Khazanah
Beranda » Berita » Doa Ibu, Jalan Sufi: Kisah Pengabdian Abu Yazid Al-Busthami

Doa Ibu, Jalan Sufi: Kisah Pengabdian Abu Yazid Al-Busthami

Doa Ibu, Jalan Sufi: Kisah Pengabdian Abu Yazid Al-Busthami

SURAU.CO – Dalam Islam, berbakti kepada orang tua, terutama kepada seorang ibu, selalu menduduki posisi yang sangat mulia. Banyak ulama besar lahir dari doa dan rida seorang ibu. Salah satunya adalah kisah pengabdian seorang sufi besar, Abu Yazid Al-Busthami atau Thaifur bin Isa bin Syurusan Al-Busthami. Kisah hidupnya sarat dengan teladan tentang betapa tingginya kedudukan seorang ibu dalam kehidupan seorang anak.

Kisah ini diabadikan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkiratul Auliya (Damaskus: Al-Maktabi, 2009, hlm. 184–187). Dari sanalah kita dapat melihat bagaimana pengabdian seorang anak kepada ibunya hingga mampu melahirkan pribadi yang agung, penuh hikmah, dan berpengaruh besar dalam sejarah tasawuf.

Getaran Hati Seorang Murid

Abu Yazid tumbuh sebagai seorang pemuda yang haus ilmu. Sejak muda ia menekuni kajian tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya di berbagai majelis ilmu. Suatu ketika, ia tengah mengikuti pengajian tafsir bersama gurunya. Saat itu gurunya membacakan Surat Luqman ayat 14:

Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.”

Ayat ini membuat hati Abu Yazid bergetar hebat. Kata-kata Allah tersebut seakan langsung menembus relung hatinya dan menghadirkan bayangan sosok ibunya yang ia tinggalkan di rumah. Ia merasa seolah-olah Allah menegurnya agar tidak lupa pada ibunya di tengah kesibukan menuntut ilmu.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Tidak menunggu lama, Abu Yazid pun mendekati gurunya dan meminta izin untuk pulang. Ia tidak ingin hatinya gundah. Ia tahu, menuntut ilmu adalah ibadah, namun berbakti kepada ibu juga merupakan ibadah agung yang tidak bisa ia abaikan. Gurunya memahami kegelisahan muridnya dan mengizinkannya kembali ke rumah.

Dialog Menyentuh dengan Sang Ibu

Ketika tiba di rumah, sang ibu terkejut sekaligus heran melihat kepulangan anak yang tiba-tiba.

Thaifur, kenapa kamu pulang?” tanya ibu penuh keheranan.

Abu Yazid pun menjelaskan bahwa ia baru saja mendengar tafsir ayat tentang kewajiban bersyukur kepada Allah dan orang tua. Ayat itu begitu menggetarkan hati sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan belajar sebelum memastikan baktinya kepada sang ibu.

Aku tidak bisa menjalankan dua ibadah syukur pada waktu yang sama,” ucap Abu Yazid dengan tulus.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kebimbangan Abu Yazid menunjukkan betapa ia menempatkan ibadah kepada Allah dan baktinya kepada ibu pada derajat yang sama tinggi. Ia tidak ingin ibadahnya kepada Allah menjadi pincang karena melalaikan ibunya.

Sang ibu yang bijak kemudian memahami kegelisahan anaknya. Dengan penuh kasih sayang ia berkata:

Nak, aku bebaskan semua kewajibanmu kepadaku dan aku pasrahkan kamu kepada Allah. Pergilah dan jadilah seorang hamba Allah.”

Kata-kata itu menjadi doa restu seorang ibu yang mengantarkan Abu Yazid menjadi salah satu tokoh besar dalam sejarah tasawuf.

Menjadi Santri Kelana

Setelah mendapatkan restu ibunya, Abu Yazid meninggalkan kota Bustham. Ia kemudian hidup menjalani sebagai seorang “santri kelana” yang merantau dari satu negeri ke negeri lain selama tiga puluh tahun. Dalam perjalanannya ia berguru kepada tidak kurang dari 113 guru spiritual.

Mengubah Insecure Menjadi Bersyukur: Panduan Terapi Jiwa Ala Imam Nawawi

Hari-harinya diisi dengan tirakat, ibadah, dan puasa. Ia mengembara mencari ilmu dan pengalaman rohani yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Semua perjalanan itu ia jalani dengan modal doa dan restu sang ibu.

Kisah ini mengajarkan bahwa restu orang tua, terutama ibu, menjadi bekal penting dalam perjalanan hidup seorang anak. Ilmu, amal, bahkan kesucian jiwa tidak akan sempurna tanpa doa dan rida seorang ibu.

Teladan Kesabaran dan Kasih Sayang

Dalam kitab yang sama, Aththar juga meriwayatkan kisah lain yang menunjukkan bakti Abu Yazid kepada ibunya. Suatu malam, sang ibu terbangun dan merasa haus. Namun, stok air di rumah habis. Tanpa menunggu, Abu Yazid segera keluar rumah untuk mencari air. Setelah berhasil mendapatkannya, ia kembali dengan wajah penuh lega.

Namun ternyata, ibunya telah tertidur kembali. Dalam keadaan itu, Abu Yazid tidak menaruh air dan pergi tidur. Ia memilih tetap berdiri sambil memegang tempat air itu berjam-jam lamanya. Ia takut jika ibunya terbangun kembali dan kesulitan menemukan air.

Saat ibunya terbangun dan melihat anaknya masih terjaga, ia bertanya kepadanya:

Nak, kenapa kamu belum tidur?”

Dengan lembut Abu Yazid menjawab, “Jika aku tidur, aku takut ibu tidak menemukan air minum ini.

Kisah ini menggambarkan ketulusan seorang anak yang rela mengorbankan kenyamanan dirinya demi memastikan ibunya tidak merasa kesulitan, bahkan dalam hal kecil sekalipun.

Relevansi dengan Kehidupan Kita

Kisah Abu Yazid bukan sekedar catatan sejarah, tetapi juga pelajaran yang sangat relevan bagi kehidupan kita hari ini. Di tengah kesibukan menuntut ilmu, bekerja, atau mengejar karir, kita sering kali lupa pada orang tua. Padahal, rida mereka bisa menjadi penentu arah hidup kita.

Banyak orang sukses mengakui bahwa doa ibunya adalah faktor utama keberhasilan mereka. Sebaliknya, banyak pula orang yang gagal dalam hidup karena melupakan orang tuanya. Islam menegaskan bahwa durhaka kepada orang tua adalah dosa besar yang bisa membawa malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat.

Kisah Abu Yazid seolah menjadi pengingat keras bagi kita semua: sehebat apa pun perjalanan kita dalam menuntut ilmu atau mengejar cita-cita, jangan sampai lupa pada sosok ibu yang telah melahirkan, merawat, dan mendoakan kita.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement