Surau.co. Rindu kepada Allah adalah nyanyian sunyi yang terdengar paling jernih di hati manusia. Ia bukan hanya perasaan yang singgah sesaat, melainkan nafas panjang yang menghidupi jiwa. Sejak awal, rindu ini menjadi tanda cinta yang murni antara hamba dan Tuhannya. Dalam kitab Bustān al-‘Ārifīn karya Imam al-Nawawī, rindu kepada Allah dijelaskan sebagai jalan yang menuntun manusia untuk terus mendekat, meski dunia menawarkan berbagai kebisingan.
Di tengah fenomena sosial Indonesia, rindu kepada Allah terlihat dalam banyak wajah. Anak muda yang ikut kajian malam Jumat, para ibu yang meneteskan air mata saat berdoa, hingga kakek renta yang tidak pernah absen shalat berjamaah di masjid. Semua itu adalah potret rindu yang tumbuh dalam keseharian.
Imam al-Nawawī menulis dengan kelembutan yang menusuk hati:
قال الإمام النووي: “أشرفُ اللذّاتِ لذّةُ المشتاقِ في مناجاتِ ربِّه.”
“Kenikmatan paling mulia adalah kenikmatan seorang yang rindu saat bermunajat kepada Tuhannya.”
Jejak Rindu yang Tak Pernah Padam
Manusia modern kerap kehilangan arah karena larut dalam rutinitas. Namun, di balik segala kesibukan, selalu ada ruang kosong yang tidak bisa diisi dengan harta, jabatan, atau hiburan. Ruang itu hanya bisa dipenuhi dengan rindu kepada Allah.
Al-Qur’an mengingatkan dengan lembut:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة: ١٥٢)
“Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian mengingkari-Ku.” (QS. al-Baqarah: 152)
Ayat ini adalah janji kasih yang membuat rindu semakin kuat. Saat seorang hamba mengingat Allah, ia sedang mengetuk pintu yang akan dibukakan oleh-Nya dengan penuh cinta.
Rindu yang Mengalir dalam Kehidupan Sosial
Fenomena rindu kepada Allah di Indonesia hadir dalam tradisi dan budaya. Zikir bersama di malam Jumat, doa bersama sebelum panen, hingga gema shalawat dalam perayaan Maulid adalah bukti nyata. Semua itu menunjukkan bahwa rindu bukan hanya milik individu, melainkan juga milik masyarakat yang haus akan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Imam al-Nawawī berkata dalam Bustān al-‘Ārifīn:
وقال: “المحبُّ للهِ لا يَسكنُ قلبُهُ إلّا بذكرِه، ولا يطمئنُّ إلا بقربِه.”
“Orang yang mencintai Allah, hatinya tidak akan tenang kecuali dengan mengingat-Nya, dan ia tidak akan damai kecuali dengan dekat kepada-Nya.”
Kalimat ini menjadi penegas bahwa rindu sejati akan selalu menuntun manusia kepada zikir, doa, dan kedekatan dengan Allah.
Menemukan Kedekatan di Tengah Kesunyian
Kerinduan kepada Allah seringkali paling terasa di malam yang sepi. Ketika suara dunia mereda, suara hati terdengar jelas. Dalam kesunyian itulah doa naik tanpa terhalang, dan air mata jatuh sebagai tanda rindu yang tidak mampu dibendung.
Di Bustān al-‘Ārifīn, Imam al-Nawawī menuliskan:
وقال: “الليلُ وقتُ العاشقينَ، فيهِ يناجونَ ربَّهُم، وتُكشَفُ لهم أسرارُ القُربِ.”
“Malam adalah waktunya para pecinta; di dalamnya mereka bermunajat kepada Tuhannya, dan rahasia kedekatan tersingkap bagi mereka.”
Betapa indahnya gambaran ini. Malam menjadi ruang suci di mana manusia bisa berdua dengan Tuhannya, menumpahkan rindu, dan merasakan damai yang tidak tergantikan.
Rindu yang Mengubah Hidup
KeRindu kepada Allah tidak hanya melahirkan doa, tetapi juga menggerakkan amal. Rindu yang sejati menjadikan seseorang lebih lembut kepada sesama, lebih jujur dalam bekerja, dan lebih sabar menghadapi ujian. Ia adalah api yang membakar ego, sekaligus cahaya yang menuntun langkah.
Imam al-Nawawī menutup dengan nasihat penuh makna:
وقال: “مَن صَدَقَ في حبِّ اللهِ أورثَهُ ذلكَ نورًا في قلبِه، وهدايةً في طريقِه.”
“Barangsiapa jujur dalam cintanya kepada Allah, maka cinta itu akan menurunkannya cahaya dalam hati dan petunjuk dalam jalannya.”
Pesan ini mengajarkan bahwa rindu bukan hanya rasa, tetapi juga kejujuran. Ia harus diiringi dengan kesungguhan agar benar-benar berbuah menjadi cahaya dalam kehidupan.
Penutup
Rindu kepada Allah adalah nyanyian sunyi yang terus hidup di hati manusia. Ia tidak pernah padam meski dunia berusaha menutupinya dengan gemerlap fana. Dari kitab Bustān al-‘Ārifīn, kita belajar bahwa rindu adalah cahaya, doa, dan jalan pulang. Dan siapa pun yang memeliharanya, akan menemukan ketenangan yang tidak tergantikan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
