Surau.co. Hidup manusia tidak pernah sepenuhnya pasti. Kita bekerja, berdoa, menabung, dan merencanakan masa depan. Namun, selalu ada celah yang membuat rencana runtuh dan harapan patah. Pada titik itulah hati manusia diuji: apakah ia akan terus gelisah atau menyerahkan segalanya kepada Allah? Di sinilah tawakkul menemukan maknanya.
Tawakkul bukanlah sekadar pasrah atau duduk diam tanpa usaha. Ia adalah seni menyeimbangkan ikhtiar dengan penyerahan. Kita tetap bekerja, tetapi tidak menggantungkan jiwa pada hasil. Kita tetap berusaha, tetapi menyadari bahwa takdir adalah milik Allah semata. Imam al-Nawawī dalam kitab Bustān al-‘Ārifīn menggambarkan tawakkul sebagai puncak ketenangan hati, saat manusia menaruh beban beratnya di pundak Kekasih yang tidak pernah lelah menanggung.
Menemukan Tenang di Tengah Kegelisahan
Masyarakat Indonesia sering hidup dalam bayang-bayang kecemasan: harga kebutuhan yang melonjak, persaingan kerja yang ketat, dan beban hutang yang menumpuk. Tidak sedikit yang merasa hidup seperti berlari tanpa ujung. Tawakkul hadir sebagai penawar, mengajarkan bahwa rezeki sudah diatur, dan yang terpenting adalah keyakinan kepada Sang Pencipta.
Imam al-Nawawī menulis:
مَنْ تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ كَفَاهُ، وَمَنْ لَجَأَ إِلَيْهِ آوَاهُ
“Barang siapa bertawakkul kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Dan barang siapa berlindung kepada-Nya, niscaya Allah akan menaunginya.” (Bustān al-‘Ārifīn)
Ketenangan ini bukanlah hasil dari banyaknya harta, tetapi dari keyakinan hati. Di kampung-kampung, kita sering menjumpai orang sederhana yang wajahnya teduh, meski hidupnya jauh dari berlebih. Mereka menemukan bahagia karena hatinya dipenuhi keyakinan bahwa Allah cukup.
Antara Usaha dan Penyerahan Diri
Sebagian orang salah paham dengan makna tawakkul. Mereka mengira tawakkul berarti berhenti berusaha, padahal tawakkul justru melengkapi ikhtiar. Petani tetap menanam padi, meski ia tahu hujan tidak bisa ia kendalikan. Pedagang tetap membuka toko, meski ia sadar pembeli datang karena kehendak Allah.
Imam al-Nawawī mengingatkan:
مِنْ حَقِيقَةِ التَّوَكُّلِ أَنْ يَرْضَى الْعَبْدُ بِمَا فَعَلَ اللَّهُ بِهِ
“Hakikat tawakkul adalah ridha seorang hamba terhadap apa yang Allah lakukan padanya.” (Bustān al-‘Ārifīn)
Kalimat ini seperti menuntun jiwa untuk menerima dengan lapang dada. Kita boleh merencanakan, tetapi hati harus siap jika hasilnya berbeda. Inilah rahasia kekuatan tawakkul: bekerja keras tanpa diperbudak hasil.
Jiwa yang Merdeka dari Kekhawatiran
Orang yang hatinya penuh tawakkul tidak mudah terguncang. Ia tidak larut dalam duka ketika usaha gagal, tidak terlampau bangga ketika berhasil. Hatinya bebas, karena ia tahu semua adalah titipan yang suatu saat bisa diambil kembali.
Allah menegaskan dalam firman-Nya:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barang siapa bertawakkul kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. al-Ṭalāq [65]: 3)
Ayat ini menjadi pegangan bagi orang yang hidupnya sering diterpa badai. Seakan Allah berkata, “Cukuplah Aku untukmu. Jangan gantungkan harapanmu pada dunia yang rapuh.”
Cinta yang Menyembuhkan Luka
Tawakkul juga merupakan wujud cinta terdalam kepada Allah. Ia bukan hanya tentang rezeki, tetapi tentang menyerahkan jiwa sepenuhnya kepada Sang Pemilik. Saat hati bertawakkul, ia akan melihat semua yang datang sebagai bentuk kasih sayang. Kehilangan berubah menjadi pengingat, kegagalan menjadi pelajaran, sakit menjadi pembersih, dan kematian menjadi pintu menuju perjumpaan.
Imam al-Nawawī berkata:
مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا رَأَى كُلَّ شَيْءٍ جَمِيلًا
“Barang siapa ridha Allah sebagai Tuhannya, ia akan melihat segala sesuatu menjadi indah.” (Bustān al-‘Ārifīn)
Dengan pandangan ini, seorang hamba akan menemukan ketentraman yang tidak bisa dibeli. Dunia mungkin retak, tetapi hatinya tetap utuh karena disandarkan pada Allah.
Menghadapi Ujian dengan Jiwa yang Lapang
Indonesia adalah negeri yang sering diuji: bencana alam, krisis ekonomi, bahkan pandemi yang melumpuhkan banyak orang. Namun, di balik semua itu, selalu ada jiwa-jiwa yang tetap tegar karena bertawakkul.
Imam al-Nawawī menulis lagi:
إِذَا عَلِمَ الْعَبْدُ أَنَّ الرِّزْقَ مَكْفُولٌ لَهُ، اسْتَرَاحَ قَلْبُهُ
“Apabila seorang hamba mengetahui bahwa rezekinya telah dijamin untuknya, maka tenteramlah hatinya.” (Bustān al-‘Ārifīn)
Kalimat ini seolah ingin membebaskan manusia dari rasa cemas yang berlebihan. Jika rezeki sudah dijamin, mengapa harus putus asa? Jika hidup ini sementara, mengapa harus terlalu takut kehilangan?
Penutup: Mempercayakan Beban pada Pundak Ilahi
Tawakkul adalah kunci hidup yang damai. Ia mengajarkan kita untuk melangkah ringan di bumi, karena ada pundak Ilahi yang memikul semua beban. Dengan tawakkul, kegagalan tidak lagi menakutkan, kehilangan tidak lagi menyakitkan, dan masa depan tidak lagi menekan.
Tawakkul bukan sekadar sikap, melainkan cahaya yang menuntun jiwa untuk menemukan rumah sejati: hati yang lapang, jiwa yang merdeka, dan cinta yang tidak pernah pudar.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
