Khazanah
Beranda » Berita » Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul: Sahabat Putra Gembong Munafik

Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul: Sahabat Putra Gembong Munafik

Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul: Sahabat Putra Gembong Munafik
Ilustrasi insiden perselisihan kaum Muhajirin dan Anshar.

SURAU.CO -Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul seorang sahabat Nabi
dari kalangan Anshar yang berasal dari kabilah Khazraj. Ayahnya adalah pentolan kaum munafik, yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul. Ibunya dari suku Khuza’ah yang dipanggil dengan sebutan “Salul”.

Abdullah termasuk sahabat terkemuka. Sebelum memeluk Islam, namanya adalah al-Hubab dan ayahnya memiliki panggilan dengan nama Abu Hubab. Setelah memeluk Islam, Rasulullah saw. mengganti namanya menjadi Abdullah. la adalah sahabat dekat Hanzalah bin Abu Amir al-Rahib. Mereka berdua selalu saling membantu, terlebih lagi ayah masing-masing memperlakukan mereka dengan buruk serta sangat membenci Rasulullah saw. dan kaum muslim.

Kebencian Abdullah bin Ubay bin Salul  pada Rasulullah

Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul ikut dalam Perang Badar dan Perang Uhud. Ayahnya adalah pemimpin kaum munafik yang sangat membenci Rasulullah saw., karena dianggap telah merebut kekuasaannya atas Madinah. Sebelum Nabi saw. hijrah, Abdullah bin Ubay akan naik jabatan sebagai penguasa di Yatsrib.

Namun, sejak sebagian penduduk kota itu bertemu Nabi saw. dan kemudian memeluk Islam, wewenang dan popularitasnya menurun drastis. Karena itulah ia sangat mendengki kepada Nabi saw. Ia menjadi musuh dalam selimut yang selalu memerangi Rasulullah dan kaum muslim secara diam-diam.

Fitnah memecah Muhajirin dan Anshar

Sepulangnya kaum muslim dari memerangi Bani Musthaliq, terjadi insiden yang nyaris saja menyebabkan perkelahian antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Perselisihan itu dipicu fitnah yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay, tokoh besar kaum munafik. la memprovokasi kaum Anshar bahwa Rasulullah saw. lebih mementingkan kaum Muhajirin daripada Anshar, termasuk dalam urusan pembagian pampasan perang.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fitnah berembus kencang sehingga di perjalanan pulang, seorang Anshar
menghalangi seorang Muhajirin yang ingin mengambil air dari sebuah sumur. Kedua pihak telah berhadapan dan perkelahian nyaris berkecamuk. Ibn Ubay memanfaatkan situasi itu. la berdiri dan berpidato di depan orang-orang Anshar, “Lihatlah, mereka melakukan keburukan ini kepada kalian. Dan kini, kalian biarkan mereka? Mereka telah melarikan diri ke negeri kita dan menyesakkan rumah kita. Demi Allah, perilaku mereka bagaikan peribahasa ‘menolong anjing terjepit’. Demi Allah, jika kita kembali ke Madinah, kita keluarkan yang hina dari yang mulia.”

Kemudian ia memandang para pengikutnya dan berkata, “Inikah yang kalian lakukan dengan diri kalian? Kalian bebaskan tanah kalian untuk mereka, kalian bagi milik kalian dengan mereka. Demi Allah, seandainya kalian tak menolong dan memberi mereka, tentu mereka akan berpaling kepada orang lain. ”

Rasulullah meredam perseteruan

Saat mendengar apa yang terjadi di pinggiran kota, Rasuiullah bergegas mendatangi tempat itu. la berbicara panjang lebar di hadapan kedua kaum itu berusaha menenangkan mereka dan mengembalikan jati diri mereka sebagai kaum muslim yang saling menyayangi.

Setelah emosi mereka reda, ia memanggil Abdullah bin Ubay dan menanyakan apa yang telah terjadi. Ibn Ubay berkelit dan mengatakan tidak tahu-menahu persoalan yang terjadi. la menuduh orang yang telah mengadu
kepada Muhammad sebagai pendusta. Umar ibn al-Khaththab r.a. bangkit berdiri di sisi Rasulullah dan berkata, “Biarkanlah aku membunuhnya.”

Sebelum perisriwa ini pun, berkali-kali Umar meminta izin kepada Rasulullah untuk membunuhnya, namun ia selalu menolaknya. Kali ini pun, ia menjawab, “Hai Umar, bagaimana jika orang-orang mengatakan bahwa Muhammad tega membunuh sahabatnya sendiri?”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Sumber perselisihan Muhajirin dan Anshar

Rasulullah saw. menanyakan penyebab perselisihan itu. Seorang Anshar bangkit dan berkata, “la (Abdullah bin Ubay) mengatakan akan mengeluarkan yang hina dari antara yangmulia.” Engkau dapat mengeluarkannya dari Madinah jika Engkau mau, wahai Rasulullah. Demi Allah, yang lemah dan
hina adalah dia dan Engkaulah yang kuat dan mulia.”

Laki-laki lainnya berkata, “Ya, benar. la dengki kepadamu karena menurutnya Engkau telah merebut kepemimpinan atas Madinah.” Lalu, orang-orang menawarkan dirinya untuk membunuh Abdullah bin Ubay karena menjadi duri dalam daging yang akan menghancurkan kesatuan umat Islam.

Putra yang mengajukan diri membunuh ayahnya

Karena itu putranya, Abdullah, berkata tegas kepada Rasulullah saw., “Demi Allah, ia adalah seorang yang hina, wahai Rasulullah dan Engkaulah lebih mulia. Jika kau memperkenankanku membunuhnya, pasti aku akan membunuhnya.”

Kemudian ia melanjutkan, “Demi Allah, seluruh kaum Khazraj mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling berbakti kepada orangtua. Aku takut engkau akan memerintahkan seseorang selain aku untuk membunuhnya. Lalu aku tidak diberi ketabahan melihat orang yang membunuh ayahku berjalan di antara orang-orang sehingga aku membunuhnya. Jika itu terjadi, berarti aku membunuh seorang muslim tanpa alasan yang benar sehingga aku masuk neraka. Karena itu, biarkanlah aku yang membunuhnya.”

Namun Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Kita harus menguatkan persahabatan dan memperbaiki pergaulan. Aku tak ingin orang berkata bahwa Muhammad telah membunuh sahabatnya. Berbuat baiklah kepada ayahmu dan perindah persahabatan dengannya.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Jubah Rasulullah untuk  kafan Abdullah bin Ubay

Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul sang ayah Abdullah meninggal dunia, Nabi saw. memberikan jubah beliau kepada Abdullah putra Abdullah bin Ubay untuk mengafani jenazah ayahnya. Saat beliau akan menyalati jenazahnya, Umar r.a. menarik beliau dan berkata, “Bukankah Allah melarangmu menyalati orang munafik?”

Rasulullah menjawab, “Aku berada di antara dua pilihan. Apakah aku akan memohonkan ampun atau tidak memohon kan ampun bagi mereka.”

Namun, tak lama kemudian turun firman Allah yang melarang beliau menyalati jenazah munafik, ”Dan janganlah sekali-kali menyalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka. Dan janganlah berdiri (mendoakan) di kuburnya…” sehingga Rasul meninggalkan shalatnya.

Walaupun demikian, nasib berbeda dialami anaknya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay ibn Salul gugur  dengan mulia sebagai syahid pada Perang Yamamah. Rasulullah  telah mendamaikan konflik Muhajirin dan Anshar serta meredakan kebencian Abdullah kepada ayahnya–Abdullah bin Ubay.(St.Diyar)

Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement