SURAU.CO – Khaulah binti Tsa’labah, seorang perempuan mukminah yang imannya begitu kokoh. Kisah Khaulah binti Tsa’labah merupakan salah satu peristiwa penting yang melatarbelakangi turunnya Surat al-Mujadalah dalam Al-Qur’an. Ini mengajarkan umat Islam, khususnya kaum perempuan, tentang bagaimana seharusnya seorang hamba mengadu kegelisahannya hanya kepada Allah Swt.
Kisah ini bukan sekedar narasi sejarah, melainkan juga potret nyata bagaimana Allah Swt. mendengar keluh kesah seorang hamba yang datang dengan hati tulus. Bahkan, pengaduan Khaulah binti Tsa’labah kepada Rasulullah ﷺ membuahkan turunnya wahyu yang menjadi pedoman umat hingga kini.
Latar Belakang Kisah Khaulah
Para ulama tafsir mencatat beberapa versi mengenai nama dan nasab Khaulah. Muhammad bin Jarir At-Tabari dalam Jami’ul Bayan an Ta’wil Ayi al-Qur’an menyebutkan riwayat berbeda: ada yang menyatukannya Khuwailah binti Tsa’labah, Khuwailah binti Khuwailid, Khuwalihah binti Ash-Shamit, bahkan Khuwailah binti Ad-Dulaij (At-Tabari, 2001, jilid XXII, hlm. 446). Meski begitu, semua riwayat bersepakat bahwa suaminya adalah Aus bin Ash-Shamit, saudara dari sahabat Nabi yang terkenal, Ubadah bin Ash-Shamit.
Perbedaan nama tidak mengurangi esensi kisahnya. Justru hal itu menunjukkan bahwa cerita Khaulah dikenal luas di kalangan sahabat dan tabi’in, sehingga banyak jalur periwayatan yang sampai kepada para mufasir. Yang pasti, Khaulah adalah perempuan yang dekat dengan Allah dan teguh dalam menjaga rumah tangganya.
Permulaan Masalah: Ucapan Zihar
Kisah bermula ketika Aus bin Ash-Shamit marah kepada istrinya. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul Ghaib menuturkan bahwa peristiwa itu berawal dari keengganan Khaulah memenuhi ajakan Aus (Ar-Razi, 2009, vol. 29, hlm. 477). Karena amarah, Aus mengucapkan kata-kata zihar, yakni menyamakan istri dengan ibunya. Pada masa Jahiliyah, ucapan zihar dianggap sebagai bentuk perceraian permanen, meskipun tanpa talak.
Zihar menjadi beban berat bagi Khaulah. Ia tidak bisa bersama suaminya, tetapi juga tidak ingin kehilangan rumah tangga dan anak-anaknya. Anak-anak mereka masih kecil, sehingga jika harus hidup bersama ayahnya, mereka akan terlantar. Namun bila hanya bersama ibu, mereka terancam kelaparan karena keterbatasan ekonomi.
Dilema inilah yang membuat Khaulah mendatangi Rasulullah ﷺ. Dengan penuh keyakinan, ia mengadu kepada beliau sambil berharap jawaban dari Allah Swt.
Pengaduan Khaulah dan Turunnya Wahyu
Ketika Khaulah mengadukan permasalahannya, Rasulullah ﷺ awalnya menjawab bahwa ia tidak memiliki solusi. Namun Khaulah tidak berhenti mengadu. Ia menangis, merintih, dan terus memohon kepada Allah agar penyelesaiannya terselesaikan.
Pengaduan itu akhirnya dijawab langsung oleh Allah. Turunlah ayat pertama Surat al-Mujadilah:
قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ ١
“Sungguh, Allah telah mendengar ucapan wanita yang mengajukan gugatan mengirimkan (Muhammad) tentang suami dan mengadukan kepada Allah. Allah mendengar percakapan kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Mujadilah: 1).
Ayat ini menjadi bukti nyata bahwa Allah mendengar hamba-Nya. Keluhan seorang perempuan yang dianggap kecil oleh masyarakat saat itu justru diaabadikan dalam firman-Nya.
Kafarat Zihar: Solusi dari Allah
Setelah ayat turun, Rasulullah ﷺ memanggil Aus bin Ash-Syamit. Beliau menegaskan bahwa ucapan zihar tidak otomatis memutuskan pernikahan, tetapi ada kafarat yang harus ditunaikan. Dalam lanjutan ayat al-Mujadilah, kafarat itu berupa:
- Memerdekakan seorang budak.
- Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
- Jika tidak mampu, beri makan 60 orang miskin.
Aus mengaku tidak sanggup melakukan pilihan pertama dan kedua. Bahkan untuk berpuasa saja ia merasa tidak kuat. Akhirnya Rasulullah ﷺ membantu dengan memberikan sebagian bahan makanan agar ia bisa bersedekah memberi makan fakir miskin. Dengan demikian, Aus menunaikan kewajiban kafarat dan pernikahannya tetap sah.
Kisah ini menunjukkan bahwa Islam hadir dengan aturan yang adil. Hukum zihar yang di masa Jahiliyah menghancurkan rumah tangga diubah oleh Islam menjadi pelanggaran yang bisa ditebus, tanpa harus merugikan pihak istri dan anak-anak.
Pelajaran Penting dari Kisah Khaulah
Kisah Khaulah binti Tsa’labah menyimpan banyak hikmah yang relevan hingga saat ini. Beberapa di antaranya:
- Allah Maha Mendengar Doa Hambanya
Kisah ini mengajarkan bahwa Allah tidak pernah menutup telinga-Nya dari doa hamba, sekecil apa pun masalah itu. Khaulah bukan seorang bangsawan atau tokoh terkenal. Ia hanyalah seorang istri yang sedang terluka. Namun karena keikhlasannya, keluh kesahnya diabadikan dalam Al-Qur’an.
- Pentingnya Kesabaran dalam Rumah Tangga
Konflik rumah tangga adalah sesuatu yang wajar. Namun Islam mengajarkan penyelesaiannya dengan sabar dan hati-hati. Khaulah tidak gegabah untuk berpisah, tetapi mencari solusi agar rumah tangga tetap terjaga.
- Islam Menghapus Tradisi Jahiliyah
Zihar yang dahulu menjadi alat talak terhadap perempuan dihapuskan. Islam menegaskan bahwa ucapan itu tidak otomatis membatalkan pernikahan, tetapi dikenai kafarat. Ini menunjukkan keberpihakan Islam pada keadilan keluarga.
- Curhat kepada Allah Lebih Menenangkan
Khaulah mengadu kepada Rasulullah, namun pada akhirnya ia curhat kepada Allah. Inilah teladan bagi umat Islam, bahwa sebaik-baik tempat mengadu adalah Allah Swt. Tentu saja, dalam kondisi tertentu seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, seorang muslimah juga dapat mencari perlindungan melalui jalur hukum atau lembaga profesional.
- Dampak Perceraian terhadap Anak
Khaulah mempertimbangkan kondisi anak-anaknya. Ia sadar bahwa perceraian bisa berakibat buruk bagi tumbuh kembang mereka. Sikap ini menunjukkan keteladanan seorang ibu yang bijaksana.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
