Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu yang Hidup adalah Cahaya yang Menyala di Dalam Dada

Ilmu yang Hidup adalah Cahaya yang Menyala di Dalam Dada

cahaya ilmu dari dada seorang pemuda di perpustakaan
Pemuda yang mendapat ilmu bermanfaat, cahaya dari dadanya menandakan pengetahuan sejati yang hidup.

Surau.co. Sejak awal sejarah manusia, ilmu selalu menjadi lentera yang menuntun langkah. Tanpa ilmu, hidup berjalan dalam kegelapan; dengan ilmu, setiap jalan seakan bercahaya. Ilmu yang hidup bukan sekadar hafalan atau catatan di kertas, melainkan sesuatu yang menyalakan dada, menghidupkan hati, dan menggerakkan amal. Fenomena sosial di Indonesia memperlihatkan betapa pentingnya ilmu ini. Banyak orang berpendidikan tinggi, tetapi kehilangan makna karena ilmu yang mereka miliki hanya berhenti di kepala, tidak turun ke hati.

Imam al-Nawawī melalui karyanya Bustān al-‘Ārifīn memberikan pandangan mendalam mengenai ilmu yang bermanfaat. Ia menekankan bahwa ilmu sejati adalah yang mendekatkan manusia kepada Allah, melembutkan jiwa, dan menjadikan seseorang bermanfaat bagi sesamanya. Di tengah derasnya arus informasi dan media sosial, pengingat ini menjadi penting agar ilmu tidak sekadar jadi alat berdebat, melainkan sumber cahaya yang menuntun hidup.

Cahaya yang Membimbing Langkah Hidup

Al-Qur’an menegaskan hubungan ilmu dengan cahaya:

﴿وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ﴾
“Barang siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka ia tidak akan memperoleh cahaya sedikit pun.” (QS. An-Nūr: 40)

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu yang sejati tidak hanya berupa pengetahuan rasional, melainkan cahaya yang ditanamkan Allah di dalam dada. Imam al-Nawawī menuliskan dalam Bustān al-‘Ārifīn:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«الْعِلْمُ مَا كَانَ مَعَهُ الْعَمَلُ، وَإِلَّا فَهُوَ حُجَّةٌ عَلَى صَاحِبِهِ»
“Ilmu adalah yang disertai amal; jika tidak, maka ilmu itu akan menjadi hujjah atas pemiliknya.”

Kalimat ini adalah peringatan sekaligus harapan. Ilmu yang tidak diamalkan justru bisa menjadi beban, sementara ilmu yang hidup akan melahirkan kebaikan tanpa batas.

Fenomena Sosial: Ilmu di Tengah Hiruk Pikuk

Di Indonesia, kita melihat banyak seminar, kursus, dan forum belajar yang tumbuh subur. Namun, sering kali pengetahuan berhenti di tataran diskusi tanpa menjadi laku hidup. Hal ini melahirkan kegelisahan: mengapa semakin banyak orang tahu, tetapi tidak semakin banyak yang peduli?

Imam al-Nawawī mengingatkan:

«لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَّ الْعِلْمَ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقَلْبِ»
“Ilmu bukanlah banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah cahaya yang Allah lemparkan ke dalam hati.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ungkapan ini menyentuh inti persoalan sosial kita. Pendidikan bukan sekadar angka kelulusan, tetapi sejauh mana pengetahuan itu menyalakan hati, menumbuhkan kasih sayang, dan menghadirkan kepedulian di tengah masyarakat.

Ilmu dan Kelembutan Hati

Ilmu yang hidup melahirkan kelembutan. Seorang berilmu sejati tidak menjadi angkuh, tetapi semakin rendah hati. Di desa-desa Indonesia, kita sering menjumpai sosok guru kampung atau kiai sepuh yang meski sederhana, tetapi dihormati karena ilmunya membawa kedamaian.

Imam al-Nawawī menulis dalam Bustān al-‘Ārifīn:

«مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِلَّهِ، كَانَ نُورًا لَهُ فِي قَلْبِهِ وَقَبْرِهِ وَيَوْمَ لِقَاءِ رَبِّهِ»
“Barang siapa mempelajari ilmu karena Allah, maka ilmu itu akan menjadi cahaya baginya di hatinya, di kuburnya, dan pada hari ia bertemu dengan Tuhannya.”

Ilmu yang dipelajari dengan niat tulus akan selalu hidup, bahkan setelah pemiliknya tiada. Ia tidak hanya menerangi pemiliknya, tetapi juga mereka yang berada di sekitarnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Cahaya Ilmu sebagai Energi Sosial

Masyarakat Indonesia sedang menghadapi perubahan besar, dari urbanisasi hingga digitalisasi. Ilmu yang hidup diperlukan agar perubahan tidak melahirkan kehampaan. Ketika ilmu hanya berhenti di teks, ia menjadi kering. Namun, saat ilmu menjelma cahaya, ia menjadi energi sosial yang menggerakkan kebaikan bersama.

Imam al-Nawawī menambahkan:

«الْعِلْمُ دَلِيلٌ يَدُلُّ عَلَى الْعَمَلِ، فَإِذَا لَمْ يُعْمَلْ بِهِ كَانَ جَهْلًا»
“Ilmu adalah penunjuk jalan menuju amal; jika tidak diamalkan, maka ia hanyalah kebodohan.”

Kata-kata ini relevan dengan realitas hari ini. Banyak orang pintar, tetapi tidak bijak. Banyak orang tahu, tetapi tidak mengamalkan. Ilmu yang hidup seharusnya menggerakkan, bukan membekukan.

Penutup: Menyalakan Dada dengan Cahaya

Hidup terlalu singkat untuk menjadikan ilmu hanya hiasan. Ilmu yang hidup adalah cahaya yang menuntun setiap langkah, melembutkan hati, dan mempertemukan kita dengan kasih sayang Allah. Dalam setiap buku yang kita baca, setiap guru yang kita dengar, dan setiap pengalaman yang kita alami, selalu ada kesempatan untuk menyalakan dada dengan cahaya.

Ilmu yang sejati akan membuat manusia berani berbuat baik, tidak lelah menebar kasih, dan selalu rindu untuk pulang kepada-Nya. Semoga kita termasuk orang-orang yang mempelajari ilmu bukan untuk kebanggaan, tetapi untuk menyinari jalan hidup.

 

* Reza AS

Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement