Khazanah
Beranda » Berita » Jejak Imam al-Syāfi‘ī: Sungai Hikmah yang Tak Pernah Kering

Jejak Imam al-Syāfi‘ī: Sungai Hikmah yang Tak Pernah Kering

Ilustrasi Imam al-Syāfi‘ī duduk di tepi sungai membawa kitab, simbol hikmah abadi.
Ilustrasi realis seorang ulama duduk di tepi sungai dengan kitab di pangkuannya, cahaya lembut menyinari, simbol aliran hikmah yang abadi.

Surau.co. Di tengah gelombang zaman yang selalu berubah, jejak Imam al-Syāfi‘ī tetap mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Dalam kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya al-Subkī, kita menemukan bukan hanya riwayat hidup, tetapi juga pancaran hikmah yang menjembatani masa lalu dan masa kini. Dari Mesir hingga Nusantara, pemikiran beliau masih berdenyut dalam kehidupan umat, mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, melainkan cahaya yang menuntun langkah.

Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan betapa tradisi keilmuan al-Syāfi‘ī berakar kuat dalam praktik keagamaan masyarakat. Dari majelis taklim di desa, hingga pesantren yang hidup di tengah sawah dan perkampungan, nama beliau terus disebut dengan penuh hormat. Hal ini menegaskan bahwa warisan seorang alim tidak akan lenyap ditelan waktu, melainkan hidup dalam amal umat yang mengikutinya.

Kehidupan yang Menjadi Teladan

Al-Subkī dalam kitabnya menggambarkan Imam al-Syāfi‘ī sebagai sosok yang bukan hanya ahli ilmu, tetapi juga pemilik hati yang lembut. Beliau hidup dengan penuh kesederhanaan, namun kata-katanya menggetarkan hingga berabad-abad kemudian. Dalam salah satu riwayat disebutkan:

“كان الشافعي رضي الله عنه إذا ذكر الموت تغير لونه وارتعدت فرائصه”
“Apabila Imam al-Syāfi‘ī menyebut kematian, wajahnya berubah dan tubuhnya bergetar.”

Kisah ini mengajarkan bahwa ketakwaan bukan sekadar ucapan, melainkan rasa yang mengakar dalam jiwa. Di Indonesia, fenomena sosial tentang kematian sering diiringi tradisi tahlilan, doa bersama, dan ziarah kubur. Semua itu menjadi cermin bahwa ajaran Islam tidak berhenti pada teori, tetapi hidup dalam praktik keseharian.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ilmu yang Menyatu dengan Kehidupan

Imam al-Syāfi‘ī selalu menekankan bahwa ilmu harus membawa kebaikan. Dalam Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah, al-Subkī menuliskan ucapan beliau:

“العلم ما نفع، ليس العلم ما حفظ”
“Ilmu adalah yang bermanfaat, bukan sekadar yang dihafal.”

Kalimat ini sangat relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia hari ini. Banyak orang mengejar gelar, ijazah, atau pengakuan, tetapi lupa bahwa ilmu sejati adalah yang mampu menumbuhkan kasih, keadilan, dan kemanusiaan. Di tengah hiruk pikuk media sosial, pesan ini seakan menjadi oase yang menyegarkan, mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam kebanggaan kosong.

Warisan yang Hidup di Pesantren

Pesantren di Indonesia tumbuh sebagai benteng peradaban Islam, dan di dalamnya fikih al-Syāfi‘ī menjadi rujukan utama. Para santri belajar bukan hanya dari buku, tetapi juga dari tradisi yang diwariskan. Dalam kitabnya, al-Subkī menukil pujian gurunya tentang al-Syāfi‘ī:

“ما رأيت أفقه من الشافعي”
“Aku tidak pernah melihat orang yang lebih faqih dari al-Syāfi‘ī.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Pujian ini membuktikan betapa luas lautan ilmu beliau. Hingga kini, para kiai di berbagai pelosok Nusantara menjaga warisan ini. Mereka mengajarkan kitab-kitab turunan dari fikih Syafi‘iyyah, dari Safīnatun Najāh hingga al-Umm. Tradisi ini membentuk wajah keislaman Indonesia yang ramah, santun, dan penuh kasih.

Hikmah tentang Akhlak

Lebih dari sekadar hukum, Imam al-Syāfi‘ī juga menanamkan akhlak mulia. Dalam riwayat lain dari kitab al-Subkī disebutkan:

“من تعلم القرآن عظمت قيمته، ومن كتب الحديث قويت حجته”
“Barangsiapa belajar al-Qur’an, maka mulialah derajatnya. Barangsiapa menulis hadis, maka kuatlah hujjahnya.”

Pesan ini menunjukkan keterpaduan antara ilmu dan akhlak. Di Indonesia, kita sering melihat anak-anak mengaji di mushala kecil, dengan suara terbata-bata. Itu adalah perwujudan nyata pesan al-Syāfi‘ī: bahwa kemuliaan lahir dari keterikatan dengan kitab Allah.

Sungai Hikmah yang Mengalir ke Nusantara

Warisan Imam al-Syāfi‘ī telah menyeberangi lautan dan sampai ke negeri kita. Ia hadir dalam kitab kuning di pesantren, dalam nasihat para kiai, bahkan dalam doa ibu-ibu kampung yang melantunkan wirid setelah magrib. Semua itu adalah aliran dari sungai hikmah yang tidak pernah kering.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Al-Qur’an mengingatkan kita:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Wahai Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)

Ayat ini menjadi doa yang hidup dalam setiap langkah pencari ilmu, sebagaimana Imam al-Syāfi‘ī telah mencontohkan. Ilmu tidak berhenti di buku, melainkan menjadi cahaya yang membimbing masyarakat untuk terus bergerak menuju kebaikan.

Renungan untuk Masa Kini

Jika sungai itu masih mengalir, maka tugas kita adalah menjaga kejernihannya. Jangan biarkan fanatisme buta atau kepentingan politik mencemari warisan ulama. Indonesia hari ini memerlukan kebijaksanaan, bukan sekadar perdebatan. Dari Imam al-Syāfi‘ī kita belajar bahwa perbedaan adalah rahmat, dan ilmu adalah jembatan, bukan tembok.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat meneladani beliau dengan sederhana: berusaha jujur, menghargai perbedaan, dan menjadikan ilmu sebagai sarana melayani, bukan meninggikan diri. Dengan begitu, jejak beliau akan terus hidup di bumi Nusantara, seperti sungai yang menyejukkan setiap hati yang haus.

 

* Sugianto al-jawi

Budayawan kontemporer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement