Mode & Gaya
Beranda » Berita » Haus Validasi: Ketika Pengakuan Jadi “Tuhan Baru”

Haus Validasi: Ketika Pengakuan Jadi “Tuhan Baru”

Sosiolog menyebut fenomena haus validasi ini sebagai era pengakuan. Hidup manusia seakan kehilangan arah bila tidak ditonton dan akhirnya Validasi menjadi “Tuhan Baru”

SURAU.CO. Di era digital, manusia benar-benar hidup di atas panggung terbuka. Setiap gerak, ucapan, bahkan makanan yang baru saja disantap langsung direkam, diunggah, lalu tersaji sebagai tontonan publik. Media sosial menghadirkan ruang luas untuk berbagi, namun di balik itu tumbuh penyakit baru: rasa haus validasi yang terus menguat.

Kita merasa tenteram saat unggahan dipenuhi tanda suka, bangga saat komentar berdatangan, tetapi langsung gelisah ketika perhatian lenyap. Hari demi hari, ketergantungan itu berubah menjadi candu. Validasi tidak lagi hadir sebagai dorongan wajar, melainkan menjadi tolok ukur utama nilai diri. Pada akhirnya, makna hidup terkikis sedikit demi sedikit, tergantikan oleh angka-angka yang rapuh.

Manusia dan Rasa Ingin Diakui

Fitrah manusia selalu merindukan cinta, penghargaan, dan pengakuan. Seorang anak kecil tersenyum lebar ketika mendengar pujian “pintar” dari orang tuanya. Remaja merasa bangga ketika teman-temannya memberi apresiasi. Orang dewasa pun menemukan arti dirinya ketika kerja kerasnya dihargai. Semua itu sesungguhnya bagian dari validasi—dorongan alami agar manusia merasa hadir, diterima, dan bermakna.

Dalam kajian psikologi, validasi termasuk kebutuhan emosional dasar. Ia berkaitan erat dengan harga diri, rasa aman, serta ikatan sosial yang meneguhkan. Namun masalah muncul ketika validasi tidak lagi sekadar kebutuhan sehat, melainkan berubah menjadi tujuan hidup. Pada titik itu, manusia mudah merasa hampa ketika unggahan sepi perhatian, minder ketika tak ada pujian, bahkan kehilangan arah ketika tidak ada yang mengakui keberadaannya.

Al-Qur’an menegaskan: “Dan cukuplah Allah sebagai pemberi balasan, dan cukuplah Allah sebagai penolong.” (QS. An-Nisa: 45). Ayat ini mengingatkan, pengakuan manusia sifatnya sementara, sedangkan ridha Allah Swt adalah tujuan abadi.

Amalan Sunnah Harian Sesuai Dalil Dari Al-Qur’an dan Hadist

Validasi dalam Sejarah

Haus validasi atau pengakuan bukan hanya milik generasi digital. Sejak masa Rasulullah Saw, fenomena ini sudah tampak jelas. Kaumnya pernah mencap beliau sebagai penyair, tukang sihir, bahkan orang gila. Namun beliau tidak pernah sibuk mencari pembenaran manusia. Beliau berjalan teguh di atas wahyu karena beliau tahu, validasi sejati datang dari Allah Swt.

Para sahabat pun mengerti betul bahayanya pujian. Mereka bisa menangis bukan karena hinaan orang, melainkan karena khawatir amalnya hancur akibat pujian yang berlebihan. Kesadaran itu membuat mereka waspada: validasi manusia sering menipu. Yang benar-benar penting hanyalah bagaimana amal diterima di sisi Allah Swt.

Generasi Muda dan Lapar Validasi

Hari ini, panggung validasi terbesar ada di dunia digital. Data menunjukkan, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 188 menit per hari untuk berselancar di media sosial. Dari 270 juta penduduk, sekitar 167 juta orang aktif menggunakannya—lebih dari separuh populasi negeri ini.

