SURAU.CO – Ibnu ‘Arabi lahir pada tahun 1165 M di Murcia, sebuah kota di wilayah Andalusia (Spanyol Muslim saat itu). Andalusia pada masa itu merupakan pusat ilmu pengetahuan, sastra, dan filsafat. Lingkungan yang penuh dengan diskusi keilmuan membuatnya tumbuh dengan kecintaan pada ilmu. Ayahnya adalah seorang pejabat yang cukup berpengaruh, sementara ibunya berasal dari keluarga terhormat. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan suasana religius dan intelektual.
Ketika masih muda, keluarga Ibnu ‘Arabi pindah ke Sevilla. Di kota inilah ia mulai mendalami berbagai ilmu: Al-Qur’an, hadis, fikih, dan sastra Arab. Namun, yang paling membekas adalah ketertarikannya pada dunia tasawuf. Ia sering mengasingkan diri, berpuasa, dan berzikir dalam kesendirian. Dari kebiasaan itu, tumbuhlah semangat pencarian spiritual yang kelak membawa pada pengalaman-pengalaman batin luar biasa.
Panggilan Ruhani dan Pertemuan dengan Para Sufi
Ibnu ‘Arabi bukan sekedar belajar dari buku. Ia juga menemui banyak guru sufi yang tersebar di Andalusia dan Maghrib. Dalam perjalanan ilmunya, ia bertemu dengan tokoh-tokoh besar seperti Abu Madyan, seorang wali sufi terkenal di Afrika Utara. Pertemuan itu memperkuat panggilan hatinya untuk mendaki jalan ruhani.
Pada usia belia, Ibnu ‘Arabi dikisahkan pernah mengalami pengalaman spiritual yang begitu mendalam. Ia merasa mendapat “pencerahan” langsung dari Allah, yang memberikan pemahaman hakikat lebih dari sekedar ilmu lahiriah. Sejak saat itu, ia semakin tekun menempuh jalan tasawuf.
Mengapa Disebut Syekh al-Akbar?
Gelarnya sebagai Syekh al-Akbar bukan tanpa sebab. Ia tidak hanya seorang penulis produktif, tetapi juga pemikir asli yang berani. Ia menyatukan antara ilmu lahiriah dan batiniah, antara syariat dan hakikat, antara rasio dan intuisi. Ia mengajarkan bahwa perjalanan menuju Allah tidak cukup hanya dengan akal, tetapi juga harus dengan hati yang bersih.
Selain itu, Ibnu ‘Arabi memberikan teladan sebagai seorang pencari kebenaran yang tidak pernah berhenti. Ia rela meninggalkan kampung halaman, mengarungi perjalanan jauh, bahkan menghadapi kritik dan penolakan demi mempertahankan keyakinannya. Sikap itu menunjukkan keberanian seorang sufi sejati
Pengembaaan Ilmu ke Timur
Setelah cukup lama di Andalusia, Ibnu ‘Arabi merasa terpanggil untuk menuntut ilmu di Timur. Ia meninggalkan tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan panjang menuju Mekkah, Mesir, Damaskus, hingga Anatolia. Perjalanannya bukan sekadar untuk belajar, tetapi juga untuk bertemu para ulama dan sufi di berbagai daerah.
Di Mekkah, Ibnu ‘Arabi menetap cukup lama. Di kota suci itu ia banyak menulis, merenungkan, dan memperdalam pengalaman ruhani. Salah satu karyanya yang terkenal, “Al-Futuhat al-Makkiyah” (Pembukaan Mekkah) , lahir dari perenungannya di sana. Kitab ini merupakan ensiklopedia besar tentang tasawuf, mencakup berbagai aspek kehidupan spiritual, filsafat, kosmologi, hingga tafsir Al-Qur’an. Karya ini begitu luas dan rumit, sehingga para ulama hingga kini terus mengkajinya.
Karya-Karya Besar Ibnu ‘Arabi
Selain Al-Futuhat al-Makkiyah, Ibnu ‘Arabi juga menulis karya monumental lainnya, yaitu “Fushush al-Hikam” (Permata Hikmah). Buku ini berisi penjelasan tentang hikmah para nabi, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. Melalui karya itu, ia menjelaskan bagaimana setiap nabi membawa cahaya kebijaksanaan yang berbeda, semuanya tetapi bermuara pada satu kebenaran: Allah sebagai sumber segala sesuatu.
Karya-karya Ibnu ‘Arabi tidak hanya berjumlah puluhan, tetapi ratusan. Sebagian kecil masih bisa ditemukan, sementara sebagian lainnya hilang atau belum selesai ditulis. Namun jejak pemikirannya sangat luas, meliputi tafsir, hadis, fikih, filsafat, syair, dan tentu saja tasawuf. Ia menulis dengan gaya yang terkadang sulit dipahami, karena simbol sarat, kiasan, dan makna batin.
Konsep Wahdatul Wujud
Salah satu gagasan Ibnu ‘Arabi yang paling terkenal adalah “Wahdatul Wujud” atau kesatuan wujud. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di alam semesta pada dasarnya adalah manifestasi dari wujud Allah. Tidak ada sesuatu pun yang benar-benar berdiri sendiri. Semua berasal dari Allah, ada karena Allah, dan kembali kepada Allah.
Konsep ini memicu banyak hal. Sebagian ulama memandangnya sebagai puncak pemahaman tauhid. Namun, ada pula yang menuduhnya menyimpang karena dianggap menghapus batas antara Tuhan dan makhluk. Meski begitu, bagi para sufi, konsep ini justru menjanjikan kedekatan mutlak dengan Allah. Bahwa manusia sejatinya tidak terpisah dari Tuhannya, hanya saja sering tertutup oleh ego dan dunia.
Kehidupan di Damaskus
Setelah berkelana ke berbagai negeri, Ibnu ‘Arabi akhirnya menetap di Damaskus, Suriah. Di sana, ia mendirikan halaqah, mengajar murid-muridnya, dan menulis karya-karya besar hingga akhir hayatnya. Murid-muridnya datang dari berbagai negeri, bahkan dari kalangan bangsawan dan ulama. Dari Damaskus pula, pemikirannya menyebar ke seluruh dunia Islam, dari Timur Tengah hingga Nusantara.
Ibnu ‘Arabi wafat pada tahun 1240 M di Damaskus. Makamnya hingga kini masih diziarahi banyak orang. Di sisi lain, karyanya terus dibaca, diperbarui, bahkan diperdebatkan. Tidak berlebihan jika ia disebut sebagai salah satu pemikir Muslim terbesar sepanjang masa.
Warisan dan Pengaruh Pemikirannya
Warisan Ibnu ‘Arabi sangat luas. Ia tidak hanya mempengaruhi dunia tasawuf, tetapi juga sastra, filsafat, hingga seni Islam. Syair-syairnya menjadi inspirasi bagi para penyair sufi setelahnya. Gagasannya juga berpengaruh pada tokoh-tokoh besar seperti Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jili.
Di dunia modern, pemikiran Ibnu ‘Arabi tetap relevan. Konsep kesatuan tentang wujud bisa dibaca sebagai ajaran untuk melihat keterhubungan semuamakhluk. Bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam, dan semua perbedaan agama maupun budaya sejati bermuara pada satu Tuhan. Pandangan ini membuat banyak intelektual kontemporer tertarik mengkaji ulang karyanya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
