Surau.co. Dalam kehidupan yang serba cepat di Indonesia modern, kesibukan sering membuat manusia melupakan inti dari iman: hati yang lembut dan mata yang mudah basah ketika mengingat Allah. Banyak orang merasa iman cukup diwujudkan dengan ritual, padahal para ulama mengajarkan bahwa iman sejati memancar dari kelembutan hati dan kesadaran mendalam terhadap akhirat. Kitab Bustān al-‘Ārifīn karya Imam al-Nawawī menjadi sumber hikmah tentang hal ini.
Iman yang Hidup di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Masyarakat kita setiap hari bergelut dengan tantangan—harga kebutuhan yang melonjak, persaingan kerja, hingga tekanan hidup di perkotaan. Dalam situasi itu, iman terkadang dipandang sekadar identitas, bukan nur yang menuntun jiwa. Imam al-Nawawī menulis dalam Bustān al-‘Ārifīn:
قال الإمام النووي في بستان العارفين: علامة المؤمن أن يرق قلبه عند ذكر الله وتدمع عيناه من خشيته
“Imam al-Nawawī berkata dalam Bustān al-‘Ārifīn: Tanda seorang mukmin adalah hatinya lembut ketika mengingat Allah dan matanya menangis karena takut kepada-Nya.”
Di balik kalimat sederhana itu, terdapat pesan kuat: iman bukan sekadar hafalan, tetapi perasaan yang hidup dalam dada.
Lembutnya Hati Sebagai Jalan Kedekatan
Dalam kehidupan sosial Indonesia, kita sering melihat bagaimana orang yang hatinya keras mudah terjebak dalam pertengkaran politik, konflik keluarga, atau bahkan perselisihan kecil di jalanan. Hati yang keras menutup pintu kasih sayang. Namun, hati yang lembut akan membuka jalan menuju kedekatan dengan sesama manusia dan Allah.
Imam al-Nawawī juga mengingatkan:
وقال أيضًا: ما رق قلب عبد إلا جعل الله فيه رحمة لعباده
“Beliau juga berkata: Tidaklah hati seorang hamba menjadi lembut kecuali Allah akan menjadikan dalam dirinya kasih sayang untuk hamba-hamba-Nya.”
Artinya, kelembutan bukan kelemahan, melainkan kekuatan spiritual yang memancarkan kasih dalam kehidupan sehari-hari.
Air Mata yang Menjadi Penebus
Banyak orang Indonesia mungkin merasa malu menangis saat berdoa, seakan air mata tanda kelemahan. Padahal dalam ajaran para ulama, menangis karena Allah justru merupakan tanda kekuatan iman. Air mata itu menjadi penebus dosa, pembersih hati, sekaligus pintu rahmat.
Dalam Bustān al-‘Ārifīn tertulis:
وروي: عينان لا تمسهما النار: عين بكت من خشية الله، وعين باتت تحرس في سبيل الله
“Diriwayatkan: Ada dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang berjaga di jalan Allah.”
Air mata ini bukan sekadar cairan, melainkan simbol keterhubungan terdalam antara seorang hamba dan Tuhannya.
Menghidupkan Kesadaran di Tengah Masyarakat
Fenomena sosial di Indonesia menunjukkan banyak orang merindukan kedamaian batin di tengah ketidakpastian hidup. Dari desa hingga kota, majelis dzikir masih dipenuhi oleh jamaah yang mencari ketenangan. Mereka duduk, berdoa, membaca Al-Qur’an, berharap hatinya lembut dan matanya basah.
Imam al-Nawawī menegaskan pentingnya kesadaran itu:
وقال الإمام النووي: من لم يرق قلبه عند الذكر فليتهم إيمانه
“Imam al-Nawawī berkata: Barangsiapa yang tidak lembut hatinya ketika berzikir, maka hendaklah ia menuduh imannya.”
Ucapan ini tajam namun penuh kasih. Ia bukan menghakimi, melainkan mengetuk pintu hati agar manusia memeriksa kembali keimanannya.
Inspirasi untuk Hidup Lebih Peka
Hati yang lembut dan mata yang basah seharusnya menjadi tanda hidup yang penuh empati. Di negeri ini, banyak kisah kemanusiaan: orang miskin yang butuh uluran tangan, bencana alam yang datang tiba-tiba, anak-anak yang membutuhkan pendidikan. Semua itu menuntut kepekaan.
Kelembutan hati bukan hanya ditunjukkan dalam ibadah, tetapi juga dalam sikap sosial: menyapa dengan ramah, menolong tetangga, atau sekadar menahan diri dari menyakiti orang lain.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ (آل عمران: 159)
“Maka berkat rahmat Allah engkau berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.”
Ayat ini memperkuat bahwa kelembutan hati adalah rahasia untuk merawat kebersamaan.
Penutup: Menjadi Cahaya di Tengah Gelap
Menjadi seorang beriman berarti berani melembutkan hati dan meneteskan air mata, meski dunia menganggapnya kelemahan. Hati yang lembut menjadikan manusia penyejuk bagi sekitarnya, dan mata yang basah menjadi saksi bahwa iman masih hidup dalam dada.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, ajaran Imam al-Nawawī dalam Bustān al-‘Ārifīn memberi pesan sederhana namun dalam: jangan biarkan hati mengeras dan mata mengering. Sebab, tanda orang beriman bukan pada gelar atau penampilan, tetapi pada kelembutan hati dan air mata yang tulus jatuh karena Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
