Surau.co. Keutamaan zuhud adalah kekayaan yang tidak akan pernah bisa dicuri oleh siapa pun. Sejak awal para ulama menekankan bahwa zuhud bukanlah meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan menjaga hati agar tidak diperbudak olehnya. Imam al-Nawawī dalam kitab Bustān al-‘Ārifīn menghadirkan kisah, nasihat, dan doa yang menuntun manusia agar tidak tertipu oleh gemerlap fana. Zuhud adalah seni merdeka dari jebakan dunia, seni menimbang nilai abadi di atas hiasan sesaat.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan Indonesia modern, kita bisa menyaksikan fenomena sosial yang begitu nyata: orang-orang berlari mengejar status, rumah besar, dan barang mewah, tetapi tetap merasa kosong. Padahal, keutamaan zuhud menawarkan sebuah kekayaan batin yang membuat jiwa tenang meski dompet tipis. Inilah yang menjadi cahaya yang membimbing langkah, sebuah harta tak terlihat yang lebih kuat dari segala kemegahan dunia.
Zuhud Sebagai Jalan Kebebasan Jiwa
Dalam masyarakat yang dipenuhi dengan godaan konsumtif, zuhud menjadi jalan kebebasan. Seorang yang zuhud bukan berarti miskin, melainkan tidak diperbudak oleh harta. Ia boleh memiliki dunia, tetapi dunia tidak memiliki dirinya. Imam al-Nawawī menulis dalam Bustān al-‘Ārifīn:
مَنْ أَصْبَحَ وَالدُّنْيَا أَكْبَرُ هَمِّهِ، جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ
“Barangsiapa bangun pagi dan dunia menjadi perhatian terbesarnya, maka Allah akan menjadikan kefakiran selalu tampak di hadapannya.”
Kata-kata ini seperti cermin, menampar kesadaran kita bahwa semakin mengejar dunia, justru semakin merasa kurang. Zuhud hadir bukan untuk mematikan semangat hidup, melainkan untuk menata fokus: dunia sebagai kendaraan, bukan tujuan akhir.
Ketika Hati Tidak Lagi Terikat
Kelembutan hati akan lahir ketika seseorang tidak lagi terikat dengan kemilau dunia. Orang yang zuhud mudah bersyukur dalam keterbatasan, dan tidak lupa diri saat berkelimpahan. Di sinilah keutamaan zuhud benar-benar terasa sebagai kekayaan sejati.
Imam al-Nawawī meriwayatkan dalam Bustān al-‘Ārifīn:
إِذَا زَهِدْتَ فِي الدُّنْيَا أَحَبَّكَ اللَّهُ، وَإِذَا زَهِدْتَ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ أَحَبُّوكَ
“Jika engkau zuhud terhadap dunia, Allah akan mencintaimu. Dan jika engkau zuhud terhadap apa yang ada di tangan manusia, maka mereka pun akan mencintaimu.”
Betapa indah rahasia ini. Hati yang tidak tergantung pada manusia akan menjadi cahaya yang menenangkan. Orang lain merasa nyaman, karena ia tidak haus meminta-minta, tidak serakah terhadap apa yang bukan miliknya.
Menemukan Cahaya dalam Kesederhanaan
Fenomena sosial di negeri ini memperlihatkan banyak orang sederhana yang hidup dengan damai. Para petani di desa yang tinggal di rumah papan, tetapi wajah mereka berseri ketika berbagi hasil panen. Para pedagang kecil yang tersenyum ikhlas meski hanya laku sedikit dagangan. Mereka seolah mewujudkan pesan zuhud: sederhana dalam penampilan, luas dalam hati.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam Bustān al-‘Ārifīn:
لَيْسَ الزُّهْدُ أَنْ تَتْرُكَ الدُّنْيَا كُلَّهَا، وَلَكِنْ الزُّهْدُ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِكَ
“Zuhud bukanlah meninggalkan dunia seluruhnya, tetapi zuhud adalah engkau lebih percaya pada apa yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tanganmu.”
Kalimat ini adalah cahaya yang membimbing setiap pencari jalan pulang. Dunia bukan musuh, melainkan ujian. Harta bukan haram, tetapi bagaimana hati menyikapinya itulah yang menentukan.
Kekayaan yang Tak Bisa Dicuri
Kekayaan sejati bukan pada jumlah tabungan, melainkan pada ketenangan hati. Zuhud membuat manusia kaya meski secara lahiriah sederhana. Tidak ada pencuri yang bisa merampas kebahagiaan batin, karena ia bukan milik dunia.
Imam al-Nawawī menuliskan sebuah doa dalam Bustān al-‘Ārifīn:
اللَّهُمَّ اجْعَلِ الدُّنْيَا فِي أَيْدِينَا وَلَا تَجْعَلْهَا فِي قُلُوبِنَا
“Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, dan jangan jadikan dunia di dalam hati kami.”
Doa ini seakan merangkum seluruh makna zuhud. Dunia boleh digenggam, tetapi hati tetap terhubung kepada Yang Maha Hidup. Inilah kekayaan yang tak bisa dicuri: hati yang bebas, jiwa yang damai, dan cinta yang hanya tertuju kepada Allah.
Meneladani Zuhud di Tengah Kehidupan Modern
Dalam dunia yang serba cepat, zuhud bukan berarti menolak teknologi atau kemajuan. Zuhud adalah seni memilah: apa yang berguna untuk akhirat tetap dipakai, yang melalaikan dibuang. Seorang pegawai yang bekerja dengan jujur meski gajinya kecil lebih kaya daripada pejabat yang korupsi. Seorang ibu rumah tangga yang bersyukur dengan lauk sederhana lebih berharga daripada mereka yang mewah tetapi penuh keluhan.
Fenomena ini nyata di Indonesia. Banyak orang sederhana justru lebih damai, sementara mereka yang berlimpah fasilitas tidak tenang tidurnya. Zuhud menjadi kunci yang mengajarkan manusia bahwa kekayaan sejati tidak pernah diukur dari rekening, tetapi dari hati yang tidak diperbudak dunia.
Penutup: Merangkul Kekayaan Abadi
Keutamaan zuhud adalah pintu menuju kekayaan abadi. Dunia yang fana tidak lagi mengikat, hati menjadi lapang, jiwa menemukan kedamaian. Imam al-Nawawī dalam Bustān al-‘Ārifīn menegaskan bahwa zuhud adalah jalan para wali, jalan yang mengantarkan pada cinta Allah.
Di tengah hiruk pikuk zaman, kita diajak untuk kembali menata hati. Bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, melainkan menempatkannya di tangan, bukan di hati. Dengan begitu, hidup menjadi cahaya, dan kematian bukanlah kehilangan, melainkan kepulangan yang indah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
