskan pentingnya penghormatan murid kepada guru. Pesantren, madrasah, hingga majelis taklim menjaga hubungan ini dengan penuh hormat. Murid berperan bukan sekadar sebagai penimba ilmu, tetapi juga sebagai penjaga warisan yang mereka teruskan dengan kasih dan ketulusan.

Cahaya Ilmu yang Pertama Kali Menyapa

Al-Subkī menggambarkan dengan penuh penghormatan peran murid-murid Imam al-Syāfi‘ī. Di antaranya, al-Muzanī dan al-Buwaithī muncul sebagai tokoh penting yang menyebarkan pemikiran beliau. Tentang al-Muzanī, ia menulis:

“وكان المزني من أخص أصحابه، يلازمه ويكتب عنه”
“Al-Muzanī adalah murid terdekatnya, yang senantiasa menyertainya dan menulis darinya.”

Kutipan ini memperlihatkan betapa erat hubungan guru dan murid. Mereka tidak sekadar mencatat pelajaran, tetapi juga menyertai kehidupan sang guru. Di Indonesia, tradisi ini tercermin dalam kisah santri yang mengabdi kepada kiai. Mereka membantu keseharian sang guru dengan penuh cinta, sekaligus menimba ilmu yang mengalir tanpa henti.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Warisan yang Menghidupkan Generasi

Ilmu Imam al-Syāfi‘ī terus hidup melalui murid pertamanya. Dengan tekun, al-Muzanī menjaga dan menyebarkan ajaran itu. Al-Subkī menegaskan hal ini dengan pernyataannya:

“ما خلف الشافعي في أصحابه أفضل من المزني”
“Tidak ada peninggalan al-Syāfi‘ī di kalangan muridnya yang lebih utama dari al-Muzanī.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa murid sejati hadir bukan hanya untuk belajar, tetapi juga untuk menjaga warisan sang guru. Di Indonesia, kita melihat hal serupa pada ulama lokal yang mempertahankan ajaran Syafi‘iyyah. Melalui kitab-kitab fikih, mereka menjaga tradisi keilmuan lintas generasi. Dengan demikian, murid-murid itu ibarat sungai kecil yang mengalir dari samudera luas, memberi kehidupan di setiap tanah yang mereka lintasi.

Ketekunan dan Kesetiaan

Hubungan murid dan guru selalu berdiri di atas fondasi kesetiaan. Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, al-Subkī menuliskan:

“وكان البويطي لا يفارق الشافعي حتى في سفره”
“Al-Buwaithī tidak pernah berpisah dari al-Syāfi‘ī, bahkan dalam perjalanan.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kesetiaan semacam ini jarang muncul di era modern, ketika sebagian murid memandang guru hanya sebagai penyedia informasi. Namun demikian, di Indonesia kita masih menemukan tradisi santri kelana yang sabar mengikuti perjalanan kiai dari satu desa ke desa lain. Oleh karena itu, kita belajar bahwa kesetiaan merupakan bagian dari ilmu, bukan sekadar catatan di kertas.

Hikmah dalam Kehidupan Murid

Lebih jauh, murid pertama Imam al-Syāfi‘ī menyerap akhlak, bukan hanya hukum. Dalam salah satu riwayat, beliau berkata:

“كان الشافعي يقول: من تعلم العلم فليتحل بأدبه”
“Imam al-Syāfi‘ī berkata: Barangsiapa belajar ilmu, hendaklah ia berhias dengan adabnya.”

Pesan ini tetap hidup dalam tradisi pesantren Indonesia. Santri tidak sekadar belajar kitab, tetapi juga belajar cara duduk, cara berbicara, hingga cara menghormati sesama. Akibatnya, ilmu menjadi cahaya yang berpadu dengan akhlak, bukan sekadar kumpulan teks.

Murid sebagai Cermin Guru

Seorang murid sejati mencerminkan gurunya. Pohon dikenal dari buahnya, dan guru dikenal dari muridnya. Imam al-Syāfi‘ī mewariskan cahaya yang tidak pernah padam, sedangkan murid pertamanya menyalakan kembali cahaya itu di berbagai tempat.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya hubungan pewarisan ilmu:

﴿وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ﴾
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah bagi mereka petunjuk dan memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad: 17)

Dengan demikian, kita memahami bahwa bimbingan guru menambah ketakwaan murid. Sebaliknya, murid yang baik akan terus menyalakan cahaya itu untuk generasi berikutnya.

Renungan di Tengah Zaman

Hari ini, Indonesia menghadapi tantangan modernitas yang sering merenggangkan hubungan murid dan guru. Teknologi memang mempermudah akses ilmu, tetapi terkadang melunturkan adab. Dari murid pertama Imam al-Syāfi‘ī, kita belajar bahwa inti hubungan ini terletak pada perpindahan cahaya dari hati ke hati.

Jika daun tumbuh dari pohon, ia menyerap kekuatan dari akar dan batangnya. Demikian pula murid yang bertumbuh berkat bimbingan guru. Oleh karena itu, selama hubungan ini dijaga dengan cinta, ilmu akan terus bersemi dan menjelma menjadi hutan hikmah yang meneduhkan bumi Nusantara.

* Reza AS

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement