Khazanah
Beranda » Berita » Meninggalkan Dunia: Melepaskan Burung dari Sangkar Emas

Meninggalkan Dunia: Melepaskan Burung dari Sangkar Emas

Burung putih keluar dari sangkar emas menuju cahaya kebebasan
Seekor burung putih melayang tinggi, meninggalkan sangkar emas yang terbuka, melambangkan kebebasan jiwa dari ikatan dunia.

Surau.co Meninggalkan dunia tidak berarti menolak kehidupan. Sebaliknya, ia adalah seni menempatkan dunia di genggaman, bukan di hati. Dalam Bustān al-‘Ārifīn, Imam al-Nawawī menyingkap bahwa jalan menuju Allah sering terhalang oleh cinta berlebihan pada dunia. Hati yang terpaut pada gemerlap harta dan kehormatan ibarat burung indah, namun terpenjara dalam sangkar emas—terlihat mulia, tetapi tidak pernah bisa terbang pulang ke langit kebebasan.

Fenomena Sosial di Indonesia

Di Indonesia, kita menemukan fenomena sosial yang menarik. Banyak orang bekerja keras dari pagi hingga malam hanya demi membeli sesuatu yang sesungguhnya tidak mereka butuhkan. Dari kota besar hingga desa kecil, iklan televisi dan media sosial terus mendorong orang untuk mengejar “lebih banyak”. Akibatnya, hati menjadi terikat pada dunia, dan ketenangan pun hilang.

Imam al-Nawawī mengingatkan dalam Bustān al-‘Ārifīn:

«حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ»
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan.”

Pesan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya dalam. Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Oleh karena itu, seorang beriman seharusnya bersikap seperti musafir yang singgah sejenak di peristirahatan, sadar bahwa rumah sejati ada di akhirat.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Menata Hati di Tengah Hiruk Pikuk

Meninggalkan dunia tentu tidak berarti berhenti bekerja atau memilih hidup miskin. Justru Islam menekankan keseimbangan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

﴿وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَا﴾
“Carilah dengan apa yang telah Allah berikan kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini seakan membentangkan jembatan. Kita boleh menikmati dunia, akan tetapi jangan sampai dunia mengikat hati. Orang merdeka adalah mereka yang mengendalikan nafsunya. Sebaliknya, orang yang kalah adalah mereka yang dikuasai oleh nafsu itu sendiri.

Selain itu, di tengah gaya hidup konsumtif di Indonesia, banyak orang justru lupa pada esensi sederhana. Warung kopi kecil di sudut kampung sering menghadirkan kehangatan lebih daripada restoran mewah yang penuh pencitraan. Dengan demikian, meninggalkan dunia berarti memilih keikhlasan dibanding gengsi, serta kesederhanaan dibanding kesombongan.

Pesan Zuhud dalam Bustān al-‘Ārifīn

Imam al-Nawawī menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

«مَنْ أَصْبَحَ وَهَمُّهُ غَيْرُ اللَّهِ فَهُوَ فِي هَمٍّ غَيْرِ نَافِعٍ»
“Barang siapa pagi harinya disibukkan oleh sesuatu selain Allah, maka ia berada dalam kesibukan yang tidak bermanfaat.”

Pesan ini terasa seperti cambuk bagi jiwa yang terlena. Betapa sering kita bangun tidur lalu pikiran pertama yang muncul adalah urusan bisnis, gawai, atau status sosial. Padahal, jika hati sejak awal diarahkan kepada Allah, seluruh aktivitas sehari-hari akan berubah menjadi ibadah.

Dalam masyarakat kita, fenomena ini sangat nyata. Banyak orang merasa lelah bukan karena pekerjaannya, melainkan karena hatinya tidak tenang. Mereka terus mengejar, tetapi tidak pernah merasa cukup. Oleh sebab itu, zuhud menjadi sangat relevan. Zuhud bukan menolak dunia, melainkan menolak diperbudak olehnya.

Melepaskan untuk Menemukan Ketenangan

Meninggalkan dunia ibarat melepaskan beban berat dari pundak. Imam al-Nawawī menuliskan:

«مَا أَحَبَّ الدُّنْيَا أَحَدٌ إِلَّا أَذَلَّهُ اللَّهُ»
“Tidaklah seseorang mencintai dunia melainkan Allah akan merendahkannya.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kehormatan sejati lahir bukan dari harta, tetapi dari hati yang bersih. Karena itu, orang sederhana kerap memiliki wibawa luar biasa. Sebaliknya, orang kaya yang tamak sering jatuh dalam kehinaan, sebab ia diperbudak oleh apa yang dimilikinya.

Di malam sunyi, orang yang hatinya terikat pada dunia akan merasakan kegelisahan. Akan tetapi, mereka yang belajar melepaskan justru mendengar nyanyian tenang dalam dirinya. Seperti burung yang akhirnya bebas setelah lama terkurung, jiwa pun menemukan jalan pulang.

Jalan Pulang yang Sesungguhnya

Kematian adalah pintu yang pasti dilalui. Mereka yang terlalu cinta dunia akan menyongsongnya dengan ketakutan. Namun, mereka yang terbiasa melepaskan akan merasakannya sebagai pintu pulang. Imam al-Nawawī kembali menulis dalam Bustān al-‘Ārifīn:

«الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ فَاعْمَلُوا فِيهَا مَا يُنْجِيكُمْ غَدًا»
“Dunia adalah ladang akhirat, maka tanamlah di dalamnya apa yang akan menyelamatkanmu kelak.”

Kehidupan dunia adalah kesempatan. Setiap langkah, setiap senyum, dan setiap amal baik menjadi benih. Benih itu akan tumbuh menjadi pohon rimbun di akhirat kelak.

Bahkan, di Indonesia, kita sering menyaksikan kebaikan sederhana: tetangga yang membantu saat kesulitan, warga kampung bergotong royong membangun masjid, atau seorang ibu merawat anaknya dengan ikhlas. Inilah wujud meninggalkan dunia dalam arti yang sebenarnya—mengutamakan nilai akhirat di atas gengsi dunia.

Penutup: Burung yang Terbang Menuju Cahaya

Singkatnya, meninggalkan dunia adalah seni menemukan kebebasan hati. Dunia ibarat sangkar emas: indah, berkilau, tetapi tetap membatasi sayap jiwa. Dengan melepaskan keterikatan, hati menjadi ringan, langkah menjadi tenang, dan jiwa akhirnya terbang menuju cahaya abadi.

Kita tidak diperintah membenci dunia, melainkan menempatkannya di posisi yang benar. Dunia hanyalah jalan, bukan tujuan. Barang siapa belajar melepaskan, ia akan menemukan kebahagiaan yang tidak mungkin dibeli dengan emas sekalipun.

* Reza AS

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement