SURAU.CO – Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu peringatan penting dalam tradisi keislaman pada berbagai belahan dunia. Di Nusantara, peringatan Maulid tidak hanya menjadi ajang memperingati kelahiran Rasulullah, tetapi juga berkembang menjadi tradisi sosial, budaya, dan keagamaan yang unik. Hampir setiap daerah seantero Nusantara memiliki cara tersendiri dalam merayakan Maulid dengan nuansa kearifan lokal. Hal ini telah menghasilkan kekayaan tradisi yang beraneka ragam.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bermula pada zaman Dinasti Fatimiyah (909-1171) di Mesir. Penguasa saat itu yang beraliran Syiah Islamiliyah konon mulai mengenalkan peringatan Maulid Nabi sebagai satu upaya untuk membentuk opini publik tentang hubungan genealogi mereka dengan Nabi.
Perayaan Maulid Nabi kembali mengemuka ketika Salahuddin al Ayyubi atau Saladin (1174-1193) mempopulerkan kembali. Pemimpin legendaris umat Islam ini menggelar Maulid Nabi untuk menggelorakan semangat pasukannya yang saat itu berjuang melawan pasukan Salib (Crusaders) dari Eropa.
Terlepas pada motif politik dan kekuasaan pada awal kemunculannya, perayaan Maulid Nabi pun menyebar ke penjuru dunia, termasuk Nusantara. Tujuan diselenggarakannya Maulid Nabi tak lagi untuk kepentingan politik dan kekuasaan, tapi semata karena wujud kecintaan atau mahabbah umat Islam kepada Nabinya. Berikut, catatan ini adalah kompilasi tradisi Maulid Nabi dari berbagaim sumber. Uniknya berbagai tradisi Maulid di Nusantara, akan menguraikan keunikan berbagai tradisi Maulid. Mulai dari Aceh, Jawa, Sulawesi, hingga Maluku.
Aceh : Kenduri Maulid
Aceh, yang terkenal dengan julukan sebagai “Serambi Mekkah”, memiliki tradisi peringatan Maulid yang sangat meriah. Perayaan Maulid di Aceh terkenal dengan istilah Kenduri Maulid. Biasanya, acara ini berlangsung selama tiga bulan, yaitu pada bulan Rabiul Awal, Rabiul Tsani, dan Jumadil Awal.
Masyarakat setempat akan menggelar kenduri besar dengan menyajikan makanan khas seperti kuah beulangong, yaitu masakan kari daging sapi atau kambing dengan bumbu rempah yang kuat. Para tamu undangan dari desa-desa sekitar akan datang dan ikut makan bersama dalam suasana penuh kekeluargaan.
Selain kenduri, masyarakat juga mengadakan zikir, doa bersama, dan pembacaan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan sosial masyarakat Aceh sekaligus kecintaan mereka kepada Rasulullah.
Sumatera Barat: Alek Nagari Maulud
Jika Aceh ada Kenduri Malid, maka Minangkabau, Sumatera Barat, merayakan Maulid dengan sebutan Alek Nagari Maulud. Alek berarti pesta atau perayaan, sementara Nagari menunjukkan lingkup sosial masyarakat Minangkabau.
Perayaan ini biasanya berisi pembacaan barzanji, yaitu syair berbahasa Arab yang menceritakan kisah hidup Rasulullah. Selain itu, masyarakat mengadakan arak-arakan makanan, terutama nasi kuning yang tersusun indah dalam jamba (wadah besar), lalu menyajikan bersama-sama ke masjid atau surau.
Yang menarik, acara ini juga sering berpadu dengan kesenian tradisional Minangkabau, seperti pertunjukan randai atau talempong. Tradisi ini membuktikan bagaimana Islam berakulturasi dengan budaya lokal Minangkabau.
Banten : Perebutan Nasi Tumpeng
Banten juga terkenal dengan kemeriahan Maulid. Perayaan Maulid Nabi biasanya ditandai dengan adanya tradisi membawa nasi tumpeng ke masjid. Setelah doa bersama dan pembacaan maulid diba’, biasanya para jamaah akan memperebutkan nasi tumpeng tersebut.
Masyarakat percaya bahwa makanan dari peringatan Maulid membawa keberkahan. Oleh karena itu, mereka sangat antusias untuk mendapatkan bagian dari nasi tumpeng tersebut. Tradisi ini selain menjadi bentuk syukur juga memperkuat rasa kebersamaan antara masyarakat.
Jawa: Grebeg Mulud
Pulau Jawa, khususnya daerah Yogyakarta dan Surakarta, memiliki tradisi yang sangat terkenal dalam memperingati Maulid Nabi, yaitu Grebeg Mulud. Tradisi ini telah menjadi warisan sejak zaman Kesultanan Mataram dan masih berlangsung hingga kini.
Dalam perayaan ini, pihak keraton akan mengadakan kirab besar yang menampilkan gunungan—susunan makanan, sayuran, dan hasil bumi yang tertata berbentuk kerucut. Berawal dari keraton, masyarakat kemudian mengarak Gunungan ini menuju Masjid Agung. Setelah doa bersama, masyarakat akan berebut gunungan tersebut karena mereka meyakini akan membawa keberkahan.
Grebeg Mulud bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang sangat unik. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana Islam dan budaya Jawa berpadu dalam simbol-simbol yang penuh makna.
Madura: Molodhan
Masyarakat Madura mengenal tradisi Maulid dengan sebutan Molodhan. Salah satu ciri khasnya adalah pembacaan syair samporna atau berzanji secara bergiliran di rumah-rumah penduduk.
Selain itu, Molodhan juga identik dengan tradisi saling berbagi makanan. Setiap keluarga akan menyiapkan hidangan, kemudian membaginya kepada tetangga atau tamu yang datang. Kegiatan ini mempererat hubungan sosial dan menumbuhkan rasa persaudaraan.
Kalimantan Selatan: Baayun Maulid
Di Kalimantan Selatan, terdapat tradisi unik bernama Baayun Maulid. Masjid atau langgar menjadi tempat masyarakat melaksanakan acara ini. Para orang tua membawa anak-anak mereka dan meletakkan dalam ayunan yang sudah terhias dengan indah.
Sambil anak-anak berada dalam ayunan, para ulama dan jamaah membaca shalawat serta kisah Maulid Nabi. Tradisi ini melambangkan harapan agar anak-anak tumbuh menjadi generasi yang mencintai Rasulullah dan berakhlak mulia. Baayun Maulid kini menjadi salah satu warisan budaya tak benda yang mendapat pengakuan dan pelestraian oleh pemerintah Indonesia.
Sulawesi Selatan: Maudu’ Lompoa
Sulawesi Selatan, khususnya daerah Cikoang, Kabupaten Takalar, terdapat tradisi besar bernama Maudu’ Lompoa yang artinya Maulid Besar. Perayaan ini sudah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi identitas masyarakat Bugis-Makassar.
Dalam acara ini, masyarakat membawa paket maudu’ berupa nasi, telur, ikan, dan aneka makanan yang terhias dengan indah, lalu masyarakat mengumpulkannya di masjid. Setelah itu, ritual pembacaan Maulid dan doa bersama.
Keunikan Maudu’ Lompoa adalah adanya iring-iringan perahu hias yang membawa makanan menuju masjid atau sungai. Tradisi ini menjadi bukti akulturasi antara budaya maritim Bugis-Makassar dengan ajaran Islam.
Maulid di Buton: Haroana Maludhu
Di Tanah Buton (Sulawesi Tenggara), perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dikenal dengan nama Haroana Maludhu. Kata haroana berarti “hari” atau “peringatan”, sedangkan maludhu berarti Maulid. Jadi, makna Haroana Maludhu adalah sebagai “Hari Peringatan Maulid”.
Gelaran Haroana Maludhu biasanya rutin setiap tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan hari kelahiran Rasulullah SAW. Namun, pada praktiknya, perayaan bisa berlangsung lebih dari sehari karena melibatkan rangkaian acara adat, keagamaan, hingga jamuan rakyat.
Rangkaian Acara Tradisi Maulid di Buton dilaksanakan di masjid-masjid, surau, maupun balai adat meliputi ; Pembacaan Barzanji atau syair Maulid yang berisi kisah hidup Rasulullah, zikir dan doa bersama dipimpin oleh para imam atau ulama. Seterusnya pembacaan Al-Qur’an, biasanya melibatkan qari dan anak-anak penghafal Al-Qur’an. Penutup acara adalah Kenduri Maulid, yaitu acara makan bersama dengan hidangan khas Buton seperti lapa-lapa, ayam nasu wolio dan aneka kue tradisional.
Lombok: Perang Topat
Masyarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat, merayakan Maulid Nabi dengan tradisi yang terkenal sebagai Perang Topat. Tradisi ini biasanya berlangsung di Pura Lingsar, tempat ibadah bersama oleh umat Islam Wetu Telu dan umat Hindu.
Dalam tradisi ini, masyarakat saling melempar ketupat (topat) sebagai simbol rasa syukur atas hasil panen. Perang Topat bukanlah perkelahian, melainkan pesta rakyat yang penuh canda tawa. Setelah selesai, ketupat yang berserakan akan dikumpulkan dan ditanam di sawah sebagai simbol doa agar tanah menjadi subur. Tradisi ini memperlihatkan keharmonisan antarumat beragama sekaligus melestarikan kearifan lokal Lombok.
Maluku: Khatam Al-Qur’an dan Tarian Cakalele
Di Maluku, Maulid Nabi biasanya diperingati dengan mengadakan khatam Al-Qur’an di masjid-masjid. Anak-anak yang telah menyelesaikan bacaan Al-Qur’an akan diberi penghargaan khusus pada momentum Maulid.
Selain itu, ada pula tradisi seni berupa tarian cakalele yang ditampilkan untuk memeriahkan peringatan. Meskipun tarian ini pada awalnya merupakan tarian perang, namun dalam konteks Maulid ia menjadi simbol kebahagiaan dan kegembiraan menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Makna Filosofis Tradisi Maulid di Nusantara
Jika memperhatikan rangkaian pelaksanaan Maulid tersebut, setiap tradisi Maulid pada berbagai wilayah Nusantara memiliki kekhasan yang terpadu dengan budaya lokal. Namun, esensinya tetap sama, yaitu mengekspresikan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan mempererat persaudaraan sesama umat.
Tradisi Maulid tidak hanya berfungsi sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai media dakwah, sarana pendidikan moral, serta alat perekat sosial. Melalui perayaan ini, megajarkan masyarakat tentang nilai syukur, berbagi, serta menghargai keberagaman.
Keberagaman tradisi Maulid di Nusantara menunjukkan betapa Islam mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan nilai esensialnya. Dari Aceh hingga Maluku, setiap daerah menghadirkan bentuk perayaan yang khas, indah, dan sarat makna.
Tradisi-tradisi tersebut bukan hanya sekadar seremoni, melainkan juga bagian dari identitas budaya bangsa Indonesia yang religius dan penuh toleransi. Melestarikan tradisi Maulid berarti menjaga warisan spiritual dan sosial yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
