Warisan spiritual Abū Nu‘aym melalui karya agungnya Hilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Asfiyā’ bukan hanya catatan sejarah tentang para wali. Kitab ini ibarat taman rohani, penuh bunga hikmah dan kisah manusia yang menolak diperbudak dunia. Sejak abad ke-5 Hijriah, keindahannya tetap menjadi pelita bagi hati yang haus kebenaran.
Oase di Tengah Hiruk Pikuk Modern
Dalam suasana Indonesia modern, masyarakat sibuk membangun rumah, mengejar pendidikan, hingga bertarung di dunia digital. Di tengah hiruk pikuk itu, kisah-kisah Hilyat hadir bagai oase. Kitab ini mengingatkan bahwa jiwa manusia tidak cukup dengan makan dan minum, melainkan juga butuh tegukan makna.
Kisah Para Wali Sebagai Cermin
Warisan spiritual Abū Nu‘aym menulis wajah para sufi dengan cinta. Mereka hadir bukan sebagai mitos, melainkan manusia nyata yang patut diteladani. Ia meriwayatkan:
«إِذَا أَقْبَلَتِ الدُّنْيَا عَلَى أَحَدٍ أَعَارَتْهُ مَحَاسِنَ غَيْرِهِ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ عَنْهُ سَلَبَتْهُ مَحَاسِنَ نَفْسِهِ»
“Jika dunia datang kepada seseorang, ia meminjamkan kebaikan orang lain. Tetapi bila dunia pergi, ia mencabut kebaikan dirinya sendiri.”
Ungkapan ini relevan dengan kondisi Indonesia kini. Banyak orang kehilangan jati diri demi pengakuan sosial. Padahal dunia hanyalah tamu sementara, bukan tuan yang harus ditaati.
Menyusuri Jalan Sunyi
Membaca Hilyat ibarat berjalan di hutan sunyi. Setiap pohon adalah kisah, setiap daun adalah doa. Para wali tidak hadir untuk diagungkan, tetapi untuk diteladani dalam keseharian.
Seperti firman Allah:
«إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ» (الحجرات: 13)
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.”
Ayat ini hidup dalam diri para sufi yang dikisahkan. Mereka mulia karena hati tunduk sepenuhnya pada Allah, bukan karena harta atau nasab.
Hikmah Zuhud di Tengah Konsumtivisme
Fenomena sosial Indonesia menunjukkan gaya hidup konsumtif. Banyak orang berutang demi citra. Namun Abū Nu‘aym menukil kata seorang sufi:
«الزُّهْدُ لَيْسَ بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ، وَلَكِنْ أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِكَ»
“Zuhud bukan mengharamkan yang halal, tetapi engkau lebih percaya pada apa yang ada di sisi Allah daripada pada apa yang ada di tanganmu.”
Pesan ini menegaskan bahwa zuhud tidak berarti menolak rumah indah atau teknologi. Zuhud berarti hati tidak diperbudak oleh semua itu.
Penjaga Jiwa Masyarakat
Hilyat tidak hanya untuk santri atau akademisi. Ia bisa menjadi penjaga jiwa masyarakat Indonesia yang menghadapi badai disrupsi moral. Abū Nu‘aym meriwayatkan:
«مَنْ لَمْ يَعِظْهُ قَوْلُ الْقُرْآنِ، وَلَمْ يَسْتَفِقْ عِنْدَ الزَّوَاجِرِ، فَلَا وَاعِظَ لَهُ»
“Barangsiapa tidak mengambil pelajaran dari Al-Qur’an, dan tidak terbangun oleh peringatan, maka tiada lagi yang dapat menasihatinya.”
Ungkapan ini menjadi tamparan keras. Di tengah maraknya korupsi, perpecahan, dan berita palsu, Al-Qur’an tetap satu-satunya cermin yang benar.
Spiritualitas di Zaman Digital
Generasi muda lebih banyak menatap layar ponsel daripada kitab. Namun isi Hilyat bisa hadir dalam bentuk konten digital, kajian daring, dan narasi inspiratif. Bahkan di balik algoritma media sosial, masih ada ruang untuk merenungi hikmah para wali.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ» (رواه البخاري ومسلم)
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat.”
Hadis ini sejalan dengan pesan Hilyat. Bila niat benar, aktivitas sehari-hari — bahkan berselancar di media sosial — bisa bernilai ibadah.
Penutup: Bunga yang Tak Layu
Hilyat al-Awliyā’ adalah bunga abadi. Setiap generasi bisa memetik kelopaknya dan menemukan arti hidup. Jika Indonesia hari ini sering diwarnai perbedaan agama, budaya, dan politik, kitab ini justru menanamkan jalan cinta: melihat sesama manusia sebagai saudara dalam pencarian.
Itulah sebabnya Hilyat al-Awliyā’ akan selalu hidup, di hati siapa saja yang rindu kepada Allah.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