Platform seperti Instagram, TikTok, dan WhatsApp mendominasi. Bahkan 47,4% pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan lebih dari dua jam per hari hanya di satu aplikasi. Fenomena video pendek yang mudah viral mendorong orang rajin menampilkan diri: mulai dari rutinitas sepele, gaya hidup glamour, hingga aksi ekstrem demi sensasi. Banyak pula yang sekadar ikut tren karena takut tertinggal—fenomena yang dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Validasi digital pun akhirnya menjadi tolok ukur eksistensi.

Dampak Validasi yang Berlebihan

Meski bisa memberi dorongan positif, validasi yang berlebihan justru menimbulkan kerusakan:

Fenomena Suami Takut Istri: Meneladani Sikap Sahabat Nabi dan Psikologi Modern

  • Kesehatan mental terganggu – cemas, stres, hingga depresi saat tak ada perhatian.

  • Hilangnya jati diri – demi pengakuan, seseorang berpura-pura atau mengubah hidupnya hingga kehilangan diri sejati.

  • Perilaku ekstrem – aksi berbahaya demi konten viral menjadi fenomena nyata.

  • Budaya flexing dan konsumerisme – memamerkan harta, bahkan berutang demi citra semu.

  • Rapuhnya relasi sosial – hubungan menjadi dangkal, bergantung pada komentar digital.

    Budaya Workaholic: Mengancam Kesehatan Tubuh dan Kualitas Ibadah

  • Rusaknya amal karena riya’ – Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil, yaitu riya’.” (HR. Ahmad).

Validasi dalam Pandangan Agama

Islam menuntun manusia agar menyeimbangkan kebutuhan validasi. Rasulullah Saw mengajarkan untuk saling menghargai dan memuji dengan tulus, tetapi orientasi utama tetaplah ridha Allah Swt.

Beliau bersabda: “Barang siapa mencari ridha Allah meski manusia tidak suka, maka Allah akan mencukupkannya dari ketergantungan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan, validasi manusia boleh dicari sejauh tidak menggeser tujuan hidup: mencari pengakuan dari Allah.

Ayat Al-Qur’an juga mengingatkan: “Cukuplah Allah sebagai pemberi balasan, dan cukuplah Allah sebagai penolong.” (QS. An-Nisa: 45). Pesan agama ini jelas: pengakuan manusia sifatnya sementara, sedangkan ridha Allah kekal. Validasi sejati bukanlah jumlah pujian di dunia maya, melainkan diterimanya amal kita di sisi Allah Swt.

Jalan Menuju Makna Sejati

Fenomena validasi mengingatkan kita bahwa manusia butuh pengakuan, tetapi arah pencarian sering keliru. Ada beberapa langkah sederhana untuk kembali menemukan makna sejati:

  1. Menguatkan jati diri – sadar bahwa nilai diri tidak tergantung pada jumlah pengikut, melainkan kualitas akhlak.

  2. Mendidik generasi – tanamkan sejak dini bahwa harga diri tidak tergantung pada sorakan dunia, melainkan prinsip hidup yang kokoh.

  3. Mengendalikan media sosial – gunakan secukupnya, jangan biarkan notifikasi menguasai batin.

  4. Menanamkan spiritualitas – ibadah, dzikir, dan shalawat menumbuhkan rasa cukup dan menguatkan jiwa.

Validasi Jangan Jadi “Tuhan Baru”

Validasi sesungguhnya menjadi cermin betapa rapuhnya hati manusia ketika berhadapan dengan komentar dan pujian. Jika hati terlalu menggantungkan diri padanya, validasi bisa menjelma menjadi “Tuhan Baru” yang perlahan menggerus makna hidup. Ia membuat manusia sibuk mengejar pengakuan sesama, tapi lupa mencari ridha Sang Pencipta. Jalan keluarnya hanya satu: mengembalikan orientasi hidup kepada Allah Swt, karena hanya dengan-Nya hati menemukan keteguhan dan makna sejati.

Pada akhirnya, yang menyelamatkan kita bukanlah like dan sorakan publik, melainkan cinta Allah Swt dan syafaat Nabi Muhammad Saw. Maka, jangan biarkan hidup hanya berisik di layar, tetapi jadikan ia bermakna di hadapan-Nya.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement