Surau.com. Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah karya Taj al-Dīn al-Subkī bukan sekadar lembaran biografi. Sebaliknya, kitab ini menyerupai taman penuh bunga, di mana setiap nama ulama hadir seperti kelopak yang tak pernah layu. Dari murid-murid Imam al-Syāfi‘ī hingga ulama sezaman dengan al-Subkī, ia menghimpun semuanya dengan penuh perhatian. Oleh karena itu, kitab ini tidak hanya menyulam nama, tetapi juga mengikat ruh para ulama sekaligus menyalakan pelita pengetahuan bagi generasi setelahnya.
Selain itu, jika kita melihat kehidupan di Indonesia, masyarakat memang terbiasa dengan cerita ketokohan. Anak muda, misalnya, sering mengidolakan selebritas, politisi, bahkan tokoh media sosial. Fenomena ini jelas menunjukkan betapa manusia selalu membutuhkan figur panutan. Akan tetapi, al-Subkī menghadirkan figur ulama yang tidak sekadar hidup di dunia, melainkan juga menyalakan obor di jalan menuju akhirat.
Dengan demikian, kitab ini menegaskan satu hal penting: pengetahuan dan ketulusan tidak pernah mati. Sebaliknya, keduanya tetap hidup dalam nama, dalam doa, dan dalam teladan yang diwariskan lintas generasi.
Menyulam Kehidupan dalam Nama
Al-Subkī menuliskan tokoh-tokoh Syāfi‘iyyah bukan sekadar daftar. Sebaliknya, ia menghadirkannya dengan jiwa yang menghidupkan. Misalnya, ia menyebut murid Imam al-Syāfi‘ī seperti al-Buwayṭī dan al-Muzanī dengan penuh penghormatan. Dalam salah satu bagian ia menulis:
“كان أبو إبراهيم المزني إمامًا في مذهبه، عظيم القدر، لا يذكر الشافعي إلا بجميل القول.”
“Abu Ibrāhīm al-Muzanī adalah imam dalam mazhabnya, besar kedudukannya, dan tidak pernah menyebut al-Syāfi‘ī kecuali dengan kata-kata indah.”
Dari kutipan ini, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana ilmu tidak berhenti pada hafalan semata. Sebaliknya, ilmu tumbuh dari cinta yang tulus kepada guru. Karena itulah hubungan antara guru dan murid mampu menyulam nama, menghidupkan ruh, serta melahirkan tradisi.
Cinta pada Guru, Cermin pada Zaman
Jika kita tarik ke kehidupan sosial Indonesia, tradisi hormat kepada guru, kiai, atau ustaz masih bertahan hingga hari ini. Namun demikian, modernitas kadang membuat penghormatan ini perlahan memudar. Akibatnya, banyak orang lebih sering mengutip tokoh populer dibanding ulama yang menjaga agama. Padahal, kitab ini menegaskan bagaimana seorang murid seharusnya menjaga kehormatan gurunya.
Al-Subkī menuliskan tentang al-Buwayṭī:
“كان من أخلص أصحاب الشافعي، حمل علمه، وصبر على البلاء.”
“Ia termasuk murid yang paling tulus dari al-Syāfi‘ī, membawa ilmunya, dan sabar menghadapi ujian.”
Melalui ungkapan ini, al-Subkī seakan menyampaikan pesan abadi: keikhlasan dan kesabaran selalu menjadi inti seorang murid sejati.
Mengikat Ruh dalam Pena
Lebih jauh, Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah tidak hanya menjadi dokumentasi sejarah. Kitab ini menyerupai doa panjang yang terus berlanjut. Nama-nama ulama yang ditulis berfungsi layaknya lantunan zikir. Dengan demikian, meski para ulama telah wafat, pena al-Subkī membuat ruh mereka tetap hidup.
Sebagai contoh, al-Subkī menulis tentang seorang ulama abad ke-4 H:
“وكان ذا ورع وزهد، يفر من الدنيا، ويؤثر الخمول على الشهرة.”
“Ia adalah orang yang penuh wara‘ dan zuhud, lari dari dunia, lebih memilih ketidaktenaran daripada kemasyhuran.”
Jika kita renungkan, kisah ini sangat relevan. Di zaman ketika banyak orang berlomba mencari ketenaran di media sosial, teladan ulama tersebut terasa seperti oase. Ia mengajarkan bahwa ketenangan sejati justru lahir dari kerendahan hati.
Nama yang Menjadi Cermin
Lebih lanjut, setiap nama dalam kitab ini berfungsi sebagai cermin. Kita bercermin, lalu melihat wajah kita sendiri: apakah kita hanya mengejar nama, atau justru hidup untuk makna?
Sebagai penguat, al-Subkī menuliskan tentang seorang ulama abad ke-6 H:
“كان العلم عنده عبادة، يعلّم الناس بنية خالصة، لا يريد جزاء ولا شكورًا.”
“Ilmu baginya adalah ibadah. Ia mengajar manusia dengan niat yang tulus, tidak mencari balasan atau pujian.”
Pelajaran dari sini jelas: ilmu yang hanya mengejar pujian akan cepat layu, tetapi ilmu yang diniatkan ibadah akan tetap kekal.
Kehidupan Sosial yang Membutuhkan Panutan
Dalam konteks sosial Indonesia hari ini, masyarakat justru semakin merindukan panutan yang tulus. Banyak orang merasa lelah dengan tokoh yang hanya mengejar popularitas. Sebaliknya, kitab ini mengajarkan bahwa para ulama dahulu berjalan di jalan panjang keikhlasan. Mereka menolak sorotan dunia, tetapi tetap dikenang ratusan tahun.
Allah berfirman:
﴿إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ لَفِي نَعِيمٖ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat baik itu benar-benar berada dalam kenikmatan.” (QS. Al-Infiṭār: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa keberkahan sejati tidak terletak pada nama yang viral, melainkan pada kebaikan yang abadi.
Ruh yang Masih Hidup
Secara keseluruhan, Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah membuktikan bahwa ulama sejati tidak pernah mati. Ruh mereka terus bernafas dalam kata-kata. Setiap halaman bersuara, setiap nama bercahaya.
Apalagi, di tengah kehidupan modern yang sarat distraksi, kitab ini mengajak kita kembali. Kita diajak belajar dari nama-nama yang menyulam ruh, sebab nama bukan sekadar huruf, melainkan kehidupan yang dipahat dengan ilmu, doa, dan pengorbanan.
Penutup: Jalan Kita di Zaman Ini
Membaca Kitab Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah ini terasa seperti memasuki taman ruhani. Kita seakan mencium harum bunga kesabaran, mendengar nyanyian dedaunan ilmu, dan merasakan sejuknya ketulusan.
Oleh karena itu, di tengah fenomena sosial Indonesia yang sering sibuk mengejar figur dunia, kita perlu merenung lebih dalam: siapa figur sejati yang pantas kita ikuti? Kitab ini menjawab dengan jelas: mereka adalah para ulama, yang namanya disulam dengan keikhlasan dan cintanya pada ilmu.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontempltif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
