Surau.co. Tawadhu adalah cahaya yang menuntun manusia untuk tetap rendah hati meski dunia menawarkannya kemegahan. Dalam kitab Bustān al-‘Ārifīn, tawadhu dipandang bukan sekadar sikap sederhana, tetapi sebuah mahkota yang justru lahir dari kerendahan hati. Ia menjadikan manusia seperti debu: kecil, nyaris tak terlihat, namun justru dicintai langit karena ketulusannya.
Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang penuh kompetisi sosial, banyak orang berlomba menunjukkan prestise. Dari gaya hidup mewah hingga status media sosial, manusia sering kali terseret dalam arus pamer. Namun, ajaran tawadhu datang sebagai penawar: menundukkan ego agar hidup tidak menjadi arena adu gengsi, melainkan ladang kasih dan kebaikan.
Imam al-Nawawī menuliskan bahwa seorang hamba sejati adalah mereka yang tidak pernah sombong meski memiliki ilmu atau harta, sebab semuanya hanyalah titipan Allah. Tawadhu membebaskan hati dari racun kesombongan, membuka ruang bagi cinta, dan menyalakan lampu keikhlasan.
Tawadhu dalam Ajaran Kitab Bustān al-‘Ārifīn
Kitab Bustān al-‘Ārifīn memuat kisah-kisah yang membimbing hati. Di dalamnya, tawadhu dijelaskan sebagai akar segala kebaikan. Seseorang yang tawadhu tidak meremehkan orang lain, bahkan memuliakan mereka. Imam al-Nawawī menegaskan:
التواضع أن تخضع للحق وتنقاد له ممن كان
“Tawadhu adalah tunduk kepada kebenaran dan menerimanya, dari siapa pun ia datang.”
Makna ini begitu dalam. Tawadhu bukanlah kelemahan, melainkan keberanian untuk membuka diri pada kebenaran, meski ia datang dari orang yang sederhana.
Kehidupan sehari-hari membuktikan bahwa sifat ini jarang ditemui. Di kantor, sekolah, bahkan rumah tangga, kerap kali ego lebih dominan. Namun, dengan kerendahan hati, seseorang akan melihat cahaya Allah di balik setiap orang yang ditemuinya.
Menjadi Debu yang Dicintai Langit
Dalam Bustān al-‘Ārifīn terdapat pengingat yang lembut:
قال بعض الحكماء: التواضع يرفعك والكبر يضعك
“Sebagian ahli hikmah berkata: Tawadhu akan meninggikanmu, sedangkan kesombongan akan merendahkanmu.”
Debu tidak pernah menolak pijakan kaki, tetapi justru dari kerendahan itu ia tetap ada, abadi, dan diperlukan. Demikianlah kerendahan hati, meski tampak kecil, Allah meninggikan derajat hamba yang memilikinya.
Di tengah fenomena sosial Indonesia, ketika masyarakat terbelah oleh status ekonomi, sikap tawadhu hadir sebagai jembatan. Ia membuat orang kaya menghargai yang miskin, pejabat menghormati rakyat, dan pelajar menghormati gurunya tanpa menjadikan ilmu sebagai alat merendahkan.
Al-Qur’an dan Hadits tentang Kerendahan Hati
Al-Qur’an mengajarkan kelembutan sikap melalui firman Allah:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. al-Hijr: 88)
Ayat ini menegaskan bahwa kerendahan hati adalah tanda cinta dan kasih. Tanpa tawadhu, hubungan antar manusia mudah retak, sebab kesombongan menutup pintu persaudaraan.
Rasulullah ﷺ sendiri menjadi teladan terbaik. Beliau tidak pernah menolak duduk bersama orang miskin, tidak gengsi makan di lantai, dan bahkan menjahit pakaian sendiri. Dalam Bustān al-‘Ārifīn dikutip:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يجلس حيث انتهى به المجلس
“Rasulullah ﷺ biasa duduk di mana pun tempat itu berakhir baginya.”
Kesederhanaan ini adalah cermin tawadhu yang sejati.
Menyuburkan Hati dengan Tawadhu
Sifat ini tidak hanya menjadi hiasan akhlak, tetapi juga pupuk bagi hati. Orang yang rendah hati akan lebih mudah menerima nasihat, terbuka pada kritik, dan jauh dari sifat angkuh. Imam al-Nawawī menulis:
من تواضع رفعه الله، ومن تكبر وضعه الله
“Barang siapa tawadhu, Allah akan meninggikannya. Dan barang siapa sombong, Allah akan merendahkannya.”
Hidup sederhana tidak berarti miskin prestasi. Justru dari hati yang tunduk lahir karya besar yang abadi. Banyak ulama besar dikenal bukan karena pakaian mewah, tetapi karena kerendahan hati yang memancar.
Refleksi untuk Kehidupan Modern
Indonesia hari ini sedang diuji dengan maraknya kesenjangan sosial. Namun, tawadhu mampu menjadi jembatan yang meruntuhkan tembok perbedaan. Di kampung-kampung, kita masih melihat orang kaya yang tetap ikut gotong royong. Di kota besar, ada sosok-sosok yang tetap rendah hati meski jabatannya tinggi. Inilah wajah sejati bangsa yang penuh kasih bila tawadhu dipeluk erat.
Sikap tawadhu juga bisa dimulai dari hal kecil: mendengar lebih banyak daripada berbicara, memberi ruang bagi orang lain untuk bersinar, dan tidak menuntut selalu dipuji. Dengan cara ini, hati menjadi taman yang teduh, tempat bunga kebaikan tumbuh.
Menutup dengan Senyuman Hati
Sikap tawadhu bukan sekadar ajaran lama dalam kitab kuno. Ia adalah napas kehidupan. Menjadi debu yang dicintai langit berarti menanggalkan kesombongan dan memilih untuk setia pada kerendahan hati. Dan di sanalah, Allah akan menghadiahkan cinta-Nya yang paling indah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
